Manokwari (ANTARA) - Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk maju sebagai kandidat pada pilkada serentak tahun 2020 masih digodok, kata Komisioner KPU-RI Wahyu Setyawan, di Manokwari, Papua Barat, Rabu.
"Logikanya begini, KPU itu ibarat koki. Maka kami harus menyajikan yang terbaik kepada masyarakat. Emang sudah tidak lagi yang baik di negeri ini, sehingga mantan pelaku korupsi tetap dicalonkan," kata Wahyu kepada sejumlah awak media, usai mengikuti Rapat Kerja Persiapan Pilkada Serentak di Papua Barat.
Terkait regulasi, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Dalam Negeri. Ia berharap pemerintah memberi restu agar pilkada serentak 2020 melahirkan para kepala daerah yang bersih.
"Apakah belum cukup selama ini, ada mantan napi korupsi nyalon kepala daerah. Setelah terpilih akhirnya kena lagi OTT (operasi tangkap tangan) KPK. Apa itu belum cukup," katanya pula.
Menurutnya, sudah saatnya Indonesia melakukan langkah pencegahan, setidaknya para calon kepala daerah yang bertarung pada pilkada adalah figur yang bersih dari catatan korupsi. Ini juga didorong agar memberi efek jera bagi para politisi yang bermental korupsi.
KPU pun terus mendorong agar hal ini masuk dalam draf revisi Undang-Undang Pemilu. Lamanya penahanan yang dijalani para mantan napi korupsi tidak akan menjadi pertimbangan KPU.
"Begini ya, orang yang pernah melakukan perbuatan tercela, berzina misalnya, itu tidak layak jadi pimpinan daerah apalagi korupsi. Lebih kacau lagi sudah korupsi berzina pula," katanya lagi.
Selain mantan napi korupsi, pihaknya pun mendorong pelarangan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak atau pedofilia serta mantan napi bandar narkoba.
"Kita perjuangkan tiga ini, tidak boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Masih banyak orang baik di negeri ini. Biarkan mereka yang maju," katanya lagi.
"Logikanya begini, KPU itu ibarat koki. Maka kami harus menyajikan yang terbaik kepada masyarakat. Emang sudah tidak lagi yang baik di negeri ini, sehingga mantan pelaku korupsi tetap dicalonkan," kata Wahyu kepada sejumlah awak media, usai mengikuti Rapat Kerja Persiapan Pilkada Serentak di Papua Barat.
Terkait regulasi, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Dalam Negeri. Ia berharap pemerintah memberi restu agar pilkada serentak 2020 melahirkan para kepala daerah yang bersih.
"Apakah belum cukup selama ini, ada mantan napi korupsi nyalon kepala daerah. Setelah terpilih akhirnya kena lagi OTT (operasi tangkap tangan) KPK. Apa itu belum cukup," katanya pula.
Menurutnya, sudah saatnya Indonesia melakukan langkah pencegahan, setidaknya para calon kepala daerah yang bertarung pada pilkada adalah figur yang bersih dari catatan korupsi. Ini juga didorong agar memberi efek jera bagi para politisi yang bermental korupsi.
KPU pun terus mendorong agar hal ini masuk dalam draf revisi Undang-Undang Pemilu. Lamanya penahanan yang dijalani para mantan napi korupsi tidak akan menjadi pertimbangan KPU.
"Begini ya, orang yang pernah melakukan perbuatan tercela, berzina misalnya, itu tidak layak jadi pimpinan daerah apalagi korupsi. Lebih kacau lagi sudah korupsi berzina pula," katanya lagi.
Selain mantan napi korupsi, pihaknya pun mendorong pelarangan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak atau pedofilia serta mantan napi bandar narkoba.
"Kita perjuangkan tiga ini, tidak boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Masih banyak orang baik di negeri ini. Biarkan mereka yang maju," katanya lagi.