Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengatakan terdapat beberapa undang-undang yang bisa mendukung pelarangan iklan rokok di media penyiaran sehingga revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sangat memungkinkan menyebutkan pelarangan iklan rokok.
"Draf Revisi Undang-Undang Penyiaran yang diserahkan Komisi I DPR ke Badan Legislasi periode lalu memang sudah ada tentang pelarangan iklan rokok," kata Meutya dalam diskusi yang diadakan Koalisi Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau secara daring, Jumat.
Namun, kata Meutya, terdapat dinamika saat proses harmonisasi di Badan Legislasi yang akhirnya menyebabkan Revisi Undang-Undang Penyiaran belum berhasil diputuskan hingga periode DPR 2014-2019 berakhir.
Beberapa undang-undang yang mendukung pelarangan iklan rokok di media penyiaran antara lain Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Undang-undang tersebut bisa mendukung pelarangan iklan rokok di media penyiaran, tetapi bisa juga dianggap sudah cukup mengakomodasi," tutur-nya.
Menurut Meutya, Revisi Undang-Undang Penyiaran sudah dibahas di DPR sejak periode 2009-2014. Revisi tersebut merupakan inisiatif DPR karena Undang-Undang Penyiaran disahkan pada 2002 dan sudah banyak teknologi penyiaran yang berkembang.
"Saya sudah periode ketiga di DPR dan kebanyakan ditugaskan di Komisi I sehingga mengikuti perkembangan pembahasannya," ujarnya menjelaskan.
Pada periode 2019-2024, Meutya mengatakan belum ada pembahasan mengenai Revisi Undang-Undang Penyiaran, termasuk yang secara spesifik tentang pelarangan iklan rokok.
"Fokus Komisi I saat masih membahas rancangan undang-undang yang lain. Saya pribadi, sebagai pimpinan, merasa semangat Komisi I masih mendukung pelarangan iklan rokok, paling tidak pembatasan," katanya.
"Draf Revisi Undang-Undang Penyiaran yang diserahkan Komisi I DPR ke Badan Legislasi periode lalu memang sudah ada tentang pelarangan iklan rokok," kata Meutya dalam diskusi yang diadakan Koalisi Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau secara daring, Jumat.
Namun, kata Meutya, terdapat dinamika saat proses harmonisasi di Badan Legislasi yang akhirnya menyebabkan Revisi Undang-Undang Penyiaran belum berhasil diputuskan hingga periode DPR 2014-2019 berakhir.
Beberapa undang-undang yang mendukung pelarangan iklan rokok di media penyiaran antara lain Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Undang-undang tersebut bisa mendukung pelarangan iklan rokok di media penyiaran, tetapi bisa juga dianggap sudah cukup mengakomodasi," tutur-nya.
Menurut Meutya, Revisi Undang-Undang Penyiaran sudah dibahas di DPR sejak periode 2009-2014. Revisi tersebut merupakan inisiatif DPR karena Undang-Undang Penyiaran disahkan pada 2002 dan sudah banyak teknologi penyiaran yang berkembang.
"Saya sudah periode ketiga di DPR dan kebanyakan ditugaskan di Komisi I sehingga mengikuti perkembangan pembahasannya," ujarnya menjelaskan.
Pada periode 2019-2024, Meutya mengatakan belum ada pembahasan mengenai Revisi Undang-Undang Penyiaran, termasuk yang secara spesifik tentang pelarangan iklan rokok.
"Fokus Komisi I saat masih membahas rancangan undang-undang yang lain. Saya pribadi, sebagai pimpinan, merasa semangat Komisi I masih mendukung pelarangan iklan rokok, paling tidak pembatasan," katanya.