Kuala Kurun (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah melalui Dinas Kesehatan setempat membuat inovasi pelayanan publik yakni Bell Box TB Berantas dan Eliminasi Penyakit Tuberkulosis (Berkesan), guna membantu pengawasan minum obat bagi pasien penyakit tuberkulosis (TB).
Kepala Dinkes Gumas Maria Efianti saat dihubungi dari Kuala Kurun, Jumat, mengatakan bahwa saat seseorang menderita TB paru maka yang bersangkutan harus menjalani pengobatan minimal enam bulan, di mana obat anti TB harus diminum tanpa terputus.
“Lamanya durasi pengobatan terkadang membuat pasien merasa bosan. Oleh sebab itu diperlukan pengawasan minum obat, agar pasien benar-benar meminum obat secara teratur sesuai jadwal,” ucap dia.
Guna memastikan pasien patuh meminum obat secara teratur sesuai jadwal, Dinkes bekerja sama dengan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Tumbang Masukih, Kecamatan Damang Batu membuat inovasi Bell Box TB Berkesan.
Baca juga: Adakah tes rapid untuk deteksi tuberkolusis?
Puskesmas Tumbang Masukih dipilih karena di wilayah kerja puskesmas tersebut, tepatnya di Desa Rangan Hiran ada temuan kasus TBC, kurangnya kepatuhan dalam menelan obat, daerah/lokasi terpencil, tidak ada jaringan telekomunikasi, serta tingkat pengetahuan dan pendidikan yang masih kurang.
Dalam inovasi ini pertama-tama diperlukan pengawas minum obat dari pihak keluarga pasien. Sebelumnya pengawas minum obat itu diberi edukasi, pengetahuan, serta beberapa pelatihan tentang tugas mereka.
Pengawas tadi dibekali dengan beberapa alat pendukung seperti jam, kalender pengobatan, dan beberapa buah box atau kotak. Itu semua yang dimaksud dengan Bell Box TB Berkesan.
Jam menjadi alat pengingat pasien untuk meminum obat. Saat alarm jam berbunyi, maka tandanya pasien harus segera meminum obat. Kalender pengobatan menjadi acuan bagi pasien selama menjalani pengobatan, dari bulan pertama hingga bulan keenam.
Bell Box TB Berkesan. (ANTARA/HO-Dinkes Kabupaten Gumas)
Untuk box yang disiapkan terdiri dari box penyimpan obat, box sampah bungkus obat untuk membuang bungkus obat yang sudah digunakan, box informasi yang berisi leaflet serta buku saku yang berisi pengetahuan tentang TB serta tugas dari pengawas.
Puskesmas Tumbang Masukih mulai menerapkan Inovasi Bell Box TB Berkesan pada akhir tahun 2018 kepada dua pasien di Rangan Hiran, dan dinilai berhasil karena kedua pasien tersebut bisa sembuh tepat waktu.
Baca juga: Cara hindari penyakit tuberkolosis
Pada tahun 2020 Bell Box TB Berkesan diprogram pada skala lebih luas, yakni diterapkan di seluruh puskesmas yang ada di daerah kabupaten bermoto ‘Habangkalan Penyang Karuhei Tatau’. Hanya saja bagi warga yang memiliki telepon seluler tidak mendapat jam, karena penggunaan jam alarm bisa menggunakan telepon seluler.
“Keberadaan Bell Box TB Berkesan sangat bermanfaat bagi pasien TB, terlebih di tengah terjadinya pandemi COVID-19 yang melanda dunia pada saat ini, termasuk Gumas,” tutur Maria.
Di daerah yang tidak memiliki sinyal telekomunikasi, tenaga kesehatan dapat mengunjungi pasien namun dengan intensitas yang dikurangi. Hal itu terpaksa dilakukan untuk mengurangi paparan pasien dan tenaga kesehatan, mengingat penderita TB adalah kelompok rentan tertular COVID-19.
Sebelum terjadinya pandemi, sambung dia, pengawasan yang dilakukan oleh nakes terhadap ketaatan pasien minum obat adalah sebanyak 40 persen dan pihak keluarga pasien 60 persen.
Sedangkan di masa pandemi porsi kehadiran fisik nakes dikurangi menjadi 20 persen, dan peran pihak keluarga dalam mengawasi ketaatan pasien minum obat menjadi 80 persen.
Dia menjelaskan, kehadiran fisik nakes tidak bisa dihilangkan begitu saja, karena nakes masih diperlukan untuk memberi edukasi. Namun nakes wajib mengenakan alat pelindung diri jika melakukan pengawasan ke rumah pasien.
Selain itu, ujar dia, komunikasi antara nakes dengan pasien juga rutin dilakukan dengan menggunakan berbagai media, tergantung ketersediaan sarana dan prasarana pendukung.
Di samping itu, pengelola program TB di Dinkes Gumas secara proaktif memantau pelaksanaan pengobatan di puskesmas dan rumah sakit dengan cara menyiapkan kebutuhan obat TB dan logistik lainnya, memastikan pemberian pengobatan OAT sesuai standar terselenggara dengan baik.
Kemudian meminimalisir kunjungan dan perawatan pasien TB ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) jika tidak ada keluhan yang terlalu berat, sehingga pengambilan obat dapat diwakilkan oleh keluarga.
Untuk pemantauan laboratorium sebagai bahan evaluasi cukup hanya mengirimkan sampel dahak. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya mengurangi potensi penularan COVID-19 kepada pasien maupun sebaliknya.
Baca juga: Ma'ruf Amin: Penyakit TBC berdampak pada tingkat produktivitas negara
Secara umum, kasus TB di Gumas dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Capaian kasus TB pada tahun 2018 berjumlah 193 kasus, tahun 2019 berjumlah 175 kasus, tahun 2020 berjumlah 138 kasus, dan per Agustus 2021 berjumlah 65 kasus.
Dia menjelaskan, penurunan kasus yang cukup signifikan pada tahun 2021 terjadi karena beberapa hal, seperti penundaan upaya mendeteksi TB secara aktif ke masyarakat akibat pandemi COVID-19.
Selain itu ada juga masyarakat yang enggan memeriksakan diri ke fasyankes, karena yang bersangkutan takut disangka COVID-19. Sebab, orang yang menderita COVID-19 dan TB dapat menunjukkan gejala yang sama seperti batuk, demam dan kesulitan bernapas.
Warga yang sedang merasakan gejala batuk-batuk lama dan cenderung berulang hendaknya tidak segan untuk memeriksakan diri. Untuk menentukan COVID-19 atau bukan ada prosedur pemeriksaan yang harus dilakukan.
Dia menjelaskan, penyakit TB bisa dicegah dengan imunisasi BCG saat bayi, lingkungan yang sehat, makanan bergizi dan seimbang, olahraga dan istirahat cukup atau perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
“Bila sudah terdiagnosis TB diharapkan bisa minum obat secara teratur dan tuntas. Penyakit TB adalah penyakit menular, bukan penyakit keturunan, dan bisa disembuhkan dengan pengobatan yang benar,” demikian Maria.
Baca juga: Indonesia masuk peringkat tiga dunia penderita TBC
Baca juga: Memprihatinkan, kasus TB cukup tinggi di Kalteng
Baca juga: Gejala TBC paru yang perlu diwaspadai
Kepala Dinkes Gumas Maria Efianti saat dihubungi dari Kuala Kurun, Jumat, mengatakan bahwa saat seseorang menderita TB paru maka yang bersangkutan harus menjalani pengobatan minimal enam bulan, di mana obat anti TB harus diminum tanpa terputus.
“Lamanya durasi pengobatan terkadang membuat pasien merasa bosan. Oleh sebab itu diperlukan pengawasan minum obat, agar pasien benar-benar meminum obat secara teratur sesuai jadwal,” ucap dia.
Guna memastikan pasien patuh meminum obat secara teratur sesuai jadwal, Dinkes bekerja sama dengan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Tumbang Masukih, Kecamatan Damang Batu membuat inovasi Bell Box TB Berkesan.
Baca juga: Adakah tes rapid untuk deteksi tuberkolusis?
Puskesmas Tumbang Masukih dipilih karena di wilayah kerja puskesmas tersebut, tepatnya di Desa Rangan Hiran ada temuan kasus TBC, kurangnya kepatuhan dalam menelan obat, daerah/lokasi terpencil, tidak ada jaringan telekomunikasi, serta tingkat pengetahuan dan pendidikan yang masih kurang.
Dalam inovasi ini pertama-tama diperlukan pengawas minum obat dari pihak keluarga pasien. Sebelumnya pengawas minum obat itu diberi edukasi, pengetahuan, serta beberapa pelatihan tentang tugas mereka.
Pengawas tadi dibekali dengan beberapa alat pendukung seperti jam, kalender pengobatan, dan beberapa buah box atau kotak. Itu semua yang dimaksud dengan Bell Box TB Berkesan.
Jam menjadi alat pengingat pasien untuk meminum obat. Saat alarm jam berbunyi, maka tandanya pasien harus segera meminum obat. Kalender pengobatan menjadi acuan bagi pasien selama menjalani pengobatan, dari bulan pertama hingga bulan keenam.
Untuk box yang disiapkan terdiri dari box penyimpan obat, box sampah bungkus obat untuk membuang bungkus obat yang sudah digunakan, box informasi yang berisi leaflet serta buku saku yang berisi pengetahuan tentang TB serta tugas dari pengawas.
Puskesmas Tumbang Masukih mulai menerapkan Inovasi Bell Box TB Berkesan pada akhir tahun 2018 kepada dua pasien di Rangan Hiran, dan dinilai berhasil karena kedua pasien tersebut bisa sembuh tepat waktu.
Baca juga: Cara hindari penyakit tuberkolosis
Pada tahun 2020 Bell Box TB Berkesan diprogram pada skala lebih luas, yakni diterapkan di seluruh puskesmas yang ada di daerah kabupaten bermoto ‘Habangkalan Penyang Karuhei Tatau’. Hanya saja bagi warga yang memiliki telepon seluler tidak mendapat jam, karena penggunaan jam alarm bisa menggunakan telepon seluler.
“Keberadaan Bell Box TB Berkesan sangat bermanfaat bagi pasien TB, terlebih di tengah terjadinya pandemi COVID-19 yang melanda dunia pada saat ini, termasuk Gumas,” tutur Maria.
Di daerah yang tidak memiliki sinyal telekomunikasi, tenaga kesehatan dapat mengunjungi pasien namun dengan intensitas yang dikurangi. Hal itu terpaksa dilakukan untuk mengurangi paparan pasien dan tenaga kesehatan, mengingat penderita TB adalah kelompok rentan tertular COVID-19.
Sebelum terjadinya pandemi, sambung dia, pengawasan yang dilakukan oleh nakes terhadap ketaatan pasien minum obat adalah sebanyak 40 persen dan pihak keluarga pasien 60 persen.
Sedangkan di masa pandemi porsi kehadiran fisik nakes dikurangi menjadi 20 persen, dan peran pihak keluarga dalam mengawasi ketaatan pasien minum obat menjadi 80 persen.
Dia menjelaskan, kehadiran fisik nakes tidak bisa dihilangkan begitu saja, karena nakes masih diperlukan untuk memberi edukasi. Namun nakes wajib mengenakan alat pelindung diri jika melakukan pengawasan ke rumah pasien.
Selain itu, ujar dia, komunikasi antara nakes dengan pasien juga rutin dilakukan dengan menggunakan berbagai media, tergantung ketersediaan sarana dan prasarana pendukung.
Di samping itu, pengelola program TB di Dinkes Gumas secara proaktif memantau pelaksanaan pengobatan di puskesmas dan rumah sakit dengan cara menyiapkan kebutuhan obat TB dan logistik lainnya, memastikan pemberian pengobatan OAT sesuai standar terselenggara dengan baik.
Kemudian meminimalisir kunjungan dan perawatan pasien TB ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) jika tidak ada keluhan yang terlalu berat, sehingga pengambilan obat dapat diwakilkan oleh keluarga.
Untuk pemantauan laboratorium sebagai bahan evaluasi cukup hanya mengirimkan sampel dahak. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya mengurangi potensi penularan COVID-19 kepada pasien maupun sebaliknya.
Baca juga: Ma'ruf Amin: Penyakit TBC berdampak pada tingkat produktivitas negara
Secara umum, kasus TB di Gumas dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Capaian kasus TB pada tahun 2018 berjumlah 193 kasus, tahun 2019 berjumlah 175 kasus, tahun 2020 berjumlah 138 kasus, dan per Agustus 2021 berjumlah 65 kasus.
Dia menjelaskan, penurunan kasus yang cukup signifikan pada tahun 2021 terjadi karena beberapa hal, seperti penundaan upaya mendeteksi TB secara aktif ke masyarakat akibat pandemi COVID-19.
Selain itu ada juga masyarakat yang enggan memeriksakan diri ke fasyankes, karena yang bersangkutan takut disangka COVID-19. Sebab, orang yang menderita COVID-19 dan TB dapat menunjukkan gejala yang sama seperti batuk, demam dan kesulitan bernapas.
Warga yang sedang merasakan gejala batuk-batuk lama dan cenderung berulang hendaknya tidak segan untuk memeriksakan diri. Untuk menentukan COVID-19 atau bukan ada prosedur pemeriksaan yang harus dilakukan.
Dia menjelaskan, penyakit TB bisa dicegah dengan imunisasi BCG saat bayi, lingkungan yang sehat, makanan bergizi dan seimbang, olahraga dan istirahat cukup atau perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
“Bila sudah terdiagnosis TB diharapkan bisa minum obat secara teratur dan tuntas. Penyakit TB adalah penyakit menular, bukan penyakit keturunan, dan bisa disembuhkan dengan pengobatan yang benar,” demikian Maria.
Baca juga: Indonesia masuk peringkat tiga dunia penderita TBC
Baca juga: Memprihatinkan, kasus TB cukup tinggi di Kalteng
Baca juga: Gejala TBC paru yang perlu diwaspadai