Palembang (ANTARA) - Sejumlah petani kopi di Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Sumatera Selatan, resah karena produktifitas kebun mereka terus menurun dari sekitar dua ton ton per tahun menjadi sekitar 800-900 kilogram per tahun untuk setiap hektare sejak satu dekade terakhir.

T Puji Santoso (44), petani kopi di Desa Sinar Napalan, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan yang masuk dalam Kelompok Tani Harapan mengatakan penurunan produksi ini diduga karena masifnya penggunaan pupuk kimia sehingga menyebabkan kerusakan tanah.

"Semakin lama semakin menurun, ini juga pengaruh tanaman kami yang sudah tua, perlu diremajakan," kata Puji.

Ia mengatakan di desanya yang berjarak tempuh 1,5 jam ke Way Kanan, Lampung, ini ada ratusan pekebun kopi yang merasakan persoalan yang sama.

Hartama (52), pekebun kopi lainnya di desa tersebut sebagai bendahara Kelompok Tani Napalan Makmur mengatakan lantaran itu, petani juga menanam yang lain seperti karet, sayuran, jengkol, sawit, lada, kakao, dan palawija.

Hal ini terpaksa dilakukan karena harga kopi juga tak kunjung terkerek naik, yakni hanya Rp18.000-Rp19.000 per kilogram, bahkan pada tahun 2018 pernah berada di harga Rp17.000 per kilogram.

Menurutnya, harga kopi sulit untuk tinggi karena sangat tergantung dengan harga yang ditetapkan tengkulak, yang sebagian besar berasal dari Lampung.

"Kami harus ikut tengkulak, mereka yang menetapkan sendiri karena obat semprot, pupuk, hingga kebutuhan kami sehari-hari seperti beras, gula, lainnya, ya dari tengkulak," kata dia.

Petani kopi di OKU Selatan ini kemudian mempertanyakan hal ini ke tengkulak yakni mengapa harga tak terkerek naik, padahal minuman kopi sedang booming" di Indonesia. "Tidak ada jawaban dari tengkulak, tetap saja begitu," kata Hartama.

 

Pewarta : Dolly Rosana
Uploader : Ronny
Copyright © ANTARA 2024