Jakarta (ANTARA) - Ombudsman mendalami kesulitan yang dialami oleh warga negara Indonesia (WNI) keturunan etnis Tionghoa mendapatkan sertifikat hak milik (SHM) tanah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan menggelar diskusi bersama perwakilan pemerintah dan akademisi di Jakarta, Selasa.
Kesulitan itu jadi perhatian Ombudsman setelah adanya aduan dari empat WNI bahwa mereka kesulitan mendapatkan sertifikat hak milik tanah dari kantor pertanahan di Yogyakarta karena alasan etnis/ras, yang mana para pelapor merupakan keturunan etnis Tionghoa.
Dari pemeriksaan aduan itu, Ombudsman pada tahun lalu mengumumkan adanya temuan maladministrasi berupa diskriminasi yang dilakukan kantor pertanahan di Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul, terhadap empat pemohon sertifikat hak milik tanah.
Oleh karena itu, Ombudsman lewat rekomendasinya yang terbit pada 22 Juli 2020 meminta kepala kantor pertanahan segera menindaklanjuti permohonan penerbitan SHM karena seluruh persyaratan telah dipenuhi sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Namun rekomendasi Ombudsman itu belum dilaksanakan oleh lima kantor pertanahan tersebut dan Kementerian ATR/BPN sampai saat ini karena mereka berpedoman pada surat instruksi wakil kepala DIY yang diteken pada 5 Maret 1975.
Wakil kepala Daerah Istimewa Yogyakarta 46 tahun yang lalu lewat surat instruksinya mengatur WNI keturunan non-pribumi atau mereka yang non-pribumi belum dapat memiliki tanah dengan status hak milik.
Terkait masalah itu, Ombudsman meminta masukan dari perwakilan 12 instansi pemerintah dan kelompok akademisi mengenai langkah-langkah demi mengatasi kebuntuan tersebut.
“Harapannya, ada masukan mengenai evaluasi mengapa rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia terkait maladministrasi pendaftaran tanah kepemilikan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya untuk warga keturunan Tionghoa belum dapat dilaksanakan,” kata Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih saat membuka acara diskusi yang berlangsung virtual.
Dalam pertemuan itu, Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN Suyus Windayana menerangkan pihaknya tetap berpedoman pada Instruksi Wakil Kepala DIY No.K 989/I/A/1975 serta dua putusan Mahkamah Agung yang menolak gugatan terhadap Instruksi Wakil Kepala DIY tersebut.
Pihak Kementerian ATR/BPN pun menyarankan para pemohon menyertakan surat persetujuan memperoleh hak milik tanah dari Gubernur D.I. Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Namun, Ombudsman berpendapat putusan MA itu justru menunjukkan bahwa Instruksi Wakil Kepala DIY bukan bagian dari ketentuan perundang-undangan.
Dengan demikian, penolakan pendaftaran peralihan hak kepemilikan tanah seharusnya mengacu pada ketentuan perundang-undangan, salah satunya Pasal 45 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, kata Kepala Keasistenan Rekomendasi dan Monitoring Ombudsman RI Ratna Sari Dewi saat acara diskusi.
Ratna juga menegaskan bahwa tanah yang jadi objek aduan para pelapor adalah tanah biasa atau bukan dari tanah milik milik Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat/Sultan Ground.
Kesulitan itu jadi perhatian Ombudsman setelah adanya aduan dari empat WNI bahwa mereka kesulitan mendapatkan sertifikat hak milik tanah dari kantor pertanahan di Yogyakarta karena alasan etnis/ras, yang mana para pelapor merupakan keturunan etnis Tionghoa.
Dari pemeriksaan aduan itu, Ombudsman pada tahun lalu mengumumkan adanya temuan maladministrasi berupa diskriminasi yang dilakukan kantor pertanahan di Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul, terhadap empat pemohon sertifikat hak milik tanah.
Oleh karena itu, Ombudsman lewat rekomendasinya yang terbit pada 22 Juli 2020 meminta kepala kantor pertanahan segera menindaklanjuti permohonan penerbitan SHM karena seluruh persyaratan telah dipenuhi sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Namun rekomendasi Ombudsman itu belum dilaksanakan oleh lima kantor pertanahan tersebut dan Kementerian ATR/BPN sampai saat ini karena mereka berpedoman pada surat instruksi wakil kepala DIY yang diteken pada 5 Maret 1975.
Wakil kepala Daerah Istimewa Yogyakarta 46 tahun yang lalu lewat surat instruksinya mengatur WNI keturunan non-pribumi atau mereka yang non-pribumi belum dapat memiliki tanah dengan status hak milik.
Terkait masalah itu, Ombudsman meminta masukan dari perwakilan 12 instansi pemerintah dan kelompok akademisi mengenai langkah-langkah demi mengatasi kebuntuan tersebut.
“Harapannya, ada masukan mengenai evaluasi mengapa rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia terkait maladministrasi pendaftaran tanah kepemilikan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya untuk warga keturunan Tionghoa belum dapat dilaksanakan,” kata Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih saat membuka acara diskusi yang berlangsung virtual.
Dalam pertemuan itu, Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN Suyus Windayana menerangkan pihaknya tetap berpedoman pada Instruksi Wakil Kepala DIY No.K 989/I/A/1975 serta dua putusan Mahkamah Agung yang menolak gugatan terhadap Instruksi Wakil Kepala DIY tersebut.
Pihak Kementerian ATR/BPN pun menyarankan para pemohon menyertakan surat persetujuan memperoleh hak milik tanah dari Gubernur D.I. Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Namun, Ombudsman berpendapat putusan MA itu justru menunjukkan bahwa Instruksi Wakil Kepala DIY bukan bagian dari ketentuan perundang-undangan.
Dengan demikian, penolakan pendaftaran peralihan hak kepemilikan tanah seharusnya mengacu pada ketentuan perundang-undangan, salah satunya Pasal 45 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, kata Kepala Keasistenan Rekomendasi dan Monitoring Ombudsman RI Ratna Sari Dewi saat acara diskusi.
Ratna juga menegaskan bahwa tanah yang jadi objek aduan para pelapor adalah tanah biasa atau bukan dari tanah milik milik Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat/Sultan Ground.