Jakarta (ANTARA) - Aluicia Anita Artarini, virologis dan Dosen Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan tidak ada vaksin maupun obat yang tidak punya efek samping, sehingga merupakan hal yang wajar apabila masyarakat mengalami Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) setelah menerima vaksin COVID-19.
Menurut dia, tubuh memberikan respons terhadap vaksin hika terjadi demam, pegal atau badan lemas.
"Karena risiko itu selalu ada. Tapi yang dilihat ketika mau diedarkan atau tidak, rasio risiko terhadap efek yang bagusnya. Kalau obat mengobati, kalau vaksin mencegah," kata Anita dalam bincang-bincang "Bagaimana Proses Pembuatan Vaksin COVID-19", Senin.
Anita menjelaskan sebuah vaksin dapat diedarkan jika dalam proses pengujian memiliki manfaat yang lebih besar daripada efek sampingnya.
"Jadi selama efek mencegahnya lebih besar, dari segi regulasi pasti lebih dibicarakan," ujar Anita.
Baca juga: Pemberian Vaksinasi AstraZeneca di Sulut dihentikan sementara karena ini!
Rasa pegal, demam, lemas, sakit kepala adalah efek samping yang wajar. Tidak hanya pada vaksin COVID-19, jenis vaksin lain pun memiliki KIPI yang tidak jauh berbeda.
"Kalau pegal atau pegal linu itu artinya tubuh kita merespon. Kalau divaksin itu, tubuh itu harus membuat antibodinya, supaya kalau nanti virus patogennya masuk dia tidak sakit," kata Anita.
"Ketika kita divaksin, demam dan pegel, itu tandanya tubuh kita merespon tinggal efek sampingnya itu seperti apa yang masih dapat ditoleransi. Efek samping umum sudah ada di uji klinis fase 1 dan 2," imbuhnya.
Baca juga: Hal yang dibutuhkan agar siap divaksin
Anita menegaskan vaksin COVID-19 yang sudah beredar termasuk AstraZeneca telah melakukan beberapa tahapan uji klinis. Dalam melakukan pengujian pun bukan mencari efek sampingnya melainkan aman atau tidaknya digunakan untuk manusia.
"Kalau vaksin itu tidak aman tidak akan diizinkan beredar. Jadi banyak yang menjalani uji klinis, uji klinis itu pertama yang dijalani bukan mengetahui efeknya tapi adalah aman atau tidak," ujar Anita.
"Kalau vaksinnya tidak aman tidak boleh lanjut ke uji klinis fase 3 untuk cek efikasi. Karena yang dilihat adalah aman atau tidak, begitu aman cek untuk efikasi," imbuhnya.
Baca juga: Meski sudah divaksin COVID-19, penumpang Bandara Tjilik Riwut wajib rapid antigen
Baca juga: Kini daftar vaksinasi COVID-19 bisa sekaligus pilih lokasi & jadwal
Baca juga: Amankah vaksin Sinovac untuk anak-anak?
Menurut dia, tubuh memberikan respons terhadap vaksin hika terjadi demam, pegal atau badan lemas.
"Karena risiko itu selalu ada. Tapi yang dilihat ketika mau diedarkan atau tidak, rasio risiko terhadap efek yang bagusnya. Kalau obat mengobati, kalau vaksin mencegah," kata Anita dalam bincang-bincang "Bagaimana Proses Pembuatan Vaksin COVID-19", Senin.
Anita menjelaskan sebuah vaksin dapat diedarkan jika dalam proses pengujian memiliki manfaat yang lebih besar daripada efek sampingnya.
"Jadi selama efek mencegahnya lebih besar, dari segi regulasi pasti lebih dibicarakan," ujar Anita.
Baca juga: Pemberian Vaksinasi AstraZeneca di Sulut dihentikan sementara karena ini!
Rasa pegal, demam, lemas, sakit kepala adalah efek samping yang wajar. Tidak hanya pada vaksin COVID-19, jenis vaksin lain pun memiliki KIPI yang tidak jauh berbeda.
"Kalau pegal atau pegal linu itu artinya tubuh kita merespon. Kalau divaksin itu, tubuh itu harus membuat antibodinya, supaya kalau nanti virus patogennya masuk dia tidak sakit," kata Anita.
"Ketika kita divaksin, demam dan pegel, itu tandanya tubuh kita merespon tinggal efek sampingnya itu seperti apa yang masih dapat ditoleransi. Efek samping umum sudah ada di uji klinis fase 1 dan 2," imbuhnya.
Baca juga: Hal yang dibutuhkan agar siap divaksin
Anita menegaskan vaksin COVID-19 yang sudah beredar termasuk AstraZeneca telah melakukan beberapa tahapan uji klinis. Dalam melakukan pengujian pun bukan mencari efek sampingnya melainkan aman atau tidaknya digunakan untuk manusia.
"Kalau vaksin itu tidak aman tidak akan diizinkan beredar. Jadi banyak yang menjalani uji klinis, uji klinis itu pertama yang dijalani bukan mengetahui efeknya tapi adalah aman atau tidak," ujar Anita.
"Kalau vaksinnya tidak aman tidak boleh lanjut ke uji klinis fase 3 untuk cek efikasi. Karena yang dilihat adalah aman atau tidak, begitu aman cek untuk efikasi," imbuhnya.
Baca juga: Meski sudah divaksin COVID-19, penumpang Bandara Tjilik Riwut wajib rapid antigen
Baca juga: Kini daftar vaksinasi COVID-19 bisa sekaligus pilih lokasi & jadwal
Baca juga: Amankah vaksin Sinovac untuk anak-anak?