Sampit (ANTARA) - Serangan buaya di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, cukup tinggi, setidaknya sudah ada 42 orang warga yang menjadi korban serangan satwa ganas itu, bahkan enam orang di antaranya meninggal dunia.
"Dari tahun 2010 sampai 2021 ini dugaan serangan buaya kepada manusia sebanyak 42 kali. Serangan itu mengakibatkan 26 orang terluka dan 6 orang meninggal, sedangkan sisanya tidak sampai terluka," kata Komandan Jaga Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah Pos Sampit, Muriansyah di Sampit, Minggu.
Muriansyah menjelaskan, serangan buaya terjadi umumnya saat hari sudah gelap. Saat itu rata-rata korbannya beraktivitas di sungai dan tidak menyadari kemunculan buaya yang kemudian menyambar mereka.
Dari kasus yang terjadi, hampir 90 persen kejadian serangan terjadi pada waktu malam hingga subuh. Namun ada pula serangan buaya yang terjadi saat siang hari.
Berdasarkan kejadian, serangan saat warga melaksanakan aktivitas mandi, mencuci atau buang air di tepi sungai terjadi sebanyak 34 kasus, saat mencari kerang atau udang sebanyak enam kasus, saat menghanyutkan rotan sebanyak satu kasus kasus dan satu kasus saat korban terjatuh ke sungai.
Lokasi serangan buaya terjadi di Kecamatan Mentaya Hilir Selatan sebanyak 13 kali, Teluk Sampit 11 kali, Seranau delapan kali, Pulau Hanaut tiga kali, Cempaga tiga kali, Mentaya Hilir Utara dua kali dan Mentawa Baru Ketapang dua kali.
Hasil evaluasi, kata Muriansyah, ketika habitat aslinya rusak dan mengalami penurunan pakan alami, buaya akan mencari wilayah baru untuk mencari makan. Buaya sampai ke perairan permukiman dikarenakan adanya aktivitas pemeliharaan ternak di atas sungai atau di tepi sungai, serta pembuangan sampah rumah tangga dan bangkai binatang ke sungai.
Kerusakan habitat buaya bisa dipengaruhi beberapa faktor, termasuk dampak pembuatan irigasi atau kanal untuk perkebunan maupun untuk ladang dan permukiman.
Baca juga: Bupati Kotim pantau kualitas perbaikan jalan dalam kota
"Danau dan rawa yang ada di sekitar lokasi tersebut banyak yang kering sehingga makhluk hidup yang ada di danau atau rawa akhirnya turun semua ke daerah muara, terkumpul di Sungai Mentaya. Belum lagi ditambah pakan alaminya yaitu ikan dan udang yang makin sulit didapat akibat kegiatan ilegal yakni setrum dan diracun," ujar Muriansyah.
Beberapa langkah mitigasi konflik juga sudah dilakukan BKSDA Kalteng terhadap konflik buaya muara maupun senyolong dengan manusia di Kabupaten Kotawaringin Timur, khususnya mencegah serangan buaya terus berulang.
Langkah yang dilakukan yaitu pemetaan daerah-daerah rawan konflik, memberikan imbauan langsung atau anjangsana kepada warga yang tinggal di daerah-daerah rawan konflik atau serangan, memberikan imbauan melalui media massa cetak dan elektronik.
BKSDA juga melakukan patroli bersama dengan Ditpolair Polda Kalteng, memasang plang imbauan atau peringatan, observasi ke daerah-daerah rawan konflik untuk mengumpulkan informasi dan data awal penyebab buaya memasuki perairan sekitar pemukiman dan menyerang manusia.
Selain itu, ada pula penyitaan atau serah terima buaya yang dipelihara masyarakat dengan total sudah sebanyak 18 ekor dan penangkapan dua ekor. BKSDA juga mengadakan pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur membahas serangan buaya dan cara penanganannya, mengunjungi dan membantu biaya pengobatan kepada korban, serta berupaya menangkap buaya.
"Daerah-daerah rawan konflik atau serangan buaya yakni perairan sungai wilayah Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, Mentaya Hilir Utara, Teluk Sampit, Pulau Hanaut, Mentawa Baru Ketapang, Seranau dan Cempaga. Kami sudah memasang 35 buah plang imbauan atau peringatan agar masyarakat lebih berhati-hati terhadap ancaman serangan buaya," demikian Muriansyah.
Baca juga: Pemkab Kotim gelontorkan Rp1 miliar untuk beasiswa
"Dari tahun 2010 sampai 2021 ini dugaan serangan buaya kepada manusia sebanyak 42 kali. Serangan itu mengakibatkan 26 orang terluka dan 6 orang meninggal, sedangkan sisanya tidak sampai terluka," kata Komandan Jaga Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah Pos Sampit, Muriansyah di Sampit, Minggu.
Muriansyah menjelaskan, serangan buaya terjadi umumnya saat hari sudah gelap. Saat itu rata-rata korbannya beraktivitas di sungai dan tidak menyadari kemunculan buaya yang kemudian menyambar mereka.
Dari kasus yang terjadi, hampir 90 persen kejadian serangan terjadi pada waktu malam hingga subuh. Namun ada pula serangan buaya yang terjadi saat siang hari.
Berdasarkan kejadian, serangan saat warga melaksanakan aktivitas mandi, mencuci atau buang air di tepi sungai terjadi sebanyak 34 kasus, saat mencari kerang atau udang sebanyak enam kasus, saat menghanyutkan rotan sebanyak satu kasus kasus dan satu kasus saat korban terjatuh ke sungai.
Lokasi serangan buaya terjadi di Kecamatan Mentaya Hilir Selatan sebanyak 13 kali, Teluk Sampit 11 kali, Seranau delapan kali, Pulau Hanaut tiga kali, Cempaga tiga kali, Mentaya Hilir Utara dua kali dan Mentawa Baru Ketapang dua kali.
Hasil evaluasi, kata Muriansyah, ketika habitat aslinya rusak dan mengalami penurunan pakan alami, buaya akan mencari wilayah baru untuk mencari makan. Buaya sampai ke perairan permukiman dikarenakan adanya aktivitas pemeliharaan ternak di atas sungai atau di tepi sungai, serta pembuangan sampah rumah tangga dan bangkai binatang ke sungai.
Kerusakan habitat buaya bisa dipengaruhi beberapa faktor, termasuk dampak pembuatan irigasi atau kanal untuk perkebunan maupun untuk ladang dan permukiman.
Baca juga: Bupati Kotim pantau kualitas perbaikan jalan dalam kota
"Danau dan rawa yang ada di sekitar lokasi tersebut banyak yang kering sehingga makhluk hidup yang ada di danau atau rawa akhirnya turun semua ke daerah muara, terkumpul di Sungai Mentaya. Belum lagi ditambah pakan alaminya yaitu ikan dan udang yang makin sulit didapat akibat kegiatan ilegal yakni setrum dan diracun," ujar Muriansyah.
Beberapa langkah mitigasi konflik juga sudah dilakukan BKSDA Kalteng terhadap konflik buaya muara maupun senyolong dengan manusia di Kabupaten Kotawaringin Timur, khususnya mencegah serangan buaya terus berulang.
Langkah yang dilakukan yaitu pemetaan daerah-daerah rawan konflik, memberikan imbauan langsung atau anjangsana kepada warga yang tinggal di daerah-daerah rawan konflik atau serangan, memberikan imbauan melalui media massa cetak dan elektronik.
BKSDA juga melakukan patroli bersama dengan Ditpolair Polda Kalteng, memasang plang imbauan atau peringatan, observasi ke daerah-daerah rawan konflik untuk mengumpulkan informasi dan data awal penyebab buaya memasuki perairan sekitar pemukiman dan menyerang manusia.
Selain itu, ada pula penyitaan atau serah terima buaya yang dipelihara masyarakat dengan total sudah sebanyak 18 ekor dan penangkapan dua ekor. BKSDA juga mengadakan pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur membahas serangan buaya dan cara penanganannya, mengunjungi dan membantu biaya pengobatan kepada korban, serta berupaya menangkap buaya.
"Daerah-daerah rawan konflik atau serangan buaya yakni perairan sungai wilayah Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, Mentaya Hilir Utara, Teluk Sampit, Pulau Hanaut, Mentawa Baru Ketapang, Seranau dan Cempaga. Kami sudah memasang 35 buah plang imbauan atau peringatan agar masyarakat lebih berhati-hati terhadap ancaman serangan buaya," demikian Muriansyah.
Baca juga: Pemkab Kotim gelontorkan Rp1 miliar untuk beasiswa