Tanjung Selor (ANTARA) - Misteri kekayaan rimba Kalimantan diyakini menyimpan berbagai bahan "herbal ajaib" kembali mencuat, dibarengi asa baru bagi penyembuhan penyakit-penyakit berbahaya yang selama ini belum ditemukan obatnya.
Optimisme adanya keajaiban dari rimba Kalimantan berkat sukses dua siswa asal SMA Negeri Palangkaraya, yakni Anggina Rafitri dan Aysa Aurealya Maharani yang menemukan obat penyembuh kanker dari tumbuhan Bajakah.
Hasil karya mereka meraih medali emas di World Invention Creativity Olympic (WICO), Seoul, Korea Selatan, 25 Juli 2018.
Sebenarnya cerita tentang misteri dan harapan obat ajaib dari rimba Kalimantan, termasuk di Kalimantan Utara (Kaltara) bukan kisah baru.
Cerita itu misalnya sudah mencuat pada 1990-an ketika deforestasi (hilangnya hutan akibat kegiatan manusia) di Kalimantan jadi sorotan dunia.
Ada pihak yang mengambinghitamkan warga lokal berkontribusi bagi deforestasi, yakni pembalakan liar dan pembukaan lahan dengan pembakaran.
Namun, pakar kehutanan Universitas Mulawarman Dr. Ir Abubakar M Lahjie M. Agr membantahnya karena justru dengan kearifan lokal, warga setempat mampu melestarikan hutan secara turun-temurun.
Pakar agroferestry lulusan Nihon University Jepang itu menjelaskan hasil studinya ternyata warga lokal membagi beberapa zona hutan, di antaranya untuk berburu, perkampungan, pemakaman, serta hutan larangan yang menjadi '"apotek hidup".
Warga pedalaman ternyata sudah turun temurun sejak dulu memanfaatkan herbal di kawasan "apotek hidup" bagi kesehatan mereka.
Bagi warga yang merambah zona larangan ini bisa terkena sanksi oleh lembaga adat, jadi tidak benar mereka merusak hutan.
Berbagai cerita sudah diekspose tentang "kehebatan herbal ajaib" dari hutan larangan.
Namun, kala itu belum ada penelitian mendalam mengenai khasiat herbal dari rimba Kalimantan.
Padahal sudah tersiar tentang serbuk bisa menangkal malaria, ramuan untuk mengatur kelahiran serta pengobatan kanker.
Pada pertengahan 1990-an, harapan akan ditemukan ramuan ajaib kembali mencuat.
Hal itu seiring hebohnya berita kasus pertama kali warga Kaltim dinyatakan positif terkena Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) pada 1993 di Lokalosasi Loa Janan Kutai.
Kepanikan dunia kedokteran terhadap HIV/AIDS akhirnya menaruh harapan baru, termasuk wacana menemukan tumbuhan obat dari "Heart of Borneo" (Indonesia, Malaysia, dan Brunei).
Harapan untuk menemukan ramuan ajaib dari bumi Borneo tampaknya kurang mendapat respon positif.
Pasalnya, berita hutan Borneo memiliki tumbuhan hebat untuk pengobatan dianggap hanya sebuah "kampanye" dari penggiat lingkungan untuk penyelamatan hutan Borneo.
Kaya Kandungan antioksidan
Bagi warga Kalimantan, sejak di bangku sekolah dasar sudah akrab dengan akar Bajakah (namanya berbeda-beda setiap wilayah).
Misalnya, pelajar yang mengikuti program kepanduan/pramuka akan diajarkan cara bertahan hidup di hutan, salah satunya meminum air dari akar Bajakah.
Tapi yang tahu khasiatnya sebagai obat kanker ternyata terbatas, termasuk hanya warga Dayak di Kalteng.
Pengetahuan itu kian tersebar setelah prestasi siswa Palangkaraya itu terpublikasikan.
Dari pengetahuan itu, keduanya disebut menemukan obat penyembuh kanker dari akar tumbuhan Bajakah yang diolah menjadi bubuk.
Dalam uji coba terhadap tikus, Anggina dan Aysa menemukan bahwa sel tumor bisa menghilang dalam waktu dua minggu.
Dari uji laboratorium, Bajakah memiliki kandungan antioksidan ribuan kali lipat ketimbang jenis tanaman lainnya.
Bajakah juga disebut teridentifikasi mengandung 40 zat yang bisa mematikan sel-sel kanker dalam tubuh.
Zat-zat teridentifikasi antara lain saponin, fenolik, steroid, terpenoid, tannin, alkonoid, dan terpenoid.
Zat-zat itu memiliki fungsi bagi kesehatan, antara lain sebagai antioksidan, memaksimalkan kerja sistem imun, dan kaya vitamin A.
Zat-zat itu juga disebutkan bisa mematikan sel kanker, memperbaiki struktur DNA yang rusak, dan mendetoksifikasi senyawa karsinogen.
Warga Dayak mengolah Bajakah dengan mengeringkan secara alami dengan dijemur serta menjadikan sebagai bubuk.
Bubuk itu direbus seperti minuman teh.
Berdasarkan pengakuan warga dengan rutin meminum teh Bajakah itu selama dua bulan bisa menyembuhkan tumor atau kanker payudara.
Warga asli Kalimantan sejak ratusan tahun silam suda memiliki pengetahuan tentang manfaat tumbuh-tumbuhan.
Pengetahuan mereka bukan hanya untuk pengobatan tapi bisa juga untuk "meracun" dengan memafaatkan getah atau zat dari jenis tumbuhan tertentu yang dirahasiakan.
Termasuk menciptakan racun anak sumpit berasal dari ramuan getah pohon.
Dengan berbagai pengetahuan itu sehingga dulu ada anggapan negatif bahwa suku asli Kalimantan memiliki "magic" yang bisa meracun orang.
Kerusakan Lingkungan
Keberhasilan meraih emas di WICO dengan uji coba pada tikus tampaknya perlu perjalanan agak panjang dalam uji fase klinis untuk manusia.
Pembuktian uji fase klinis terhadap manusia tetap dibutuhkan meski ada testimoni warga yang mengaku sembuh setelah secara rutin meminum teh herbal Bajakah.
Yang jelas, kini dampak dari viralnya berita tersebut terjadi perburuan tumbuhan Bajakah.
Pantauan di sejumlah toko online juga marak menjual Bajakah masih berbentuk potongan dengan harga fantastis dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Demikian pula pantauan postingan di media sosial juga tampak marak pemburuan serta penjualan Bajakah bukan hanya di Kalteng tapi pada provinsi lain di Kalimantan.
Kondisi itu cukup memprihatinkan karena dikhawatirkan terjadi kerusakan lingkungan akibat Bajakah diburu secara massal dan masif.
Kekhawatiran tersebut beralasan, mengingat deforestasi dalam dua dasawarsa di Kalimantan cukup parah.
Deforestasi kian parah sejak 2000-an karena pengelolaan kawasan yang semula hanya oleh beberapa konglomerasi HPH (hak penguasaan hutan) pada Orba, kemudian diserahkan ke koperasi dan komunitas adat pada awal reformasi.
Ibarat sebuah roti jika sebelumnya hanya dimakan oleh beberapa konglomerasi maka pada awal reformasi hutan dihabisi beramai-ramai oleh koperasi dan kelompok adat, termasuk keserakahan pembalak liar menggunakan gergaji mesin dan alat berat.
Setelah era industri perhutanan dan perkayuan berlalu, ternyata badai deforestasi masih berlanjut oleh mesin dari sektor perkebunan.
Data Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menggunakan serangkaian gambar satelit
memperlihatkan hilangnya hutan tua Kalimantan/Borneo periode 2000-2017.
Menurut riset, antara 2000 hingga 2017 ditemukan 6,04 juta hektare hutan tua di Kalimantan telah hilang atau turun 14 persen.
Diduga deforestasi wilayah Indonesia dan Malaysia terkait tingginya permintaan minyak nabati serba guna di dunia, yaitu menghasilkan produksi 87 persen dari pasokan global.
Di saat deforestasi terus bergulir maka jika perburuan massal dan masif menimpa Bajakah tentu membawa masalah baru bagi ekosistem.
Salah satu harapan dalam penyelamatan hutan itu, agar pemerintah mendukung kearifan lokal dalam melestarikan lingkungannya.
Kebijakam moratorium pembukaan lahan agaknya perlu terus dipertahankan.
Termasuk kebijakan untuk menggalakkan program rehabilitasi (memulihkan, mempertahankan dan meningkatan fungsi hutan) dan reboisasi (menghijaukan lahan gundul).
Upaya penyelamatan hutan Kalimantan sebagai salah satu paru-paru dunia tentu sangat strategis.
Bukan tidak mungkin juga dari rimba Kalimantan itu bakal akan ditemukan herbal ajaib untuk menyembuhkan kanker, HIV/AIDS serta berbagai penyakit yang sampai kini belum ada obatnya.
Optimisme adanya keajaiban dari rimba Kalimantan berkat sukses dua siswa asal SMA Negeri Palangkaraya, yakni Anggina Rafitri dan Aysa Aurealya Maharani yang menemukan obat penyembuh kanker dari tumbuhan Bajakah.
Hasil karya mereka meraih medali emas di World Invention Creativity Olympic (WICO), Seoul, Korea Selatan, 25 Juli 2018.
Sebenarnya cerita tentang misteri dan harapan obat ajaib dari rimba Kalimantan, termasuk di Kalimantan Utara (Kaltara) bukan kisah baru.
Cerita itu misalnya sudah mencuat pada 1990-an ketika deforestasi (hilangnya hutan akibat kegiatan manusia) di Kalimantan jadi sorotan dunia.
Ada pihak yang mengambinghitamkan warga lokal berkontribusi bagi deforestasi, yakni pembalakan liar dan pembukaan lahan dengan pembakaran.
Namun, pakar kehutanan Universitas Mulawarman Dr. Ir Abubakar M Lahjie M. Agr membantahnya karena justru dengan kearifan lokal, warga setempat mampu melestarikan hutan secara turun-temurun.
Pakar agroferestry lulusan Nihon University Jepang itu menjelaskan hasil studinya ternyata warga lokal membagi beberapa zona hutan, di antaranya untuk berburu, perkampungan, pemakaman, serta hutan larangan yang menjadi '"apotek hidup".
Warga pedalaman ternyata sudah turun temurun sejak dulu memanfaatkan herbal di kawasan "apotek hidup" bagi kesehatan mereka.
Bagi warga yang merambah zona larangan ini bisa terkena sanksi oleh lembaga adat, jadi tidak benar mereka merusak hutan.
Berbagai cerita sudah diekspose tentang "kehebatan herbal ajaib" dari hutan larangan.
Namun, kala itu belum ada penelitian mendalam mengenai khasiat herbal dari rimba Kalimantan.
Padahal sudah tersiar tentang serbuk bisa menangkal malaria, ramuan untuk mengatur kelahiran serta pengobatan kanker.
Pada pertengahan 1990-an, harapan akan ditemukan ramuan ajaib kembali mencuat.
Hal itu seiring hebohnya berita kasus pertama kali warga Kaltim dinyatakan positif terkena Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) pada 1993 di Lokalosasi Loa Janan Kutai.
Kepanikan dunia kedokteran terhadap HIV/AIDS akhirnya menaruh harapan baru, termasuk wacana menemukan tumbuhan obat dari "Heart of Borneo" (Indonesia, Malaysia, dan Brunei).
Harapan untuk menemukan ramuan ajaib dari bumi Borneo tampaknya kurang mendapat respon positif.
Pasalnya, berita hutan Borneo memiliki tumbuhan hebat untuk pengobatan dianggap hanya sebuah "kampanye" dari penggiat lingkungan untuk penyelamatan hutan Borneo.
Kaya Kandungan antioksidan
Bagi warga Kalimantan, sejak di bangku sekolah dasar sudah akrab dengan akar Bajakah (namanya berbeda-beda setiap wilayah).
Misalnya, pelajar yang mengikuti program kepanduan/pramuka akan diajarkan cara bertahan hidup di hutan, salah satunya meminum air dari akar Bajakah.
Tapi yang tahu khasiatnya sebagai obat kanker ternyata terbatas, termasuk hanya warga Dayak di Kalteng.
Pengetahuan itu kian tersebar setelah prestasi siswa Palangkaraya itu terpublikasikan.
Dari pengetahuan itu, keduanya disebut menemukan obat penyembuh kanker dari akar tumbuhan Bajakah yang diolah menjadi bubuk.
Dalam uji coba terhadap tikus, Anggina dan Aysa menemukan bahwa sel tumor bisa menghilang dalam waktu dua minggu.
Dari uji laboratorium, Bajakah memiliki kandungan antioksidan ribuan kali lipat ketimbang jenis tanaman lainnya.
Bajakah juga disebut teridentifikasi mengandung 40 zat yang bisa mematikan sel-sel kanker dalam tubuh.
Zat-zat teridentifikasi antara lain saponin, fenolik, steroid, terpenoid, tannin, alkonoid, dan terpenoid.
Zat-zat itu memiliki fungsi bagi kesehatan, antara lain sebagai antioksidan, memaksimalkan kerja sistem imun, dan kaya vitamin A.
Zat-zat itu juga disebutkan bisa mematikan sel kanker, memperbaiki struktur DNA yang rusak, dan mendetoksifikasi senyawa karsinogen.
Warga Dayak mengolah Bajakah dengan mengeringkan secara alami dengan dijemur serta menjadikan sebagai bubuk.
Bubuk itu direbus seperti minuman teh.
Berdasarkan pengakuan warga dengan rutin meminum teh Bajakah itu selama dua bulan bisa menyembuhkan tumor atau kanker payudara.
Warga asli Kalimantan sejak ratusan tahun silam suda memiliki pengetahuan tentang manfaat tumbuh-tumbuhan.
Pengetahuan mereka bukan hanya untuk pengobatan tapi bisa juga untuk "meracun" dengan memafaatkan getah atau zat dari jenis tumbuhan tertentu yang dirahasiakan.
Termasuk menciptakan racun anak sumpit berasal dari ramuan getah pohon.
Dengan berbagai pengetahuan itu sehingga dulu ada anggapan negatif bahwa suku asli Kalimantan memiliki "magic" yang bisa meracun orang.
Kerusakan Lingkungan
Keberhasilan meraih emas di WICO dengan uji coba pada tikus tampaknya perlu perjalanan agak panjang dalam uji fase klinis untuk manusia.
Pembuktian uji fase klinis terhadap manusia tetap dibutuhkan meski ada testimoni warga yang mengaku sembuh setelah secara rutin meminum teh herbal Bajakah.
Yang jelas, kini dampak dari viralnya berita tersebut terjadi perburuan tumbuhan Bajakah.
Pantauan di sejumlah toko online juga marak menjual Bajakah masih berbentuk potongan dengan harga fantastis dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Demikian pula pantauan postingan di media sosial juga tampak marak pemburuan serta penjualan Bajakah bukan hanya di Kalteng tapi pada provinsi lain di Kalimantan.
Kondisi itu cukup memprihatinkan karena dikhawatirkan terjadi kerusakan lingkungan akibat Bajakah diburu secara massal dan masif.
Kekhawatiran tersebut beralasan, mengingat deforestasi dalam dua dasawarsa di Kalimantan cukup parah.
Deforestasi kian parah sejak 2000-an karena pengelolaan kawasan yang semula hanya oleh beberapa konglomerasi HPH (hak penguasaan hutan) pada Orba, kemudian diserahkan ke koperasi dan komunitas adat pada awal reformasi.
Ibarat sebuah roti jika sebelumnya hanya dimakan oleh beberapa konglomerasi maka pada awal reformasi hutan dihabisi beramai-ramai oleh koperasi dan kelompok adat, termasuk keserakahan pembalak liar menggunakan gergaji mesin dan alat berat.
Setelah era industri perhutanan dan perkayuan berlalu, ternyata badai deforestasi masih berlanjut oleh mesin dari sektor perkebunan.
Data Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menggunakan serangkaian gambar satelit
memperlihatkan hilangnya hutan tua Kalimantan/Borneo periode 2000-2017.
Menurut riset, antara 2000 hingga 2017 ditemukan 6,04 juta hektare hutan tua di Kalimantan telah hilang atau turun 14 persen.
Diduga deforestasi wilayah Indonesia dan Malaysia terkait tingginya permintaan minyak nabati serba guna di dunia, yaitu menghasilkan produksi 87 persen dari pasokan global.
Di saat deforestasi terus bergulir maka jika perburuan massal dan masif menimpa Bajakah tentu membawa masalah baru bagi ekosistem.
Salah satu harapan dalam penyelamatan hutan itu, agar pemerintah mendukung kearifan lokal dalam melestarikan lingkungannya.
Kebijakam moratorium pembukaan lahan agaknya perlu terus dipertahankan.
Termasuk kebijakan untuk menggalakkan program rehabilitasi (memulihkan, mempertahankan dan meningkatan fungsi hutan) dan reboisasi (menghijaukan lahan gundul).
Upaya penyelamatan hutan Kalimantan sebagai salah satu paru-paru dunia tentu sangat strategis.
Bukan tidak mungkin juga dari rimba Kalimantan itu bakal akan ditemukan herbal ajaib untuk menyembuhkan kanker, HIV/AIDS serta berbagai penyakit yang sampai kini belum ada obatnya.