Pulang Pisau (Antaranews Kalteng) - Tidak kunjung membaiknya harga jual buah kelapa sawit, membuat para petani sawit yang ada di Kabupaten Pulang Pisau mulai lesu dan terpukul. Hal tersebut dikatakan Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Hanjak Maju Kecamatan Kahayan Hilir, M Helmi, Senin (29/10/18).
"Anjloknya harga jual ini membuat para petani sawit lesu. Bahkan beberapa diantara petani sawit ada yang mau menjual kebunnya," ungkap Helmi.
Turunnya harga ini, terang Helmi, sudah terjadi selama tiga bulan terakhir dan masih belum ada tanda- tanda harga kembali normal. Dari harga jual perkilogram Rp1.300, sekarang hanya dihargai Rp600 perkilogram. Pendapatan para petani sawit otomatis menurun drastis, terlebih ditengah kebutuhan yang setiap hari terus meningkat.
Menurut Helmi, keluhan ini hampir dirasakan seluruh petani sawit. BUMDes Desa Hanjak Maju salah satu unit usahanya adalah menampung buah dari para petani sawit yang saat ini berjumlah mencapai 62 orang.
Dalam panen setiap 14 hari, petani sawit di daerah setempat bisa menghasilkan tandan buah segar (TBS) sawit bisa mencapai 60 ton lebih.
Dengan turunnya harga jual itu, terang Helmi, untuk perawatan kebun seperti pemupukan dan kebutuhan obat-obatan menjadi sangat berat dirasakan oleh petani sawit. Melihat harga jual yang masih belum stabil tersebut, para petani sawit mulai melirik ke tanaman atau komoditi lain seperti sengon dan jeruk nipis karena dinilai lebih menjanjikan.
Helmi juga mengungkapkan bahwa para petani sawit meminta kepada pemerintah setempat untuk mendorong dan memfasilitasi terbentuknya semacam serikat atau assosiasi bagi para petani sawit. Keberadaan assosiasi ini diharapkan bisa memfasilitasi berbagai permasalahan, dari harga jual hingga adanya regulasi yang terkait.
Para petani sawit juga berharap agar SOPD terkait seperti Dinas Pertanian lebih pro aktif membantu seperti memberikan update patokan harga minimal TBS sawit agar petani merasa terayomi dan terlindungi sehingga peran pemerintah benar-benar dirasakan oleh para petani sawit yang ada di kabupaten setempat.
Selama ini dikatakan Helmi, tidak adanya serikat atau assosiasi membuat para petani sawit bingung kemana mengadu apabila ada kendala yang dihadapi. Meski saat ini masih terjadi gejolak harga, namun para petani sawit di daerah setempat masih berusaha mempertahankan kebunnya untuk tidak berpaling ke komoditi lain.
"Anjloknya harga jual ini membuat para petani sawit lesu. Bahkan beberapa diantara petani sawit ada yang mau menjual kebunnya," ungkap Helmi.
Turunnya harga ini, terang Helmi, sudah terjadi selama tiga bulan terakhir dan masih belum ada tanda- tanda harga kembali normal. Dari harga jual perkilogram Rp1.300, sekarang hanya dihargai Rp600 perkilogram. Pendapatan para petani sawit otomatis menurun drastis, terlebih ditengah kebutuhan yang setiap hari terus meningkat.
Menurut Helmi, keluhan ini hampir dirasakan seluruh petani sawit. BUMDes Desa Hanjak Maju salah satu unit usahanya adalah menampung buah dari para petani sawit yang saat ini berjumlah mencapai 62 orang.
Dalam panen setiap 14 hari, petani sawit di daerah setempat bisa menghasilkan tandan buah segar (TBS) sawit bisa mencapai 60 ton lebih.
Dengan turunnya harga jual itu, terang Helmi, untuk perawatan kebun seperti pemupukan dan kebutuhan obat-obatan menjadi sangat berat dirasakan oleh petani sawit. Melihat harga jual yang masih belum stabil tersebut, para petani sawit mulai melirik ke tanaman atau komoditi lain seperti sengon dan jeruk nipis karena dinilai lebih menjanjikan.
Helmi juga mengungkapkan bahwa para petani sawit meminta kepada pemerintah setempat untuk mendorong dan memfasilitasi terbentuknya semacam serikat atau assosiasi bagi para petani sawit. Keberadaan assosiasi ini diharapkan bisa memfasilitasi berbagai permasalahan, dari harga jual hingga adanya regulasi yang terkait.
Para petani sawit juga berharap agar SOPD terkait seperti Dinas Pertanian lebih pro aktif membantu seperti memberikan update patokan harga minimal TBS sawit agar petani merasa terayomi dan terlindungi sehingga peran pemerintah benar-benar dirasakan oleh para petani sawit yang ada di kabupaten setempat.
Selama ini dikatakan Helmi, tidak adanya serikat atau assosiasi membuat para petani sawit bingung kemana mengadu apabila ada kendala yang dihadapi. Meski saat ini masih terjadi gejolak harga, namun para petani sawit di daerah setempat masih berusaha mempertahankan kebunnya untuk tidak berpaling ke komoditi lain.