Palangka Raya (Antaranews Kalteng) - Ketua Komisi B DPRD Kalimantan Tengah Borak Milton menilai, peraturan Gubernur nomor 10 tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota Dewan dapat menimbulkan keresahan di seluruh provinsi ini.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2017 secara tegas ada menyatakan bahwa tarif tunjangan yang diterima pimpinan dan anggota DPRD di tingkat kabupaten/kota tidak boleh melebihi provinsi, kata Borak saat ditemui di ruang Komisi B DPRD Kalteng, Selasa.
"Di Pergub no.10/2018 yang penerbitannya terkesan mendadak ini, tunjangan pimpinan dan anggota DPRD Provinsi Kalteng mengalami penurunan. Alhasil, Pergub ini membuat anggota dan pimpinan DPRD di seluruh Kabupaten/Kota telah melanggar PP no.18/2017," tambahnya.
Menurut dia, viralnya Pergub no.10/2018 di media sosial ini bukan karena kalangan DPRD Provinsi Kalteng resah terjadinya penurunan tunjangan, melainkan proses penerbitannya kurang memenuhi prosedur dan tidak terlebih dahulu dikomunikasikan.
Dia mengatakan, momentum penerbitan Pergub no.10/2018 tersebut juga dianggap tidak tepat karena di saat sebagian anggota DPRD Kalteng sedang melaksanakan ibadah puasa, tiba-tiba harus memikirkan utang yang bukan dilakukan oleh diri sendiri.
"Sudah nominal tunjangan yang diterima pimpinan dan anggota DPRD Kalteng mengalami penurunan, pemberlakukan pergub pun berlaku surut, yakni Januari 2018. Padahal pergub terbit sekitar April 2018. Jadi, pimpinan dan anggota DPRD Kalteng harus mengembalikan sejumlah dana," ucap Borak.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini pun menyarankan agar Pergub aneh dan baru pertama kali terjadi di Indonesia ini dapat ditinjau dengan tatanan yang benar, dan dilakukan terlebih dahulu konsultasi, baik itu ke DPRD Kalteng maupun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Dia mengatakan apabila beberapa hal ini tidak dilakukan Pemerintah Provinsi, dikhawatirkan Pergub ini akan menimbulkan keresahan yang semakin besar. Bukan hanya di DPRD Provinsi, tapi juga di tingkat Kabupaten/Kota.
"Saya tidak tahu siapa yang bertanggungjawab terhadap Pergub tersebut. Tapi karena yang menandatangani adalah Gubernur, maka Gubernur bertanggungjawab," demikian Borak.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2017 secara tegas ada menyatakan bahwa tarif tunjangan yang diterima pimpinan dan anggota DPRD di tingkat kabupaten/kota tidak boleh melebihi provinsi, kata Borak saat ditemui di ruang Komisi B DPRD Kalteng, Selasa.
"Di Pergub no.10/2018 yang penerbitannya terkesan mendadak ini, tunjangan pimpinan dan anggota DPRD Provinsi Kalteng mengalami penurunan. Alhasil, Pergub ini membuat anggota dan pimpinan DPRD di seluruh Kabupaten/Kota telah melanggar PP no.18/2017," tambahnya.
Menurut dia, viralnya Pergub no.10/2018 di media sosial ini bukan karena kalangan DPRD Provinsi Kalteng resah terjadinya penurunan tunjangan, melainkan proses penerbitannya kurang memenuhi prosedur dan tidak terlebih dahulu dikomunikasikan.
Dia mengatakan, momentum penerbitan Pergub no.10/2018 tersebut juga dianggap tidak tepat karena di saat sebagian anggota DPRD Kalteng sedang melaksanakan ibadah puasa, tiba-tiba harus memikirkan utang yang bukan dilakukan oleh diri sendiri.
"Sudah nominal tunjangan yang diterima pimpinan dan anggota DPRD Kalteng mengalami penurunan, pemberlakukan pergub pun berlaku surut, yakni Januari 2018. Padahal pergub terbit sekitar April 2018. Jadi, pimpinan dan anggota DPRD Kalteng harus mengembalikan sejumlah dana," ucap Borak.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini pun menyarankan agar Pergub aneh dan baru pertama kali terjadi di Indonesia ini dapat ditinjau dengan tatanan yang benar, dan dilakukan terlebih dahulu konsultasi, baik itu ke DPRD Kalteng maupun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Dia mengatakan apabila beberapa hal ini tidak dilakukan Pemerintah Provinsi, dikhawatirkan Pergub ini akan menimbulkan keresahan yang semakin besar. Bukan hanya di DPRD Provinsi, tapi juga di tingkat Kabupaten/Kota.
"Saya tidak tahu siapa yang bertanggungjawab terhadap Pergub tersebut. Tapi karena yang menandatangani adalah Gubernur, maka Gubernur bertanggungjawab," demikian Borak.