Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menyesalkan keputusan sepihak pemerintah terkait pemindahan ibu kota tanpa mengajak diskusi MPR RI dan DPR RI, karena untuk melaksanakan kebijakan itu ada sekitar delapan undang-undang yang harus diubah.
"Saya menyayangkan kurangnya ahli tata negara di sekitar Presiden Jokowi sehingga beliau tidak menjalankan suatu proses ketatanegaraan yang resmi dan lazim yang ada tahapannya," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Baca juga: Akhirnya! Pemerintah putuskan Kaltim jadi ibu kota baru
Dia menjelaskan, lazimnya perpindahan ibu kota itu berbicara tentang perubahan-perubahan berbagai ketentuan lama yang ada, harus dicek levelnya apakah di UUD 1945 atau UU.
Baca juga: DPR minta pemerintah ajukan konsep pemindahan ibukota secara terbuka
Menurut dia, kalau UUD 1945 maka harus menarik prosesnya ke MPR RI untuk diadakan Sidang Istimewa dan kalau di UU maka harus menyelesaikan naskah akademiknya dahulu.
"Lalu melakukan sosialisasi pada tingkat pemerintah, baru bicara dengan DPR yaitu Komisi II DPR yaitu UU itu harus diubah. Karena UU yang harus diubah untuk perpindahan ibu kota, lebih dari delapan dalam kajian sementara yang saya temukan," ujarnya.
Baca juga: Di lokasi ibu kota baru sudah tersedia 180 ribu hektare lahan
Dia mencontohkan dalam sebuah UU, ada yang menyebutkan kedudukan sebuah lembaga ada di ibu kota dan ada yang menyebut berkedudukan di Jakarta sehingga kalau ibu kota dipindah maka harus mengubah UU.
Baca juga: HNW: MPR harus diajak diskusi rencana pemindahan ibu kota
Fahri menyesalkan orang-orang di sekitar Presiden Jokowi yang tidak memberikan masukan yang tepat karena seharusnya pemindahan ibu kota harus diawali dengan membuat UU, membuat kajian dan naskah akademik dahulu.
Baca juga: Gubernur tak masalah, Kalteng tak jadi ibu kota negara
Baca juga: Pemindahan ibu kota paling lambat 2024, kata Bappenas
"Saya menyayangkan kurangnya ahli tata negara di sekitar Presiden Jokowi sehingga beliau tidak menjalankan suatu proses ketatanegaraan yang resmi dan lazim yang ada tahapannya," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Baca juga: Akhirnya! Pemerintah putuskan Kaltim jadi ibu kota baru
Dia menjelaskan, lazimnya perpindahan ibu kota itu berbicara tentang perubahan-perubahan berbagai ketentuan lama yang ada, harus dicek levelnya apakah di UUD 1945 atau UU.
Baca juga: DPR minta pemerintah ajukan konsep pemindahan ibukota secara terbuka
Menurut dia, kalau UUD 1945 maka harus menarik prosesnya ke MPR RI untuk diadakan Sidang Istimewa dan kalau di UU maka harus menyelesaikan naskah akademiknya dahulu.
"Lalu melakukan sosialisasi pada tingkat pemerintah, baru bicara dengan DPR yaitu Komisi II DPR yaitu UU itu harus diubah. Karena UU yang harus diubah untuk perpindahan ibu kota, lebih dari delapan dalam kajian sementara yang saya temukan," ujarnya.
Baca juga: Di lokasi ibu kota baru sudah tersedia 180 ribu hektare lahan
Dia mencontohkan dalam sebuah UU, ada yang menyebutkan kedudukan sebuah lembaga ada di ibu kota dan ada yang menyebut berkedudukan di Jakarta sehingga kalau ibu kota dipindah maka harus mengubah UU.
Baca juga: HNW: MPR harus diajak diskusi rencana pemindahan ibu kota
Fahri menyesalkan orang-orang di sekitar Presiden Jokowi yang tidak memberikan masukan yang tepat karena seharusnya pemindahan ibu kota harus diawali dengan membuat UU, membuat kajian dan naskah akademik dahulu.
Baca juga: Gubernur tak masalah, Kalteng tak jadi ibu kota negara
Baca juga: Pemindahan ibu kota paling lambat 2024, kata Bappenas