Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty mengatakan bermain gawai dapat menyebabkan anak menjadi mudah mengamuk atau tantrum dan hiperaktif.

"KPAI sudah pernah mendapat pasien kecanduan gawai dirawat di rumah sakit. Karena begitu kecanduan dengan gawai, ketika tidak ada gawai langsung tantrum, mengamuk," kata Sitti dalam acara diskusi "Kemitraan Dalam Upaya Melindungi Hak Anak dan Remaja" dalam peringatan Hari Ulang Tahun ke-65 IDAI, Jakarta, Rabu.

Dia menuturkan ketika dipisahkan dari gawainya, anak yang kecanduan gawai itu mengamuk luar biasa, bahkan sampai mengatakan benci kepada ibunya dan hendak membunuhnya jika dipisahkan dari gawai.

Sitti menuturkan Badan Kesehatan Dunia sepakat menyatakan kecanduan gawai adalah suatu penyakit.

Selain itu, Sitti mengatakan banyak predator yang siap memangsa anak-anak lewat interaksi di gawai, termasuk bahaya dari pelaku pedofilia dan kekerasan seksual.

Dia menuturkan pelaku pedofilia dengan intens mengincar korban dalam jangka waktu tertentu misalnya, enam bulan sampai satu tahun. Ketika ibu lengah atau sedang memasak di dapur, ibu tidak tahu bahwa meskipun anak berada di rumah, namun anaknya ternyata sedang berbicara dengan orang asing lewat gawai, yang berusaha menjebak anak dalam kasus pelecehan seksual.

Ada juga kasus di mana anak mengalami kekerasan seksual oleh orang yang dia kenal lewat media sosial saat mereka bertemu di di dunia nyata.

Dia mengatakan banyak kemungkinan yang bisa menyebabkan anak terjebak dalam kekerasan seksual. Untuk itu, anak-anak juga harus dipantau saat menggunakan gawai.

Dokter Spesialis Anak DR. dr. Meita Dhamayanti, Sp.A(K) mengatakan perlu pengendalian, pembatasan dan pengawasan bagi anak-anak saat bermain gawai.

Banyak penelitian yang menunjukkan adiksi gawai berdampak buruk bagi psikososial anak.

Dia mengatakan anak yang terkena adiksi gawai, 30 persen mempunyai risiko lebih tinggi terkena masalah mental dan sosial.

Anak-anak yang lebih banyak bermain gawai akan memiliki waktu interaksi dengan lingkungan yang berkurang sehingga perkembangan hubungan sosial dan emosional anak tidak berkembang optimal.

"Dengan asyiknya dia sibuk sendiri bermain gawai, terpapar tayangan yang negatif, mereka menjadi hiperaktif, jadi agresif, dan kemampuan interaksi sosialnya menjadi tidak baik," tuturnya.*

Pewarta : Martha Herlinawati S
Uploader : Admin Kalteng
Copyright © ANTARA 2024