Denpasar (Antaranews Kalteng) - Ahli kejiwaan yang juga Wakil Direktur Bidang Pelayanan Rumah Sakit Jiwa Bangli dr Dewa Gde Basudewa SpKJ meminta masyarakat untuk mewaspadai fenomena gangguan jiwa kekinian yang disebabkan karena kecanduan gawai.
"Sekarang banyak kita lihat orang jalan, tetapi tangannya tetap sibuk dengan hp. Dipanggil pun tidak nyahut, dalam teori ilmu kejiwaan itu disebut obsesif kompulsif atau obsesi berlebihan terhadap sesuatu," kata dr Basudewa saat berorasi pada Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja (PB3AS), di Denpasar, Minggu.
Menurut dia, tanda jika seseorang mulai mengalami gangguan jiwa bila tingkah lakunya mulai tidak selaras dengan lingkungan.
"Perubahannya bisa kita amati, dari yang awalnya suka bergaul menjadi tidak suka bergaul. Ciri lainnya, suka ngomong sendiri. Salah satu pemicu gangguan jiwa yang umum adalah depresi," ujarnya.
Namun ahli kejiwaan ini mengamati, belakangan muncul fenomena gangguan jiwa ringan yang disebabkan kecanduan pada teknologi khususnya telepon genggam.
Tak hanya telepon genggam, belakangan banyak anak remaja yang kecanduan game. Basudewa berpendapat, masyarakat harus mewaspadai dampak negatif dari adiksi atau kecanduan teknologi ini.
Hal itu karena kecanduan teknologi yang tak terkontrol dapat memicu perubahan perilaku seperti menjadi mudah marah ketika kesenangannya diganggu.
"Saya menyebutnya sebagai gangguan jiwa kekinian. Saya berharap, spektrum kategori gangguan kejiwaan bisa diubah sehingga fenomena kekinian bisa masuk dalam aturan dan tertangani sedini mungkin," ucapnya.
Di sisi lain, Basudewa juga menyinggung gangguan jiwa sebagai pemicu tingginya angka bunuh diri. "Angka kematian akibat bunuh diri di Bali cukup tinggi, puncaknya tahun 2004 yaitu sebanyak 180 orang. Sementara tahun 2017 bisa ditahan di angka 99 orang," ujarnya.
Meskipun grafiknya menurun, namun menurutnya angka itu masih terbilang tinggi. Menurut dia, lingkungan keluarga punya andil yang sangat besar dalam mencegah tindak bunuh diri.
"Jauhkan pola asuh anak dari kekerasan psikis seperti memarahi, merendahkan dan selalu menuntut mereka jadi yang terbaik. Selalu buka ruang komunikasi antar anggota keluarga," tambahnya.
Lebih dari itu, dr Basudewa juga mengimbau agar pihak keluarga tak menganggap orang dengan gangguan Jiwa (ODGJ) sebagai aib yang terkesan ditutup-tutupi.
Sikap tertutup ini mengakibatkan hampir 80 persen pasien dengan ganguan jiwa belum terakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan.
"Pemerintah menyediakan layanan khusus bagi ODGJ secara berjenjang mulai dari puskesmas. Silahkan manfaatkan seoptimal mungkin," ujarnya seraya menginformasikan bahwa RSJ Bangli saat ini menyediakan layanan rawat jalan dan rawat inap bagi ODGJ.
"Sekarang banyak kita lihat orang jalan, tetapi tangannya tetap sibuk dengan hp. Dipanggil pun tidak nyahut, dalam teori ilmu kejiwaan itu disebut obsesif kompulsif atau obsesi berlebihan terhadap sesuatu," kata dr Basudewa saat berorasi pada Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja (PB3AS), di Denpasar, Minggu.
Menurut dia, tanda jika seseorang mulai mengalami gangguan jiwa bila tingkah lakunya mulai tidak selaras dengan lingkungan.
"Perubahannya bisa kita amati, dari yang awalnya suka bergaul menjadi tidak suka bergaul. Ciri lainnya, suka ngomong sendiri. Salah satu pemicu gangguan jiwa yang umum adalah depresi," ujarnya.
Namun ahli kejiwaan ini mengamati, belakangan muncul fenomena gangguan jiwa ringan yang disebabkan kecanduan pada teknologi khususnya telepon genggam.
Tak hanya telepon genggam, belakangan banyak anak remaja yang kecanduan game. Basudewa berpendapat, masyarakat harus mewaspadai dampak negatif dari adiksi atau kecanduan teknologi ini.
Hal itu karena kecanduan teknologi yang tak terkontrol dapat memicu perubahan perilaku seperti menjadi mudah marah ketika kesenangannya diganggu.
"Saya menyebutnya sebagai gangguan jiwa kekinian. Saya berharap, spektrum kategori gangguan kejiwaan bisa diubah sehingga fenomena kekinian bisa masuk dalam aturan dan tertangani sedini mungkin," ucapnya.
Di sisi lain, Basudewa juga menyinggung gangguan jiwa sebagai pemicu tingginya angka bunuh diri. "Angka kematian akibat bunuh diri di Bali cukup tinggi, puncaknya tahun 2004 yaitu sebanyak 180 orang. Sementara tahun 2017 bisa ditahan di angka 99 orang," ujarnya.
Meskipun grafiknya menurun, namun menurutnya angka itu masih terbilang tinggi. Menurut dia, lingkungan keluarga punya andil yang sangat besar dalam mencegah tindak bunuh diri.
"Jauhkan pola asuh anak dari kekerasan psikis seperti memarahi, merendahkan dan selalu menuntut mereka jadi yang terbaik. Selalu buka ruang komunikasi antar anggota keluarga," tambahnya.
Lebih dari itu, dr Basudewa juga mengimbau agar pihak keluarga tak menganggap orang dengan gangguan Jiwa (ODGJ) sebagai aib yang terkesan ditutup-tutupi.
Sikap tertutup ini mengakibatkan hampir 80 persen pasien dengan ganguan jiwa belum terakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan.
"Pemerintah menyediakan layanan khusus bagi ODGJ secara berjenjang mulai dari puskesmas. Silahkan manfaatkan seoptimal mungkin," ujarnya seraya menginformasikan bahwa RSJ Bangli saat ini menyediakan layanan rawat jalan dan rawat inap bagi ODGJ.