Muara Teweh (Antara Kalteng) - Realisasi penerimaan dana perimbangan royalti dan iuran tetap (landrent) tambang batu bara di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah periode Januari-Juni 2016 mencapai Rp109,8 miliar atau 125,44 persen dari target Rp87,5 miliar.
"Dana tersebut merupakan penerimaan bagi hasil bukan pajak dari pemerintah pusat," kata Kepala Bidang Pendapatan pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Barito Utara, Mastur di Muara Teweh, Senin.
Penerimaan tersebut merupakan hasil pembayaran kewajiban sejumlah investor tambang batu bara pemegang izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dan izin usaha pertambangan (IUP) di kabupaten pedalaman Sungai Barito.
Realisasi triwulan kedua untuk royalti (iuran eksplorasi dan eksploitasi batu bara) mencapai Rp97,8 miliar atau 172,98 persen dari target Rp56,5 miliar dan iuran tetap (landrent) Rp11,9 miliar (38,61 persen) dari rencana Rp30,9 miliar.
"Kami hanya menerima dana bagi hasil pajak itu sekitar 64 persen dari pemerintah pusat, sedangkan perusahaan mana saja yang membayar tidak tahu," katanya.
Kepala Bidang Pengawasan Tambang Dinas Pertambangan dan Energi Barut, Sarifudin mengatakan, jumlah investor batu bara yang sudah memasuki tahap eksplorasi dan eksploitasi di daerah ini masing-masing sekitar puluhan perusahaan.
"Namun yang sudah produksi baru 15 investor pemegang Izin Kuasa Pertambangan atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)," katanya.
Sampai bulan Juni 2016 hasil penjualan batu bara oleh perusahaan pertambangan yang beroperasi di wilayah Barito Utara, mencapai 2,9 juta metrik ton.
Menurut Sarifudin, saat ini penjualan batu bara mengalami penurunan karena dalam dua tahun terakhir harga batu bara di luar negeri (ekspor) dan dalam negeri anjlok, sehingga hampir semua perusahaan mengurangi produksi untuk menekan biaya operasional.
"Saat ini sejumlah perusahaan tambang batu bara di daerah ini merumahkan karyawannya karena anjloknya harga batu bara," katanya.
Di samping itu, kata Sarifudin, produksi batu bara di kabupaten pedalaman Kalteng itu masih mengalami kendala angkutan karena selama ini mengandalkan transportasi air melalui Sungai Barito.
Ia mengatakan kalau air sungai di batas normal atau naik sehingga kapal tida bisa berlayar karena terhalang jembatan KH Hasan Basri Muara Teweh.
"Selain itu angkutan batu bara sering terhenti akibat kedalaman Sungai Barito surut seperti beberapa pekan lalu sehingga kapal juga tidak bisa berlayar karena sungai dangkal," katanya.
Sarifudin mengatakan, sejumlah perusahaan itu wajib membayar royalti kepada pemerintah dengan perhitungan kualitas kalori batu bara di bawah 5.100 kilo kalori dikenakan tiga persen dari harga jual.
Kemudian antara 5.100-6.100 kilo kalori dikenakan lima persen dari harga jual dan di atas 6.100 kilo kalori membayar royalti tujuh persen dari harga jual.
Sedangkan untuk "landrent", seluruh investor yang memasuki tahap ekspolitasi tahun pertama dikenakan Rp2.000/hektare, tahun II Rp2.500/hektare, tahun III Rp3.000/hektare dan tahap eksploitasi I (30 tahun) Rp15.000/haktare.
"Produksi batu bara di daerah itu sampai kini disebutkan belum maksimal karena faktor alam dan juga terkait dengan masalah perizinan jalan tambang dan kehutanan," katanya.
Penjualan batu bara pada periode Januari-Desember 2015 mencapai 3.188.045 metrik ton atau turun dibanding tahun 2014 yang mencapai 4.107.502 metrik ton.
"Dana tersebut merupakan penerimaan bagi hasil bukan pajak dari pemerintah pusat," kata Kepala Bidang Pendapatan pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Barito Utara, Mastur di Muara Teweh, Senin.
Penerimaan tersebut merupakan hasil pembayaran kewajiban sejumlah investor tambang batu bara pemegang izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dan izin usaha pertambangan (IUP) di kabupaten pedalaman Sungai Barito.
Realisasi triwulan kedua untuk royalti (iuran eksplorasi dan eksploitasi batu bara) mencapai Rp97,8 miliar atau 172,98 persen dari target Rp56,5 miliar dan iuran tetap (landrent) Rp11,9 miliar (38,61 persen) dari rencana Rp30,9 miliar.
"Kami hanya menerima dana bagi hasil pajak itu sekitar 64 persen dari pemerintah pusat, sedangkan perusahaan mana saja yang membayar tidak tahu," katanya.
Kepala Bidang Pengawasan Tambang Dinas Pertambangan dan Energi Barut, Sarifudin mengatakan, jumlah investor batu bara yang sudah memasuki tahap eksplorasi dan eksploitasi di daerah ini masing-masing sekitar puluhan perusahaan.
"Namun yang sudah produksi baru 15 investor pemegang Izin Kuasa Pertambangan atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)," katanya.
Sampai bulan Juni 2016 hasil penjualan batu bara oleh perusahaan pertambangan yang beroperasi di wilayah Barito Utara, mencapai 2,9 juta metrik ton.
Menurut Sarifudin, saat ini penjualan batu bara mengalami penurunan karena dalam dua tahun terakhir harga batu bara di luar negeri (ekspor) dan dalam negeri anjlok, sehingga hampir semua perusahaan mengurangi produksi untuk menekan biaya operasional.
"Saat ini sejumlah perusahaan tambang batu bara di daerah ini merumahkan karyawannya karena anjloknya harga batu bara," katanya.
Di samping itu, kata Sarifudin, produksi batu bara di kabupaten pedalaman Kalteng itu masih mengalami kendala angkutan karena selama ini mengandalkan transportasi air melalui Sungai Barito.
Ia mengatakan kalau air sungai di batas normal atau naik sehingga kapal tida bisa berlayar karena terhalang jembatan KH Hasan Basri Muara Teweh.
"Selain itu angkutan batu bara sering terhenti akibat kedalaman Sungai Barito surut seperti beberapa pekan lalu sehingga kapal juga tidak bisa berlayar karena sungai dangkal," katanya.
Sarifudin mengatakan, sejumlah perusahaan itu wajib membayar royalti kepada pemerintah dengan perhitungan kualitas kalori batu bara di bawah 5.100 kilo kalori dikenakan tiga persen dari harga jual.
Kemudian antara 5.100-6.100 kilo kalori dikenakan lima persen dari harga jual dan di atas 6.100 kilo kalori membayar royalti tujuh persen dari harga jual.
Sedangkan untuk "landrent", seluruh investor yang memasuki tahap ekspolitasi tahun pertama dikenakan Rp2.000/hektare, tahun II Rp2.500/hektare, tahun III Rp3.000/hektare dan tahap eksploitasi I (30 tahun) Rp15.000/haktare.
"Produksi batu bara di daerah itu sampai kini disebutkan belum maksimal karena faktor alam dan juga terkait dengan masalah perizinan jalan tambang dan kehutanan," katanya.
Penjualan batu bara pada periode Januari-Desember 2015 mencapai 3.188.045 metrik ton atau turun dibanding tahun 2014 yang mencapai 4.107.502 metrik ton.