Sampit (ANTARA) - Anggota DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah Abdul Kadir menolak tudingan bahwa maraknya kebakaran lahan yang terjadi saat ini akibat ulah petani yang sengaja membakar lahan untuk persiapan bercocok tanam.
"Kami sangat keberatan dengan tudingan tersebut karena sangat tidak mendasar dan tanpa ada bukti lapangan yang konkret. Lebih kepada fitnah. Jika pun ada petani yang membakar, hal itu dilakukan dengan pengawasan atau dijaga," katanya di Sampit, Rabu.
Abdul Kadir menyayangkan pernyataan pihak tertentu yang menuding sebagian besar kebakaran lahan di tanah air adalah ulah petani. Dia juga mengkritik Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto yang berpendapat demikian.
Politisi Partai Golkar berharap tudingan itu diklarifikasi karena dinilai telah merugikan masyarakat Kalimantan.
Menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir petani lokal atau tradisional sudah berhenti total berladang berpindah, terutama sejak dikeluarkannya larangan pembukaan lahan dengan cara membakar.
Petani tradisional merupakan warga yang sangat dekat dan menghargai alam sekitarnya. Mereka juga sadar sumber penghidupan mereka sebagian besar dari hasil alam, sehingga tidak mungkin mereka merusak alam.
Dalam tradisi bercocok tanam, petani di Kalimantan sangat dikenal dengan sistem gotong royong, baik mulai dari membuka lahan hingga menanam. Petani Kalimantan lebih mengutamakan kebersamaan.
"Yang jelas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan yang saat ini masih terjadi bukan ulah petani, melainkan ulah oknum tertentu yang menjadikan petani sebagai "kambing hitam". Mereka menjadikan kejadian karhutla sebagai momen untuk mencari keuntungan kelompok dan golongan tertentu," ucapnya.
Abdul Kadir menilai sangat tidak tepat jika menuduh kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan akibat peladang. Saat ini peladang sudah banyak yang berhenti dan sebagian memilih beralih ke profesi lain, seperti menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit.
Berhentinya peladang itu lantaran petani takut ditangkap polisi dan dipenjara. Mestinya, larangan membuka lahan dengan cara membakar dibarengi dengan solusi agar petani tetap bisa berladang.
"Kalau ada terobosan atau solusi, saya yakin pembakaran lahan untuk bercocok tanam bisa dihindari, dan masyarakat bisa kembali bertanam dengan baik untuk sumber penghidupannya," ungkapnya.
Sementara itu, Polres Kotawaringin Timur menangani sebanyak enam kasus terkait kebakaran lahan dan menetapkan enam tersangka.
Selain enam tersangka, Polres Kotawaringin Timur juga memanggil sebanyak 60 orang pemilik lahan yang terbakar. Saat ini status 60 orang tersebut masih sebagai saksi. Namun jika dalam proses pemeriksaan nanti ada indikasi atau terbukti membakar maka tidak menutup kemungkinan status mereka menjadi tersangka.
"Kami sangat keberatan dengan tudingan tersebut karena sangat tidak mendasar dan tanpa ada bukti lapangan yang konkret. Lebih kepada fitnah. Jika pun ada petani yang membakar, hal itu dilakukan dengan pengawasan atau dijaga," katanya di Sampit, Rabu.
Abdul Kadir menyayangkan pernyataan pihak tertentu yang menuding sebagian besar kebakaran lahan di tanah air adalah ulah petani. Dia juga mengkritik Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto yang berpendapat demikian.
Politisi Partai Golkar berharap tudingan itu diklarifikasi karena dinilai telah merugikan masyarakat Kalimantan.
Menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir petani lokal atau tradisional sudah berhenti total berladang berpindah, terutama sejak dikeluarkannya larangan pembukaan lahan dengan cara membakar.
Petani tradisional merupakan warga yang sangat dekat dan menghargai alam sekitarnya. Mereka juga sadar sumber penghidupan mereka sebagian besar dari hasil alam, sehingga tidak mungkin mereka merusak alam.
Dalam tradisi bercocok tanam, petani di Kalimantan sangat dikenal dengan sistem gotong royong, baik mulai dari membuka lahan hingga menanam. Petani Kalimantan lebih mengutamakan kebersamaan.
"Yang jelas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan yang saat ini masih terjadi bukan ulah petani, melainkan ulah oknum tertentu yang menjadikan petani sebagai "kambing hitam". Mereka menjadikan kejadian karhutla sebagai momen untuk mencari keuntungan kelompok dan golongan tertentu," ucapnya.
Abdul Kadir menilai sangat tidak tepat jika menuduh kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan akibat peladang. Saat ini peladang sudah banyak yang berhenti dan sebagian memilih beralih ke profesi lain, seperti menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit.
Berhentinya peladang itu lantaran petani takut ditangkap polisi dan dipenjara. Mestinya, larangan membuka lahan dengan cara membakar dibarengi dengan solusi agar petani tetap bisa berladang.
"Kalau ada terobosan atau solusi, saya yakin pembakaran lahan untuk bercocok tanam bisa dihindari, dan masyarakat bisa kembali bertanam dengan baik untuk sumber penghidupannya," ungkapnya.
Sementara itu, Polres Kotawaringin Timur menangani sebanyak enam kasus terkait kebakaran lahan dan menetapkan enam tersangka.
Selain enam tersangka, Polres Kotawaringin Timur juga memanggil sebanyak 60 orang pemilik lahan yang terbakar. Saat ini status 60 orang tersebut masih sebagai saksi. Namun jika dalam proses pemeriksaan nanti ada indikasi atau terbukti membakar maka tidak menutup kemungkinan status mereka menjadi tersangka.