Palangka Raya (ANTARA) - Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah Suyuti Syamsul mengatakan, pengasapan atau fogging bukanlah pilihan utama mengatasi penyebaran penyakit demam berdarah dengue (DBD).
"Penggunaan fogging hanya kami lakukan terhadap kasus yang bersifat insidentil dan untuk diketahui bersama, jarak jangkaunya hanya sekitar 200 meter," katanya di Palangka Raya, Selasa.
Fogging tidak menjadi pilihan utama dalam upaya mengatasi DBD, salah satunya dikarenakan kegiatan tersebut menimbulkan perlawanan atau risistensi nyamuk, sehingga untuk mematikannya diperlukan zat kimia dengan kandungan yang lebih kuat.
Sayangnya apabila hal itu dilakukan, maka juga akan memengaruhi lingkungan sekitarnya. Misalnya mematikan musuh alami nyamuk, seperti laba-laba, cecak dan lainnya, sehingga akan berdampak negatif terhadap rantai makanan.
"Kalau fogging seringkali dilakukan, maka akan berdampak pada kematian hewan lainnya, utamanya musuh alami nyamuk tersebut. Untuk itu fogging tidak menjadi pilihan utama dalam upaya mengatasi DBD," tuturnya.
Suyuti memaparkan, fogging cendrung dilakukan di daerah-daerah baru, sedangkan daerah yang masuk dalam kategori endemis maka tidak akan digunakan. Paradigma atau kerangka berpikir yang tepat tentang fogging tersebut, sudah seharusnya bisa dipahami masyarakat dengan baik.
Menurutnya hal yang paling penting dilakukan untuk mencegah atau mengatasi DBD, yaitu mengurangi larva nyamuk dengan cara mengubur, maupun cara lain yang kini sistem teknologi perangkat jentik atau larva trap.
Larva trap diketahui salah satu metode untuk memutus mata rantai penularan DBD melalui gigitan nyamuk aedes aegypti sehingga nantinya tak lagi menjadi masalah kesehatan.
"Seperti di Palangka Raya, pihak Dinas Kesehatan setempat bekerja sama dengan pihak sekolah untuk membuat larva trap dan diyakini hal itu akan lebih cepat mematikan populasi nyamuk," tuturnya.
Lebih lanjut ia menegaskan, pada prinsipnya cara terbaik memberantas sarang nyamuk adalah dengan cara menguras, menutup dan mengubur atau yang dikenal dengan istilah 3M.
"Penggunaan fogging hanya kami lakukan terhadap kasus yang bersifat insidentil dan untuk diketahui bersama, jarak jangkaunya hanya sekitar 200 meter," katanya di Palangka Raya, Selasa.
Fogging tidak menjadi pilihan utama dalam upaya mengatasi DBD, salah satunya dikarenakan kegiatan tersebut menimbulkan perlawanan atau risistensi nyamuk, sehingga untuk mematikannya diperlukan zat kimia dengan kandungan yang lebih kuat.
Sayangnya apabila hal itu dilakukan, maka juga akan memengaruhi lingkungan sekitarnya. Misalnya mematikan musuh alami nyamuk, seperti laba-laba, cecak dan lainnya, sehingga akan berdampak negatif terhadap rantai makanan.
"Kalau fogging seringkali dilakukan, maka akan berdampak pada kematian hewan lainnya, utamanya musuh alami nyamuk tersebut. Untuk itu fogging tidak menjadi pilihan utama dalam upaya mengatasi DBD," tuturnya.
Suyuti memaparkan, fogging cendrung dilakukan di daerah-daerah baru, sedangkan daerah yang masuk dalam kategori endemis maka tidak akan digunakan. Paradigma atau kerangka berpikir yang tepat tentang fogging tersebut, sudah seharusnya bisa dipahami masyarakat dengan baik.
Menurutnya hal yang paling penting dilakukan untuk mencegah atau mengatasi DBD, yaitu mengurangi larva nyamuk dengan cara mengubur, maupun cara lain yang kini sistem teknologi perangkat jentik atau larva trap.
Larva trap diketahui salah satu metode untuk memutus mata rantai penularan DBD melalui gigitan nyamuk aedes aegypti sehingga nantinya tak lagi menjadi masalah kesehatan.
"Seperti di Palangka Raya, pihak Dinas Kesehatan setempat bekerja sama dengan pihak sekolah untuk membuat larva trap dan diyakini hal itu akan lebih cepat mematikan populasi nyamuk," tuturnya.
Lebih lanjut ia menegaskan, pada prinsipnya cara terbaik memberantas sarang nyamuk adalah dengan cara menguras, menutup dan mengubur atau yang dikenal dengan istilah 3M.