Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menilai sudah saatnya Indonesia mengembangkan penggunaan digitalisasi dalam pemilu atau pun pilkada khususnya di era normal baru.
Menurut dia, di era normal baru, semua bidang kehidupan perlu melakukan penyesuaian, tidak hanya di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi, namun bidang politik perlu melakukan gaya baru.
"Contohnya pemilu atau pilkada, sudah waktunya Indonesia mengembangkan digitalisasi dalam pelaksanaan pemilu atau pilkada. Dalam tahap awal bisa dimulai dari pilkada hingga berjenjang sampai ke pilpres, sehingga jika kelak pandemi dalam bentuk lainnya kembali menimpa Indonesia, tak sampai membuat kehidupan demokrasi khususnya hak pilih rakyat terganggu," kata Bamsoet dalam diskusi Empat Pilar MPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Dia mengatakan, digitalisasi pemungutan suara melalui barcode menjadi sebuah keniscayaan karena efektif dan tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui perhitungan suara yang sangat memakan biaya dan energi.
Selain itu, menurut dia, juga menghemat untuk anggaran kotak suara, bilik suara, kertas, dan tinta yang nilainya mencapai triliunan rupiah.
Menurut dia, pengembangan digitalisasi pemilu walaupun tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat, namun sudah dimulai sejak saat ini, sehingga di masa depan Indonesia bukan semata menjadi negara demokrasi terbesar di dunia, melainkan juga menjadi negara demokrasi yang inovatif.
"Akibat pandemi COVID-19, Indonesia dan berbagai negara lainnya terpaksa menunda tahapan pemilu. Inggris Raya menunda pemilihan lokal yang seharusnya dilakukan pada Mei 2020, Italia menunda referendum pengurangan anggota parlemen 29 Maret 2020, Bolivia menunda pemilihan presiden 3 Mei 2020, serta Indonesia menunda pemilihan wali kota/bupati 23 September 2020 menjadi awal Desember 2020," ujarnya lagi.
Padahal sebelumnya, menurut dia, bencana alam, kerusuhan maupun peristiwa lainnya tidak pernah sampai mengganggu tahapan pemilu di berbagai negara, namun pandemi COVID-19 yang membuat tahapan pemilu terhenti.
Bamsoet mengatakan, pandemi COVID-19 tidak hanya menguji penyelenggaraan pemilu, namun juga menguji kualitas kepemimpinan para pengambil kebijakan di berbagai negara dunia.
"Tercatat sudah 215 negara terinfeksi COVID-19. Ada pemimpin yang berhasil, ada yang masih berjuang, dan ada yang menjadi bulan-bulanan rakyatnya," katanya pula.
Dia mencontohkan Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardem, Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen, Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen, dan Perdana Menteri Islandia Katrin Jakobsdottir adalah pemimpin yang dinilai berhasil mengendalikan penyebaran COVID-19.
Selain itu, menurut dia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama pemimpin Asia lainnya masih terus berjuang menghadapi pandemi COVID-19 yang hasilnya sejauh ini cukup memuaskan.
"Dengan semakin tingginya cakupan tes swab per hari mencapai 10.000 spesimen, saat ini sedang ditingkatkan hingga mencapai 30.000 spesimen per hari," ujarnya lagi.
Menurut dia, di era normal baru, semua bidang kehidupan perlu melakukan penyesuaian, tidak hanya di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi, namun bidang politik perlu melakukan gaya baru.
"Contohnya pemilu atau pilkada, sudah waktunya Indonesia mengembangkan digitalisasi dalam pelaksanaan pemilu atau pilkada. Dalam tahap awal bisa dimulai dari pilkada hingga berjenjang sampai ke pilpres, sehingga jika kelak pandemi dalam bentuk lainnya kembali menimpa Indonesia, tak sampai membuat kehidupan demokrasi khususnya hak pilih rakyat terganggu," kata Bamsoet dalam diskusi Empat Pilar MPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Dia mengatakan, digitalisasi pemungutan suara melalui barcode menjadi sebuah keniscayaan karena efektif dan tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui perhitungan suara yang sangat memakan biaya dan energi.
Selain itu, menurut dia, juga menghemat untuk anggaran kotak suara, bilik suara, kertas, dan tinta yang nilainya mencapai triliunan rupiah.
Menurut dia, pengembangan digitalisasi pemilu walaupun tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat, namun sudah dimulai sejak saat ini, sehingga di masa depan Indonesia bukan semata menjadi negara demokrasi terbesar di dunia, melainkan juga menjadi negara demokrasi yang inovatif.
"Akibat pandemi COVID-19, Indonesia dan berbagai negara lainnya terpaksa menunda tahapan pemilu. Inggris Raya menunda pemilihan lokal yang seharusnya dilakukan pada Mei 2020, Italia menunda referendum pengurangan anggota parlemen 29 Maret 2020, Bolivia menunda pemilihan presiden 3 Mei 2020, serta Indonesia menunda pemilihan wali kota/bupati 23 September 2020 menjadi awal Desember 2020," ujarnya lagi.
Padahal sebelumnya, menurut dia, bencana alam, kerusuhan maupun peristiwa lainnya tidak pernah sampai mengganggu tahapan pemilu di berbagai negara, namun pandemi COVID-19 yang membuat tahapan pemilu terhenti.
Bamsoet mengatakan, pandemi COVID-19 tidak hanya menguji penyelenggaraan pemilu, namun juga menguji kualitas kepemimpinan para pengambil kebijakan di berbagai negara dunia.
"Tercatat sudah 215 negara terinfeksi COVID-19. Ada pemimpin yang berhasil, ada yang masih berjuang, dan ada yang menjadi bulan-bulanan rakyatnya," katanya pula.
Dia mencontohkan Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardem, Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen, Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen, dan Perdana Menteri Islandia Katrin Jakobsdottir adalah pemimpin yang dinilai berhasil mengendalikan penyebaran COVID-19.
Selain itu, menurut dia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama pemimpin Asia lainnya masih terus berjuang menghadapi pandemi COVID-19 yang hasilnya sejauh ini cukup memuaskan.
"Dengan semakin tingginya cakupan tes swab per hari mencapai 10.000 spesimen, saat ini sedang ditingkatkan hingga mencapai 30.000 spesimen per hari," ujarnya lagi.