Jakarta (ANTARA) - Para pengusaha batu bara mengaku khawatir akan kebijakan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang diterapkan di Indonesia.
"EBT ini menjadi ancaman tersendiri bagi para pengusaha batu bara, sebab bisa mengurangi tingkat keekonomian batu bara," kata Ketua ESDM Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sammy Hamzah di Jakarta, Rabu.
Dalam diskusi investasi batu bara tersebut, ia menjelaskan muncul penelitian dari Amerika yang hasilnya dalam jangka 10 tahun ke depan industri mobil listrik akan berkembang pesat.
Dengan tergesernya energi fosil investasi batu bara di sektor pertambangan menjadi kurang menarik secara hitungan jangka panjang.
Baca juga: Peta jalan batu bara perlu dibuat jangka panjang
"Baiknya pemerintah memberi porsi yang jelas mengenai aturan pengembangan bisnis pertambangan dan inovasi EBT, sehingga investor akan merasa ada kepastian," katanya.
Sementara itu, dari Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) menyatakan bisnis batu bara di Indonesia masih banyak tertinggal dengan negara tetangga.
"Misalnya dengan Vietnam, investor luar lebih berminat menanamkan usahanya di sana karena kepastiannya lebih jelas, terutama masalah harga," kata Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia.
Baca juga: Kalteng raih penghargaan tingkat nasional bidang kepatuhan PNBP mineral dan batu bara
Selain itu, upah buruh yang tidak pasti membuat kekhawatiran dari sisi lain. Kemudian risiko keadaan politik di Indonesia juga sering menjadi pertimbangan yang membuat pengusaha menahan investasi mereka.
Harga penjualan batu bara selama bulan November 2019 dipatok pada angka 66,27 dolar AS per ton atau naik 2,27 persen dari Harga Batu bara Acuan (HBA) Oktober 2019 senilai 64,8 dolar AS per ton.
Ketetapan ini mengacu pada Keputusan Menteri Nomor 224 K/30/MEM /2019 yang diteken oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif tentang Harga Mineral Logam Acuan dan Harga Batu bara Acuan untuk Bulan November 2019.
Baca juga: Harga batu bara pada November mengalami kenaikan
"EBT ini menjadi ancaman tersendiri bagi para pengusaha batu bara, sebab bisa mengurangi tingkat keekonomian batu bara," kata Ketua ESDM Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sammy Hamzah di Jakarta, Rabu.
Dalam diskusi investasi batu bara tersebut, ia menjelaskan muncul penelitian dari Amerika yang hasilnya dalam jangka 10 tahun ke depan industri mobil listrik akan berkembang pesat.
Dengan tergesernya energi fosil investasi batu bara di sektor pertambangan menjadi kurang menarik secara hitungan jangka panjang.
Baca juga: Peta jalan batu bara perlu dibuat jangka panjang
"Baiknya pemerintah memberi porsi yang jelas mengenai aturan pengembangan bisnis pertambangan dan inovasi EBT, sehingga investor akan merasa ada kepastian," katanya.
Sementara itu, dari Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) menyatakan bisnis batu bara di Indonesia masih banyak tertinggal dengan negara tetangga.
"Misalnya dengan Vietnam, investor luar lebih berminat menanamkan usahanya di sana karena kepastiannya lebih jelas, terutama masalah harga," kata Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia.
Baca juga: Kalteng raih penghargaan tingkat nasional bidang kepatuhan PNBP mineral dan batu bara
Selain itu, upah buruh yang tidak pasti membuat kekhawatiran dari sisi lain. Kemudian risiko keadaan politik di Indonesia juga sering menjadi pertimbangan yang membuat pengusaha menahan investasi mereka.
Harga penjualan batu bara selama bulan November 2019 dipatok pada angka 66,27 dolar AS per ton atau naik 2,27 persen dari Harga Batu bara Acuan (HBA) Oktober 2019 senilai 64,8 dolar AS per ton.
Ketetapan ini mengacu pada Keputusan Menteri Nomor 224 K/30/MEM /2019 yang diteken oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif tentang Harga Mineral Logam Acuan dan Harga Batu bara Acuan untuk Bulan November 2019.
Baca juga: Harga batu bara pada November mengalami kenaikan