Kupang (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga akhir Februari 2020 baru 25 fintech P2P lending atau teknologi finansial (tekfin) yang berizin dari total 161 fintech yang terdaftar lembaga tersebut.
Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Finansial Teknologi OJK Hendrikus Passagi kepada wartawan di Kupang, Jumat mengatakan sebenarnya jumlah yang terdaftar ada 164 fintech.
"Namun ada tiga fintech yang kami coret, karena beberapa hal yang kami temukan dalam perusahaan mereka," katanya saat mengelar jumpa pers di Kupang.
Ia mengatakan bahwa OJK tegas dengan kemunculan berbagai teknologi finansial yang saat ini menjamur di Indonesia. Tiga fintech yang dihapus dari daftar OJK adalah salah satu kasus tegasnya OJK dalam pelayanan keuangan.
Ia mengatakan bahwa beberapa hal yang menjadi penyebab suatu fintech itu dihapus karena dalam perjalanan perusahaan fintech itu tidak mengikuti aturan yang berlaku,salah satunya soal masalah keuangan perusahaannya.
"Selain itu juga soal penyalahgunaan data, kemudian juga masalah kesehatan perusahaannya seperti laporan keuangannya," tambah dia.
Sementara itu Wakil Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengatakan AFPI memastikan praktik usaha seluruh penyelenggara sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan Kode Etik AFPI.
"Kami punya peraturan yang tegas bagi anggota-anggota kami, jika mereka melanggar tentu mereka akan mendapatkan ganjaran. Sebab kami punya punishmen tersendiri," tambah dia.
Terkait bagaimana membedakan fintech legal dan ilegal ia mengatakan gampang mengetahuinya, yakni dari cara perusahaan fintech itu melakukan penagihan jika nasabahnya terlambat membayar.
Jika proses penagihannya dilakukan dengan kasar dan disertai dengan ancaman, maka itu bukan merupakan fintech yang legal. Selain itu masyarakat bisa mencari tahu dengan cara mengecek langsung di website AFPI untuk mencari tahu perusahaan finctech itu terdaftar atau tidak.
Oleh karena itu ia mengimbau agar masyarakat di NTT khususnya di kota Kupang bisa lebih berhati-hati dalam hal memilih perusahaan fintech.
Berdasarkan data OJK per Desember 2019, total penyaluran pinjaman dari fintech lending mencapai Rp81,5 triliun, meningkat 259 persen year-to-date (ytd). Rekening lender (pemberi pinjaman) juga meningkat 192,01 persen menjadi 605.935 entitas. Begitu juga rekening borrower (peminjam) bertambah 325,95 pertsen menjadi 18.569.123 entitas.
“AFPI berharap kehadiran asosiasi bersama para penyelenggara dapat meningkatkan literasi dan keterlibatan masyarakat melalui kemudahan akses keuangan dari fintech lending," katanya.
Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Finansial Teknologi OJK Hendrikus Passagi kepada wartawan di Kupang, Jumat mengatakan sebenarnya jumlah yang terdaftar ada 164 fintech.
"Namun ada tiga fintech yang kami coret, karena beberapa hal yang kami temukan dalam perusahaan mereka," katanya saat mengelar jumpa pers di Kupang.
Ia mengatakan bahwa OJK tegas dengan kemunculan berbagai teknologi finansial yang saat ini menjamur di Indonesia. Tiga fintech yang dihapus dari daftar OJK adalah salah satu kasus tegasnya OJK dalam pelayanan keuangan.
Ia mengatakan bahwa beberapa hal yang menjadi penyebab suatu fintech itu dihapus karena dalam perjalanan perusahaan fintech itu tidak mengikuti aturan yang berlaku,salah satunya soal masalah keuangan perusahaannya.
"Selain itu juga soal penyalahgunaan data, kemudian juga masalah kesehatan perusahaannya seperti laporan keuangannya," tambah dia.
Sementara itu Wakil Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengatakan AFPI memastikan praktik usaha seluruh penyelenggara sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan Kode Etik AFPI.
"Kami punya peraturan yang tegas bagi anggota-anggota kami, jika mereka melanggar tentu mereka akan mendapatkan ganjaran. Sebab kami punya punishmen tersendiri," tambah dia.
Terkait bagaimana membedakan fintech legal dan ilegal ia mengatakan gampang mengetahuinya, yakni dari cara perusahaan fintech itu melakukan penagihan jika nasabahnya terlambat membayar.
Jika proses penagihannya dilakukan dengan kasar dan disertai dengan ancaman, maka itu bukan merupakan fintech yang legal. Selain itu masyarakat bisa mencari tahu dengan cara mengecek langsung di website AFPI untuk mencari tahu perusahaan finctech itu terdaftar atau tidak.
Oleh karena itu ia mengimbau agar masyarakat di NTT khususnya di kota Kupang bisa lebih berhati-hati dalam hal memilih perusahaan fintech.
Berdasarkan data OJK per Desember 2019, total penyaluran pinjaman dari fintech lending mencapai Rp81,5 triliun, meningkat 259 persen year-to-date (ytd). Rekening lender (pemberi pinjaman) juga meningkat 192,01 persen menjadi 605.935 entitas. Begitu juga rekening borrower (peminjam) bertambah 325,95 pertsen menjadi 18.569.123 entitas.
“AFPI berharap kehadiran asosiasi bersama para penyelenggara dapat meningkatkan literasi dan keterlibatan masyarakat melalui kemudahan akses keuangan dari fintech lending," katanya.