Tanjungpinang (ANTARA) - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyarankan Presiden RI, Joko Widodo mencabut grasi kepada mantan Gubernur Provinsi Riau, Annas Maamun, terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan di daerah tersebut.
"Jika Bapak Presiden masih ingin bersama rakyat, maka cabut grasi atas Annas Maamun," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman kepada ANTARA, Sabtu.
Boyamin tak menampik jika pemberian grasi merupakan hak penuh Presiden. Namun, kata dia, ada batasan-batasan yang harus dihormati oleh Presiden.
Misalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, untuk kasus korupsi tidak ada remisi dari Kementerian Hukum dan HAM.
"Remisi saja tak dapat, maka semestinya tidak ada grasi untuk kasus korupsi," ujarnya.
Baca juga: ICW kecewa Presiden berikan grasi kepada terpidana korupsi Annas Maamun
Kemudian sejak berlaku Peraturan Pemerintah tersebut, lanjut Boyamin, belum pernah ada grasi untuk koruptor. Sehingga ia menilai keputusan Presiden kali ini keliru.
Apalagi untuk pemberian hak narapidana seperti remisi atau bebas bersyarat, bahkan grasi adalah narapidana tersebut bebas dari perkara lain.
"Sedangkan Annas Maamun masih jadi tersangka kasus suap di KPK. Artinya di sini Presiden tidak teliti dan cermat," sebutnya.
Dia katakan, pemberian grasi ini akan dinilai rakyat Indonesia bahwa Presiden Jokowi tidak anti korupsi. Selain itu, dampaknya ialah menurunkan kredibiltas seorang Presiden.
"Sebelumnya Pak Jokowi juga setuju revisi UU KPK dan hingga kini tidak diterbitkan Perpu pencabutan revisi tersebut. Dengan dua hal ini, kita bisa menilai bahwa Presiden tidak ingin memberantas korupsi sebagaimana periode pertama," tegas Boyamin.
Baca juga: Terkait Kasus Annas, KPK Periksa Mantan Kadishut Riau
Sebelumnya, Kabag Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Ade Kusmanto membenarkan Annas Maamun mendapat grasi dari Presiden berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 tentang pemberian grasi yang ditetapkan pada 25 Oktober 2019.
Ia menyatakan grasi yang diberikan Presiden berupa pengurangan jumlah pidana dari pidana penjara 7 tahun menjadi 6 tahun. Namun, pidana denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan tetap harus dibayar.
Ade menyatakan pertimbangan pemberian grasi tersebut di antaranya sebagai warga binaan Lapas Sukamiskin, Bandung yang bersangkutan sudah uzur, sakit-sakitan, dan selama di Lapas berkelakuan baik.
Baca juga: KPK Periksa Gubernur Riau Annas Maamun
"Jika Bapak Presiden masih ingin bersama rakyat, maka cabut grasi atas Annas Maamun," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman kepada ANTARA, Sabtu.
Boyamin tak menampik jika pemberian grasi merupakan hak penuh Presiden. Namun, kata dia, ada batasan-batasan yang harus dihormati oleh Presiden.
Misalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, untuk kasus korupsi tidak ada remisi dari Kementerian Hukum dan HAM.
"Remisi saja tak dapat, maka semestinya tidak ada grasi untuk kasus korupsi," ujarnya.
Baca juga: ICW kecewa Presiden berikan grasi kepada terpidana korupsi Annas Maamun
Kemudian sejak berlaku Peraturan Pemerintah tersebut, lanjut Boyamin, belum pernah ada grasi untuk koruptor. Sehingga ia menilai keputusan Presiden kali ini keliru.
Apalagi untuk pemberian hak narapidana seperti remisi atau bebas bersyarat, bahkan grasi adalah narapidana tersebut bebas dari perkara lain.
"Sedangkan Annas Maamun masih jadi tersangka kasus suap di KPK. Artinya di sini Presiden tidak teliti dan cermat," sebutnya.
Dia katakan, pemberian grasi ini akan dinilai rakyat Indonesia bahwa Presiden Jokowi tidak anti korupsi. Selain itu, dampaknya ialah menurunkan kredibiltas seorang Presiden.
"Sebelumnya Pak Jokowi juga setuju revisi UU KPK dan hingga kini tidak diterbitkan Perpu pencabutan revisi tersebut. Dengan dua hal ini, kita bisa menilai bahwa Presiden tidak ingin memberantas korupsi sebagaimana periode pertama," tegas Boyamin.
Baca juga: Terkait Kasus Annas, KPK Periksa Mantan Kadishut Riau
Sebelumnya, Kabag Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Ade Kusmanto membenarkan Annas Maamun mendapat grasi dari Presiden berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 tentang pemberian grasi yang ditetapkan pada 25 Oktober 2019.
Ia menyatakan grasi yang diberikan Presiden berupa pengurangan jumlah pidana dari pidana penjara 7 tahun menjadi 6 tahun. Namun, pidana denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan tetap harus dibayar.
Ade menyatakan pertimbangan pemberian grasi tersebut di antaranya sebagai warga binaan Lapas Sukamiskin, Bandung yang bersangkutan sudah uzur, sakit-sakitan, dan selama di Lapas berkelakuan baik.
Baca juga: KPK Periksa Gubernur Riau Annas Maamun