Jakarta (ANTARA) - Para peneliti di University of Chicago melaporkan hasil yang menjanjikan dari penelitian kecil menggunakan remdesivir untuk mengobati orang yang terinfeksi virus corona baru atau COVID-19.
Temuan ini terungkap dalam diskusi video internal tentang uji coba University of Chicago yang diperoleh STAT, seperti dilansir Time, Jumat (17/4).
Dalam penelitian, para ilmuwan melibatkan 125 orang pasien COVID-19, yang semuanya diobati menggunakan remdesivir, yang saat ini belum disetujui di Amerika Serikat untuk mengobati penyakit apa pun.
Baca juga: Para ilmuwan temukan obat baru untuk pasien COVID-19
Baca juga: Kandidat obat corona, "hydroxychloroquine" diuji klinis pada manusia
Dari 125 pasien itu, sebanyak 113 orang memiliki penyakit parah, yang membuat mereka kesulitan bernapas. Dalam diskusi video, Kathleen Mullane, seorang profesor kedokteran mengatakan, sebagian besar pasien yang menggunakan obat tersebut cukup membaik untuk keluar dari rumah sakit, dan hanya dua orang yang meninggal.
Mullane tidak membahas detil hasil itu, tetapi dalam sebuah pernyataan, juru bicara universitas mengatakan "Data parsial dari uji klinis yang sedang berlangsung secara definisi tidak lengkap dan tidak boleh digunakan untuk menarik kesimpulan tentang keamanan atau kemanjuran pengobatan".
Menurut mereka, informasi dari forum internal ini hanya untuk rekan-rekan peneliti dan menarik kesimpulan apa pun pada titik ini terlalu dini dan secara ilmiah tidak baik.
Remdesivir bekerja dengan meniru salah satu elemen genetik yang digunakan virus penyebab COVID-19, yang dikenal sebagai SARS-CoV-2, untuk membuat lebih banyak salinannya sendiri. Obat memblokir virus menyalin genomnya, membuat macet mesin viral copy virus.
Obat ini awalnya dikembangkan oleh Gilead untuk pengobatan Ebola, tetapi ketika percobaan awalnya mengecewakan, sehingga perusahaan menunda pengembangan obat lebih lanjut.
Namun, penelitian laboratorium sebelumnya menunjukkan remdesivir sebenarnya memiliki aktivitas antivirus yang lebih kuat terhadap virus corona seperti SARS dan MERS dibandingkan terhadap Ebola.
Obat ini belum disetujui untuk mengobati penyakit apa pun sehingga dokter tidak dapat menggunakannya untuk mengobati pasien COVID-19.
Peneliti dari University of Chicago dalam New England Journal of Medicine pada 10 April lalu, melibatkan 53 pasien yang diobati dengan remdesivir di Amerika Serikat, Eropa, Kanada, dan Jepang.
Dalam studi itu, sebanyak 68 persen pasien membaik dan 57 persen dari mereka yang membutuhkan ventilator tidak lagi membutuhkan bantuan pernapasan mekanik setelah minum obat selama 10 hari.
Gilead sendiri juga melakukan dua penelitian remdesivir pada pasien COVID-19. Hasilnya diharapkan keluar dalam beberapa bulan.
Temuan ini terungkap dalam diskusi video internal tentang uji coba University of Chicago yang diperoleh STAT, seperti dilansir Time, Jumat (17/4).
Dalam penelitian, para ilmuwan melibatkan 125 orang pasien COVID-19, yang semuanya diobati menggunakan remdesivir, yang saat ini belum disetujui di Amerika Serikat untuk mengobati penyakit apa pun.
Baca juga: Para ilmuwan temukan obat baru untuk pasien COVID-19
Baca juga: Kandidat obat corona, "hydroxychloroquine" diuji klinis pada manusia
Dari 125 pasien itu, sebanyak 113 orang memiliki penyakit parah, yang membuat mereka kesulitan bernapas. Dalam diskusi video, Kathleen Mullane, seorang profesor kedokteran mengatakan, sebagian besar pasien yang menggunakan obat tersebut cukup membaik untuk keluar dari rumah sakit, dan hanya dua orang yang meninggal.
Mullane tidak membahas detil hasil itu, tetapi dalam sebuah pernyataan, juru bicara universitas mengatakan "Data parsial dari uji klinis yang sedang berlangsung secara definisi tidak lengkap dan tidak boleh digunakan untuk menarik kesimpulan tentang keamanan atau kemanjuran pengobatan".
Menurut mereka, informasi dari forum internal ini hanya untuk rekan-rekan peneliti dan menarik kesimpulan apa pun pada titik ini terlalu dini dan secara ilmiah tidak baik.
Remdesivir bekerja dengan meniru salah satu elemen genetik yang digunakan virus penyebab COVID-19, yang dikenal sebagai SARS-CoV-2, untuk membuat lebih banyak salinannya sendiri. Obat memblokir virus menyalin genomnya, membuat macet mesin viral copy virus.
Obat ini awalnya dikembangkan oleh Gilead untuk pengobatan Ebola, tetapi ketika percobaan awalnya mengecewakan, sehingga perusahaan menunda pengembangan obat lebih lanjut.
Namun, penelitian laboratorium sebelumnya menunjukkan remdesivir sebenarnya memiliki aktivitas antivirus yang lebih kuat terhadap virus corona seperti SARS dan MERS dibandingkan terhadap Ebola.
Obat ini belum disetujui untuk mengobati penyakit apa pun sehingga dokter tidak dapat menggunakannya untuk mengobati pasien COVID-19.
Peneliti dari University of Chicago dalam New England Journal of Medicine pada 10 April lalu, melibatkan 53 pasien yang diobati dengan remdesivir di Amerika Serikat, Eropa, Kanada, dan Jepang.
Dalam studi itu, sebanyak 68 persen pasien membaik dan 57 persen dari mereka yang membutuhkan ventilator tidak lagi membutuhkan bantuan pernapasan mekanik setelah minum obat selama 10 hari.
Gilead sendiri juga melakukan dua penelitian remdesivir pada pasien COVID-19. Hasilnya diharapkan keluar dalam beberapa bulan.