Jayapura (ANTARA) - “Makanan apa itu? Kok seperti lem? Hati-hati nanti ususnya bisa lengket....” begitulah pertanyaan dan candaan yang sering keluar ketika mengunduh foto-foto kegiatan kuliner makanan khas Papua yang dikenal dengan nama papeda.
Melihat fisiknya, papeda memang sangat mirip dengan lem dari tepung kanji, berbahan dasar sagu, berwarna putih bening. Bagi yang pertama kali mencicipi, pada awalnya akan merasa aneh, seperti menelan lem. Tapi sekali mencoba akan ketagihan karena papeda yang telah dicampur bumbu ternyata memberikan sensasi tersendiri. Begitu masuk mulut, diamkan sejenak untuk mendapatkan rasa dan kemudian langsung telan.
Seperti halnya nasi, papeda tidak bisa dinikmati secara terpisah, tapi harus dilengkapi dengan makanan pendamping. Makanan pendamping paling populer dan sangat digemari adalah ikan tongkol gulai kuning, serta tumis daun pepaya muda dan kangkung.
Untuk menikmatinya pun ada seni tersendiri. Karena menyerupai lem dan kenyal, akan sulit untuk memindahkan papeda ke dalam mangkok dengan sendok atau garpu bagi yang belum berpengalaman. Fendy, seorang rekan warga Kota Jayapura yang mendampingi makan papeda di pinggir Sungai Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, kemudian memperagakan teknik memindahkan papeda ke mangkok secara benar.
“Sulit kalau hanya pakai sendok, harus pakai dua garpu,” kata Fendy, sambil mencelupkan dua garpu kayu ke dalam adonan papeda dan kemudian mengangkatnya secara horizontal, lalu memutar-mutar kedua garpu ke arah dalam dan arah luar. Setelah papeda menggumpal sesuai dengan porsi yang diinginkan, baru kemudian dipindahkan ke mangkok, tanpa tercecer.
Papeda yang sudah ada di dalam mangkok kemudian diguyur dengan ikan kuah kuning, dicampur bumbu dan tumis kangkung atau daun pepaya muda, dan bisa langsung ditelan tanpa perlu dikunyah.
Seperti dikutip dari situs Indonesian Chef Association, dibalik kelezatannya, papeda menyimpan riwayat sejarah. Papeda dikenal luas dalam tradisi masyarakat adat di Danau Sentani dan Manokwari. Masyarakat adat Papua sangat menghormati sagu lebih dari sekadar makanan. Beberapa suku di Papua bahkan mengenal mitologi sagu dengan kisah penjelmaan manusia.
Di Raja Ampat, sagu dianggap sebagai sesuatu yang sangat istimewa. Oleh karena itu, saat memanen sagu, kerap digelar upacara khusus sebagai rasa syukur dan penghormatan akan hasil panen sagu yang melimpah.
Makanan ini juga dihidangkan pada upacara adat Papua, Watani Kame. Upacara ini dilakukan sebagai tanda berakhirnya siklus kematian seseorang. Nantinya, papeda dibagikan paling banyak untuk relasi yang sangat membantu pada upacara tersebut.
Di Pulau Seram, Maluku, Suku Nuaulu mengonsumsi papeda atau sonar monne. Makanan ini disakralkan dalam ritual perayaan masa pubertas seorang gadis. Suku Nuaulu dan Suku Huaulu melarang wanita haid memasak papeda, karena menurut mereka proses merebus sagu menjadi papeda dianggap tabu.
Proses mengolah sagu menjadi bubur papeda membutuhkan perkakas belanga. Lalu, saat air mendidih dituangkan ke dalam saripati sagu sambil diaduk hingga mengental dan terjadi perubahan warna, dari putih menjadi bening keabu-abuan. Pengadukan dalam proses ini harus searah hingga tekstur benar-benar merata menjadi bubur lem.
Dari sisi nutrisi, ternyata papeda memiliki banyak manfaat yang baik bagi tubuh. Kaya akan serat dan rendah kolesterol, mengandung nutria esensial seperti protein, karbohidrat, kalsium, fosfor dan zat besi. Jika rutin mengonsumsi papeda, bisa meningkatkan kekebalan tubuh, mengurangi risiko kanker usus, mampu mengatasi sakit pada ulu hati, perut kembung, mengurangi risiko kegemukan, memperlancar pencernaan, hingga membersihkan paru-paru.
Sebagai makanan khas Papua, papeda ternyata memiliki filosofi yang mendalam. Saat menyantap papeda, satu keluarga biasanya menyantap dengan dilengkapi helai dan hote. Helai merupakan alat makan tradisional yang terbuat dari kayu sebagai tempat penyajian papeda. Sementara hote merupakan piring kayu sebagai tempat untuk menyantap papeda. Bagi mereka, acara makan keluarga menandai sebagai ikatan kekeluargaan sebagai ruang diskusi antara orang tua dan anak.
Digeser oleh nasi
Charles Toto, atau lebih dikenal dengan Chef Chato, praktisi kuliner asal Papua mengakui bahwa peran sagu sebagai bahan makanan pokok orang Papua secara perlahan sudah digantikan oleh nasi. Pergeseran tersebut di antaranya disebabkan oleh kebijakan pemerintah membuka lahan sawah di Bumi Cendrawasih itu.
“Ada stigma bahwa nasi itu untuk kelompok masyarakat modern dan memiliki kelas lebih tinggi dari sagu. Akhirnya ada anggapan bahwa sagu dan ikan adalah makanan yang lebih rendah, sehingga masyarakat pun kemudian berbondong-bondong mencari nasi,” katanya.
Chef Chato pun kemudian secara gencar mencoba untuk mempromosikan kembali kebaikan sumber makanan dari sagu dan berusaha untuk menyadarkan orang Papua bahwa pangan lokal harus tetap mereka lestarikan, dan sagu sebenarnya lebih baik daripada nasi yang mempunyai kadar gula tinggi.
Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021 menjadi peluang yang sangat istimewa bagi Pemerintah Papua untuk mempopulerkan kembali papeda, serta sektor kuliner khas lainnya.
Salah seorang pedagang papeda di Jayapura, Ibu Enda, menuturkan melalui PON Papua, papeda akan semakin terkenal dan tamu dari daerah banyak yang penasaran ingin mencoba makanan tersebut.
"Papeda ini makanan khas Papua dan saya bangga dapat memperkenalkan papeda ke para pengunjung PON Papua," kata Ibu Enda yang membuka stand makanan dan minuman, seperti yang dikutip oleh infopublik.
Berangkat dari rasa optimistis bahwa banyak masyarakat dari luar Papua yang tertarik dengan makanan Papua, ia pun mengikuti pelatihan dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Kabupaten Jayapura.
Ibu Enda pun menyatakan keyakinannya bahwa papeda akan semakin digemari dan naik kasta menjadi atraksi kuliner andalan Tanah Papua. Torang Bisa.....
Melihat fisiknya, papeda memang sangat mirip dengan lem dari tepung kanji, berbahan dasar sagu, berwarna putih bening. Bagi yang pertama kali mencicipi, pada awalnya akan merasa aneh, seperti menelan lem. Tapi sekali mencoba akan ketagihan karena papeda yang telah dicampur bumbu ternyata memberikan sensasi tersendiri. Begitu masuk mulut, diamkan sejenak untuk mendapatkan rasa dan kemudian langsung telan.
Seperti halnya nasi, papeda tidak bisa dinikmati secara terpisah, tapi harus dilengkapi dengan makanan pendamping. Makanan pendamping paling populer dan sangat digemari adalah ikan tongkol gulai kuning, serta tumis daun pepaya muda dan kangkung.
Untuk menikmatinya pun ada seni tersendiri. Karena menyerupai lem dan kenyal, akan sulit untuk memindahkan papeda ke dalam mangkok dengan sendok atau garpu bagi yang belum berpengalaman. Fendy, seorang rekan warga Kota Jayapura yang mendampingi makan papeda di pinggir Sungai Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, kemudian memperagakan teknik memindahkan papeda ke mangkok secara benar.
“Sulit kalau hanya pakai sendok, harus pakai dua garpu,” kata Fendy, sambil mencelupkan dua garpu kayu ke dalam adonan papeda dan kemudian mengangkatnya secara horizontal, lalu memutar-mutar kedua garpu ke arah dalam dan arah luar. Setelah papeda menggumpal sesuai dengan porsi yang diinginkan, baru kemudian dipindahkan ke mangkok, tanpa tercecer.
Papeda yang sudah ada di dalam mangkok kemudian diguyur dengan ikan kuah kuning, dicampur bumbu dan tumis kangkung atau daun pepaya muda, dan bisa langsung ditelan tanpa perlu dikunyah.
Seperti dikutip dari situs Indonesian Chef Association, dibalik kelezatannya, papeda menyimpan riwayat sejarah. Papeda dikenal luas dalam tradisi masyarakat adat di Danau Sentani dan Manokwari. Masyarakat adat Papua sangat menghormati sagu lebih dari sekadar makanan. Beberapa suku di Papua bahkan mengenal mitologi sagu dengan kisah penjelmaan manusia.
Di Raja Ampat, sagu dianggap sebagai sesuatu yang sangat istimewa. Oleh karena itu, saat memanen sagu, kerap digelar upacara khusus sebagai rasa syukur dan penghormatan akan hasil panen sagu yang melimpah.
Makanan ini juga dihidangkan pada upacara adat Papua, Watani Kame. Upacara ini dilakukan sebagai tanda berakhirnya siklus kematian seseorang. Nantinya, papeda dibagikan paling banyak untuk relasi yang sangat membantu pada upacara tersebut.
Di Pulau Seram, Maluku, Suku Nuaulu mengonsumsi papeda atau sonar monne. Makanan ini disakralkan dalam ritual perayaan masa pubertas seorang gadis. Suku Nuaulu dan Suku Huaulu melarang wanita haid memasak papeda, karena menurut mereka proses merebus sagu menjadi papeda dianggap tabu.
Proses mengolah sagu menjadi bubur papeda membutuhkan perkakas belanga. Lalu, saat air mendidih dituangkan ke dalam saripati sagu sambil diaduk hingga mengental dan terjadi perubahan warna, dari putih menjadi bening keabu-abuan. Pengadukan dalam proses ini harus searah hingga tekstur benar-benar merata menjadi bubur lem.
Dari sisi nutrisi, ternyata papeda memiliki banyak manfaat yang baik bagi tubuh. Kaya akan serat dan rendah kolesterol, mengandung nutria esensial seperti protein, karbohidrat, kalsium, fosfor dan zat besi. Jika rutin mengonsumsi papeda, bisa meningkatkan kekebalan tubuh, mengurangi risiko kanker usus, mampu mengatasi sakit pada ulu hati, perut kembung, mengurangi risiko kegemukan, memperlancar pencernaan, hingga membersihkan paru-paru.
Sebagai makanan khas Papua, papeda ternyata memiliki filosofi yang mendalam. Saat menyantap papeda, satu keluarga biasanya menyantap dengan dilengkapi helai dan hote. Helai merupakan alat makan tradisional yang terbuat dari kayu sebagai tempat penyajian papeda. Sementara hote merupakan piring kayu sebagai tempat untuk menyantap papeda. Bagi mereka, acara makan keluarga menandai sebagai ikatan kekeluargaan sebagai ruang diskusi antara orang tua dan anak.
Digeser oleh nasi
Charles Toto, atau lebih dikenal dengan Chef Chato, praktisi kuliner asal Papua mengakui bahwa peran sagu sebagai bahan makanan pokok orang Papua secara perlahan sudah digantikan oleh nasi. Pergeseran tersebut di antaranya disebabkan oleh kebijakan pemerintah membuka lahan sawah di Bumi Cendrawasih itu.
“Ada stigma bahwa nasi itu untuk kelompok masyarakat modern dan memiliki kelas lebih tinggi dari sagu. Akhirnya ada anggapan bahwa sagu dan ikan adalah makanan yang lebih rendah, sehingga masyarakat pun kemudian berbondong-bondong mencari nasi,” katanya.
Chef Chato pun kemudian secara gencar mencoba untuk mempromosikan kembali kebaikan sumber makanan dari sagu dan berusaha untuk menyadarkan orang Papua bahwa pangan lokal harus tetap mereka lestarikan, dan sagu sebenarnya lebih baik daripada nasi yang mempunyai kadar gula tinggi.
Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021 menjadi peluang yang sangat istimewa bagi Pemerintah Papua untuk mempopulerkan kembali papeda, serta sektor kuliner khas lainnya.
Salah seorang pedagang papeda di Jayapura, Ibu Enda, menuturkan melalui PON Papua, papeda akan semakin terkenal dan tamu dari daerah banyak yang penasaran ingin mencoba makanan tersebut.
"Papeda ini makanan khas Papua dan saya bangga dapat memperkenalkan papeda ke para pengunjung PON Papua," kata Ibu Enda yang membuka stand makanan dan minuman, seperti yang dikutip oleh infopublik.
Berangkat dari rasa optimistis bahwa banyak masyarakat dari luar Papua yang tertarik dengan makanan Papua, ia pun mengikuti pelatihan dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Kabupaten Jayapura.
Ibu Enda pun menyatakan keyakinannya bahwa papeda akan semakin digemari dan naik kasta menjadi atraksi kuliner andalan Tanah Papua. Torang Bisa.....