Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengingatkan adanya empat risiko yang membayangi berlangsungnya pemulihan ekonomi global sejak semester I-2021.
“Meskipun dengan cerita yang positif dan sangat baik pada semester I-2021, namun kita melihat ada risiko yang muncul juga dimulai pada semester I terutama di kuartal II,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA di Jakarta, Rabu.
Sri Mulyani menyebutkan pertama adalah kemunculan varian Delta yang menimbulkan risiko pengetatan atau restriksi sehingga menghambat penundaan normalitas aktivitas di banyak negara.
Ia mengatakan varian Delta yang muncul di India sehingga pada Maret, April, dan Mei, menimbulkan dampak luar biasa terhadap ekonomi serta masyarakat sekarang telah tersebar di lebih dari 130 negara.
Terlebih lagi, lonjakan kasus COVID-19 varian Delta ini juga terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang telah melaksanakan program vaksinasi dalam jumlah sangat besar.
Kemudian, risiko kedua adalah pelaksanaan program vaksinasi yang tidak merata antarnegara maupun dalam satu negara sehingga menyebabkan pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi tidak seragam.
Baca juga: Rp55,21 triliun anggaran ditambahkan untuk perlindungan sosial
Ia mengatakan tidak meratanya vaksinasi antara lain karena masyarakat belum berkenan untuk divaksin, seperti di beberapa negara bagian di AS maupun memang tidak memiliki akses seperti di negara-negara di Afrika dan Asia.
“Akses vaksinasi dan kemampuan penetrasi vaksinasi menyebabkan risiko karena selama COVID-19 belum bisa ditangani maka dia akan terus melakukan penularan dan bermutasi,” kata Sri Mulyani.
Selanjutnya, risiko ketiga adalah kenaikan inflasi di AS yang dalam dua bulan berturut-turut di atas 5 persen atau jauh di atas target inflasi AS yaitu sekitar 2 persen.
Hal tersebut memukul daya beli masyarakat AS terutama kelompok menegah dan bawah, mengancam pemulihan, serta menimbulkan berbagai proyeksi terhadap langkah Federal Reserve (Fed) dalam merespon inflasi di AS ini.
Risiko terakhir adalah gangguan supply dan kenaikan inflasi di banyak negara khususnya negara maju yang mempengaruhi kelancaran produksi maupun kenaikan biaya produksi.
“Kita melihat berbagai kemungkinan dari sisi supply dan kenaikan inflasi itu terhadap sisi produksi di seluruh dunia,” ujar Sri Mulyani.
Baca juga: Dana PKH dan Kartu Sembako cair untuk 3 bulan di Juli ini
Baca juga: Menkeu : Ekonomi syariah jadi pilar pemulihan ekonomi
Baca juga: Realisasi KUR naik capai Rp112,8 triliun bagi 3,1 juta debitur
“Meskipun dengan cerita yang positif dan sangat baik pada semester I-2021, namun kita melihat ada risiko yang muncul juga dimulai pada semester I terutama di kuartal II,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA di Jakarta, Rabu.
Sri Mulyani menyebutkan pertama adalah kemunculan varian Delta yang menimbulkan risiko pengetatan atau restriksi sehingga menghambat penundaan normalitas aktivitas di banyak negara.
Ia mengatakan varian Delta yang muncul di India sehingga pada Maret, April, dan Mei, menimbulkan dampak luar biasa terhadap ekonomi serta masyarakat sekarang telah tersebar di lebih dari 130 negara.
Terlebih lagi, lonjakan kasus COVID-19 varian Delta ini juga terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang telah melaksanakan program vaksinasi dalam jumlah sangat besar.
Kemudian, risiko kedua adalah pelaksanaan program vaksinasi yang tidak merata antarnegara maupun dalam satu negara sehingga menyebabkan pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi tidak seragam.
Baca juga: Rp55,21 triliun anggaran ditambahkan untuk perlindungan sosial
Ia mengatakan tidak meratanya vaksinasi antara lain karena masyarakat belum berkenan untuk divaksin, seperti di beberapa negara bagian di AS maupun memang tidak memiliki akses seperti di negara-negara di Afrika dan Asia.
“Akses vaksinasi dan kemampuan penetrasi vaksinasi menyebabkan risiko karena selama COVID-19 belum bisa ditangani maka dia akan terus melakukan penularan dan bermutasi,” kata Sri Mulyani.
Selanjutnya, risiko ketiga adalah kenaikan inflasi di AS yang dalam dua bulan berturut-turut di atas 5 persen atau jauh di atas target inflasi AS yaitu sekitar 2 persen.
Hal tersebut memukul daya beli masyarakat AS terutama kelompok menegah dan bawah, mengancam pemulihan, serta menimbulkan berbagai proyeksi terhadap langkah Federal Reserve (Fed) dalam merespon inflasi di AS ini.
Risiko terakhir adalah gangguan supply dan kenaikan inflasi di banyak negara khususnya negara maju yang mempengaruhi kelancaran produksi maupun kenaikan biaya produksi.
“Kita melihat berbagai kemungkinan dari sisi supply dan kenaikan inflasi itu terhadap sisi produksi di seluruh dunia,” ujar Sri Mulyani.
Baca juga: Dana PKH dan Kartu Sembako cair untuk 3 bulan di Juli ini
Baca juga: Menkeu : Ekonomi syariah jadi pilar pemulihan ekonomi
Baca juga: Realisasi KUR naik capai Rp112,8 triliun bagi 3,1 juta debitur