Makassar (ANTARA) - Pemerintah bersama DPR-RI sebagai Lembaga Legislasi telah mengesahkan RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan batas minimal umur perkawinan bagi perempuan dan laki-laki disamakan, yaitu 19 tahun.
RUU ini merupakan sejarah baru bagi masa depan 80 juta anak Indonesia yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise dalam Rapat Paripurna DPR RI di Senayan Jakarta, Senin.
Melalui Pendapat Akhir Presiden atas Rancangan perubahan Undang-Undang itu yang dibacakan Yohana menyampaikan bahwa keputusan ini sangat dinantikan oleh seluruh warga Indonesia dalam upaya menyelamatkan anak terhadap praktik perkawinan anak.
"Sebab perkawinan anak ini sangat merugikan mereka, keluarga dan negara, serta sebagai bukti bahwa Indonesia mampu menjawab salah satu persoalan perlindungan anak,” ujarnya.
Menteri Yohana menambahkan, sangat banyak masalah yang ditimbulkan akibat praktek perkawinan anak.
“Fakta-fakta menunjukkan bahwa praktik perkawinan anak harus segera dihentikan, dan jika kondisi ini tidak dicegah akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi 'Darurat Perkawinan Anak," tambahnya.
Pertimbangan 19 tahun juga didasarkan bahwa seseorang dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, dapat menekan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan bayi serta pekerja anak.
Selain itu, juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Kementrian PPPA sejak memperoleh mandat melakukan upaya pencegahan perkawinan anak pada tahun 2016, bersama 15 K/L dan lebih dari 65 lembaga masyarakat terus melakukan berbagai upaya untuk mencegah perkawinan anak, salah satunya gagasan perubahan Undang-Undang batas usia perkawinan anak.
Pada tanggal 13 Desember 2018 lalu, Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan terhadap Gugatan Nomor 22/PUU-XV/2017. Kemen PPPA dalam tempo cepat menindaklanjuti Putusan MK tersebut dengan menyusun Naskah Akademis, disertai dengan berbagai kajian dan selanjutnya dilakukan penyusunan RUU.
"Pemerintah sepakat untuk menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi perempuan dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi laki-laki, yaitu 19 tahun," katanya.
Saat ini, Indonesia menduduki peringkat ke-7 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan angka perkawinan anak tertinggi. Praktik perkawinan anak di Indonesia berdasarkan data BPS 2017 menunjukkan angka 25,2 persen, artinya 1 dari 4 anak perempuan menikah pada usia anak, yaitu sebelum mencapai usia 18 tahun.
Sedangkan, pada tahun 2018 BPS sebesar 11,2 persen, artinya 1 dari 9 perempuan usia 20 hingga 24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun, dan ada 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan anak di atas angka nasional.
“Pengesahan revisi ini luar biasa, kami senang sekali, akhirnya setelah 45 tahun (menggunakan UU Perkawinan). Ini kado bagi anak-anak Indonesia yang pernah saya janjikan di Peringatan Hari Anak Nasional tahun 2019 kemarin, bahwa kami akan berusaha menaikkan angka batas usia perkawinan di atas usia anak," jelasnya.
RUU ini merupakan sejarah baru bagi masa depan 80 juta anak Indonesia yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise dalam Rapat Paripurna DPR RI di Senayan Jakarta, Senin.
Melalui Pendapat Akhir Presiden atas Rancangan perubahan Undang-Undang itu yang dibacakan Yohana menyampaikan bahwa keputusan ini sangat dinantikan oleh seluruh warga Indonesia dalam upaya menyelamatkan anak terhadap praktik perkawinan anak.
"Sebab perkawinan anak ini sangat merugikan mereka, keluarga dan negara, serta sebagai bukti bahwa Indonesia mampu menjawab salah satu persoalan perlindungan anak,” ujarnya.
Menteri Yohana menambahkan, sangat banyak masalah yang ditimbulkan akibat praktek perkawinan anak.
“Fakta-fakta menunjukkan bahwa praktik perkawinan anak harus segera dihentikan, dan jika kondisi ini tidak dicegah akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi 'Darurat Perkawinan Anak," tambahnya.
Pertimbangan 19 tahun juga didasarkan bahwa seseorang dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, dapat menekan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan bayi serta pekerja anak.
Selain itu, juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Kementrian PPPA sejak memperoleh mandat melakukan upaya pencegahan perkawinan anak pada tahun 2016, bersama 15 K/L dan lebih dari 65 lembaga masyarakat terus melakukan berbagai upaya untuk mencegah perkawinan anak, salah satunya gagasan perubahan Undang-Undang batas usia perkawinan anak.
Pada tanggal 13 Desember 2018 lalu, Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan terhadap Gugatan Nomor 22/PUU-XV/2017. Kemen PPPA dalam tempo cepat menindaklanjuti Putusan MK tersebut dengan menyusun Naskah Akademis, disertai dengan berbagai kajian dan selanjutnya dilakukan penyusunan RUU.
"Pemerintah sepakat untuk menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi perempuan dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi laki-laki, yaitu 19 tahun," katanya.
Saat ini, Indonesia menduduki peringkat ke-7 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan angka perkawinan anak tertinggi. Praktik perkawinan anak di Indonesia berdasarkan data BPS 2017 menunjukkan angka 25,2 persen, artinya 1 dari 4 anak perempuan menikah pada usia anak, yaitu sebelum mencapai usia 18 tahun.
Sedangkan, pada tahun 2018 BPS sebesar 11,2 persen, artinya 1 dari 9 perempuan usia 20 hingga 24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun, dan ada 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan anak di atas angka nasional.
“Pengesahan revisi ini luar biasa, kami senang sekali, akhirnya setelah 45 tahun (menggunakan UU Perkawinan). Ini kado bagi anak-anak Indonesia yang pernah saya janjikan di Peringatan Hari Anak Nasional tahun 2019 kemarin, bahwa kami akan berusaha menaikkan angka batas usia perkawinan di atas usia anak," jelasnya.