Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKS Sukamta meminta pemerintah memastikan dan menjamin sistem keamanan siber terkait data pribadi di instansi-instansi pemerintah agar segera diperbaharui dan sulit diretas.
"Kemudian negara harus memberikan pendidikan tentang pentingnya data pribadi ini ke setiap warganya, termasuk juga kepada para pegawai pemerintah," kata Sukamta dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Hal itu dikatakannya terkait adanya dugaan kebocoran data penduduk yang menjalani tes COVID-19. Kasus ini diduga berawal dari data pasien tes COVID-19 yang dapat diakses publik lewat internet dan diperjual belikan.
Sukamta menegaskan bahwa kejadian tersebut tidak bisa ditoleransi karena sudah berulang kali, dan perlu dipertanyakan langkah pengelola negara atas amanah data-data pribadi pasien COVID-19 maupun data Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Menurut dia, faktanya, data-data tersebut mungkin memang tidak pernah dibajak, sehingga dinyatakan aman padahal kenyataannya data memang disimpan ditempat terbuka sehingga tidak perlu "hacker" dan "cracker" untuk menemukannya.
"Jangan-jangan penjual data publik itu hanya ingin mengingatkan kita akan keteledoran ini. Sekarang justru yang perlu diusut adalah penyelenggara negara atau pengelola data-data tersebut," ujarnya.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI menilai langkah yang bisa diambil negara dalam aspek hukum yaitu jika ada kasus kejahatan yang melanggar hak data pribadi, maka tuntaskan kasusnya menggunakan instrumen hukum yang sudah ada.
Menurut dia, setidaknya ada 32 Undang-Undang yang mengatur soal pelindungan data pribadi dan Indonesia juga memiliki Peraturan Pemerintah tentang persoalan tersebut.
"Sementara itu kita juga sedang siapkan seperangkat aturan yang lain seperti RUU Pelindungan Data Pribadi dan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber. Semoga cepat rampung untuk bisa mewujudkan ranah digital yang aman," katanya.
"Kemudian negara harus memberikan pendidikan tentang pentingnya data pribadi ini ke setiap warganya, termasuk juga kepada para pegawai pemerintah," kata Sukamta dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Hal itu dikatakannya terkait adanya dugaan kebocoran data penduduk yang menjalani tes COVID-19. Kasus ini diduga berawal dari data pasien tes COVID-19 yang dapat diakses publik lewat internet dan diperjual belikan.
Sukamta menegaskan bahwa kejadian tersebut tidak bisa ditoleransi karena sudah berulang kali, dan perlu dipertanyakan langkah pengelola negara atas amanah data-data pribadi pasien COVID-19 maupun data Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Menurut dia, faktanya, data-data tersebut mungkin memang tidak pernah dibajak, sehingga dinyatakan aman padahal kenyataannya data memang disimpan ditempat terbuka sehingga tidak perlu "hacker" dan "cracker" untuk menemukannya.
"Jangan-jangan penjual data publik itu hanya ingin mengingatkan kita akan keteledoran ini. Sekarang justru yang perlu diusut adalah penyelenggara negara atau pengelola data-data tersebut," ujarnya.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI menilai langkah yang bisa diambil negara dalam aspek hukum yaitu jika ada kasus kejahatan yang melanggar hak data pribadi, maka tuntaskan kasusnya menggunakan instrumen hukum yang sudah ada.
Menurut dia, setidaknya ada 32 Undang-Undang yang mengatur soal pelindungan data pribadi dan Indonesia juga memiliki Peraturan Pemerintah tentang persoalan tersebut.
"Sementara itu kita juga sedang siapkan seperangkat aturan yang lain seperti RUU Pelindungan Data Pribadi dan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber. Semoga cepat rampung untuk bisa mewujudkan ranah digital yang aman," katanya.