Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan menilai belum ada hal-hal yang mendesak sebagai alasan untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
"Sebenarnya tidak ada urgensi buat kita melakukan revisi UU Advokat. Ya karena undang-undangnya tidak bermasalah," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (11/6) malam.
Ia menilai yang bermasalah adalah pejabat-pejabat yang tidak melaksanakan amanat UU Advokat secara baik dan konsisten yakni mengenai penerapan wadah tunggal.
"Jadi jangan mencari kambing hitam. Undang-undang tidak ada yang salah, kenapa jadi undang-undangnya yang diubah," ujar dia.
Bahkan, lanjutnya, seharusnya yang ditanya kenapa Mahkamah Agung (MA) tidak melaksanakan UU Advokat dengan konsekuen. Dalam UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 secara jelas disebutkan bahwa menganut sistem wadah tunggal.
"Kenapa MA menabrak itu sehingga menjadi multibar. Jadi jangan undang-undangnya yang disalahkan. Kalau kita mau mengubah multibar tetap juga dong laksanakan 'single bar' karena itu hukum positif," ujarnya.
Hal itu dilontarkan Otto menanggapi video yang diterimanya soal pernyataan anggota DPR dan pejabat pemerintah yang menyampaikan mengenai revisi UU Advokat.
Namun demikian, Otto mengaku belum mengetahui arah soal revisi UU Advokat, termasuk akan masuk program legislasi nasional (proglegnas) atau tidak.
"Tetapi di dalam rapat DPR kemarin, Arteria Dahlan mengusulkan agar ini diseriuskan," katanya.
Terkait dengan revisi tersebut, Otto menegaskan bahwa para pejabat dan anggota dewan harus berhati-hati dalam menyikapi keinginan multibar. Pasalnya, hal tersebut akan merugikan rakyat atau para pencari keadilan.
Menurut Otto, multibar akan membuka peluang advokat menjadi penjahat. Sebab, sistem menjadikan tidak ada satu standardisasi kualitas hingga etik advokat. Dengan demikian, advokat akan sulit dikontrol.
"Kalau pejabat memahami makna dan tujuan dibentuknya organisasi advokat yang 'single bar', pasti mereka tidak akan berjuang untuk multibar," ujarnya.
Oleh karena itu, Peradi meminta pemerintah maupun DPR harus berhati-hati dalam menyikapi soal wadah advokat.
"Sebenarnya tidak ada urgensi buat kita melakukan revisi UU Advokat. Ya karena undang-undangnya tidak bermasalah," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (11/6) malam.
Ia menilai yang bermasalah adalah pejabat-pejabat yang tidak melaksanakan amanat UU Advokat secara baik dan konsisten yakni mengenai penerapan wadah tunggal.
"Jadi jangan mencari kambing hitam. Undang-undang tidak ada yang salah, kenapa jadi undang-undangnya yang diubah," ujar dia.
Bahkan, lanjutnya, seharusnya yang ditanya kenapa Mahkamah Agung (MA) tidak melaksanakan UU Advokat dengan konsekuen. Dalam UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 secara jelas disebutkan bahwa menganut sistem wadah tunggal.
"Kenapa MA menabrak itu sehingga menjadi multibar. Jadi jangan undang-undangnya yang disalahkan. Kalau kita mau mengubah multibar tetap juga dong laksanakan 'single bar' karena itu hukum positif," ujarnya.
Hal itu dilontarkan Otto menanggapi video yang diterimanya soal pernyataan anggota DPR dan pejabat pemerintah yang menyampaikan mengenai revisi UU Advokat.
Namun demikian, Otto mengaku belum mengetahui arah soal revisi UU Advokat, termasuk akan masuk program legislasi nasional (proglegnas) atau tidak.
"Tetapi di dalam rapat DPR kemarin, Arteria Dahlan mengusulkan agar ini diseriuskan," katanya.
Terkait dengan revisi tersebut, Otto menegaskan bahwa para pejabat dan anggota dewan harus berhati-hati dalam menyikapi keinginan multibar. Pasalnya, hal tersebut akan merugikan rakyat atau para pencari keadilan.
Menurut Otto, multibar akan membuka peluang advokat menjadi penjahat. Sebab, sistem menjadikan tidak ada satu standardisasi kualitas hingga etik advokat. Dengan demikian, advokat akan sulit dikontrol.
"Kalau pejabat memahami makna dan tujuan dibentuknya organisasi advokat yang 'single bar', pasti mereka tidak akan berjuang untuk multibar," ujarnya.
Oleh karena itu, Peradi meminta pemerintah maupun DPR harus berhati-hati dalam menyikapi soal wadah advokat.