Jakarta (ANTARA) - Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto menyebutkan beberapa modus baru terorisme saat ini yang patut diantisipasi oleh pihak-pihak terkait.
"Menempatkan perempuan sebagai 'pengantin' aksi terorisme sebagai modus pertama," kata Wawan Hari Purwanto dalam diskusi virtual bertajuk Meningkatkan Partisipasi, Terorisme Dapat Ditanggulangi yang digelar Divisi Humas Mabes Polri, Selasa.
"Perempuan efektif digunakan karena masyarakat dan aparat penegak hukum cenderung tidak curiga," ujar Wawan.
Ia mencontohkan peran perempuan dalam aksi terorisme pada masa kejayaan ISIS memiliki Brigade Khansaa yang secara khusus berisi kaum perempuan.
Wawan juga menyebutkan aksi lone wolf atau serangan teror seorang diri sebagai modus dan aksi terorisme yang paling memungkinkan untuk terjadi di kemudian hari akibat radikalisasi diri sendiri.
Modus baru berikutnya juga terkait dengan pendanaan terorisme, yakni melalui kotak amal yang digunakan dan disebarkan dengan menyamar sebagai kegiatan yang dilakukan oleh yayasan atau panti asuhan.
"Pendanaan terorisme melalui kotak amal ini menunjukkan masih aktifnya gerakan bawah tanah kelompok teror," kata Wawan.
Selain itu, modus terorisme dengan menggunakan milenial juga harus menjadi perhatian serius saat ini.
Wawan mengatakan bahwa milenial yang sedang dalam pencarian jati diri dan identitas serat membuat kalangan tersebut rentan terpapar paham radikal. Adapun sasaran utamanya adalah kaum muda berusia 17 sampai 24 tahun.
"Penyebaran radikalisme terhadap generasi muda patut diwaspadai mengingat mereka merupakan pengguna aktif media sosial yang rentan untuk menyebarkan narasi-narasi radikal," ujarnya.
Oleh karena itu, Wawan menyampaikan sejumlah rekomendasi, di antaranya agar Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Polri, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan instansi terkait harus mengoptimalkan patroli siber untuk menindak akun-akun radikal maupun meningkatkan literasi digital guna melawan paham anti-Pancasila.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Kementerian Agama (Kemenag), serta pemerintah provinsi diharapkan terus mengoptimalkan pengawasan penyebaran radikalisme di lingkungan pendidikan tinggi.
Wawan juga menyampaikan rekomendasi agar Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) menindak tegas aparatur sipil negara (ASN) yang terbukti terlibat paham radikalisme maupun organisasi terlarang.
Sementara itu, dari sisi sosial kemasyarakatan, Wawan berharap agar peran aktif dari tokoh pemuda, organisasi masyarakat, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, serta masyarakat untuk terus berupaya menangkal radikalisme melalui media sosial.
"Pada sisi berbeda, Kementerian Sosial (Kemensos) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga diharapkan mengoptimalkan pembinaan dan pemberdayaan mantan narapidana terorisme agar bisa kembali di tengah masyarakat dengan baik," pungkas Wawan.
"Menempatkan perempuan sebagai 'pengantin' aksi terorisme sebagai modus pertama," kata Wawan Hari Purwanto dalam diskusi virtual bertajuk Meningkatkan Partisipasi, Terorisme Dapat Ditanggulangi yang digelar Divisi Humas Mabes Polri, Selasa.
"Perempuan efektif digunakan karena masyarakat dan aparat penegak hukum cenderung tidak curiga," ujar Wawan.
Ia mencontohkan peran perempuan dalam aksi terorisme pada masa kejayaan ISIS memiliki Brigade Khansaa yang secara khusus berisi kaum perempuan.
Wawan juga menyebutkan aksi lone wolf atau serangan teror seorang diri sebagai modus dan aksi terorisme yang paling memungkinkan untuk terjadi di kemudian hari akibat radikalisasi diri sendiri.
Modus baru berikutnya juga terkait dengan pendanaan terorisme, yakni melalui kotak amal yang digunakan dan disebarkan dengan menyamar sebagai kegiatan yang dilakukan oleh yayasan atau panti asuhan.
"Pendanaan terorisme melalui kotak amal ini menunjukkan masih aktifnya gerakan bawah tanah kelompok teror," kata Wawan.
Selain itu, modus terorisme dengan menggunakan milenial juga harus menjadi perhatian serius saat ini.
Wawan mengatakan bahwa milenial yang sedang dalam pencarian jati diri dan identitas serat membuat kalangan tersebut rentan terpapar paham radikal. Adapun sasaran utamanya adalah kaum muda berusia 17 sampai 24 tahun.
"Penyebaran radikalisme terhadap generasi muda patut diwaspadai mengingat mereka merupakan pengguna aktif media sosial yang rentan untuk menyebarkan narasi-narasi radikal," ujarnya.
Oleh karena itu, Wawan menyampaikan sejumlah rekomendasi, di antaranya agar Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Polri, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan instansi terkait harus mengoptimalkan patroli siber untuk menindak akun-akun radikal maupun meningkatkan literasi digital guna melawan paham anti-Pancasila.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Kementerian Agama (Kemenag), serta pemerintah provinsi diharapkan terus mengoptimalkan pengawasan penyebaran radikalisme di lingkungan pendidikan tinggi.
Wawan juga menyampaikan rekomendasi agar Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) menindak tegas aparatur sipil negara (ASN) yang terbukti terlibat paham radikalisme maupun organisasi terlarang.
Sementara itu, dari sisi sosial kemasyarakatan, Wawan berharap agar peran aktif dari tokoh pemuda, organisasi masyarakat, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, serta masyarakat untuk terus berupaya menangkal radikalisme melalui media sosial.
"Pada sisi berbeda, Kementerian Sosial (Kemensos) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga diharapkan mengoptimalkan pembinaan dan pemberdayaan mantan narapidana terorisme agar bisa kembali di tengah masyarakat dengan baik," pungkas Wawan.