Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berupaya menjalankan berbagai program untuk mencegah stunting, di antaranya dengan mendorong konsumsi sumber makanan yang sehat, aman, dan beragam, serta kaya terhadap kandungan gizi mikro.
“Ikan merupakan komoditas yang kaya akan gizi dan mudah dijumpai di sekitar kita,” kata Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika lewat keterangannya di Jakarta, Kamis.
Stunting merupakan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah dari standar usianya. Kemenperin turut berperan dalam pencegahan stunting melalui upaya peningkatan konsumsi produk hasil pengolahan ikan.
Ikan merupakan salah satu sumber pangan lokal yang dapat dikembangkan karena sehat dan kaya akan kandungan gizi mikro.
Ketika memberikan paparan pada webinar tentang Diversifikasi Olahan Hasil Perikanan dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat di kala Pandemi, Putu menyampaikan bahwa ikan mengandung protein, lemak, minyak ikan, vitamin A, D, B6, B12, mineral, yodium, dan zat besi, sehingga dapat mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro pada masyarakat.
Putu juga melaporkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami beban ganda gizi.
“Beban ganda gizi tersebut adalah kekurangan zat gizi mikro yang menyebabkan stunting yang kemudian menimbulkan kerugian ekonomi negara sebesar 2-3 persen dari PDB per tahun,” jelasnya.
Pemerintah menargetkan prevalensi stunting turun 14 persen pada tahun 2024. Prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2014 berada pada angka 37 persen dan berhasil ditekan hingga mencapai angka 27,6 persen pada 2019.
Putu menjelaskan bahwa pemerintah berupaya menanggulangi permasalahan stunting melalui program suplementasi, upaya perubahan perilaku konsumsi masyarakat agar mengkonsumsi sumber makanan yang beragam dan kaya akan kandungan gizi termasuk zat gizi mikro serta sehat dan aman, serta fortifikasi pangan.
"Solusi yang paling dekat adalah mengupayakan konsumsi ikan karena Indonesia mempunyai potensi perikanan yang sedemikian besar,” kata Putu.
Konsumsi ikan nasional terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia. Konsumsi ikan nasional naik dari 47,34 kg per kapita per tahun pada tahun 2017 menjadi 54,50 kg per kapita per tahun pada tahun 2019 dan pada tahun 2021 konsumsi ikan nasional ditargetkan sebesar 60 kg per kapita per tahun.
“Konsumsi ikan di negara kita perlu terus ditingkatkan. Selain karena kandungan zat gizi mikronya yang bermanfaat bagi masyarakat yang mengkonsumsinya, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi produksi ikan yang sangat banyak,” ungkap Putu.
Putu menambahkan industri pangan olahan masih memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.
“Dari data konsumsi pangan olahan, baru 30 persen sumber daya yang kita olah. Masih ada potensi 70 persen yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja baru,” katanya.
Oleh karena itu Kemenperin mendorong pengembangan industri pengolahan ikan agar lebih produktif dan inovatif.
“Jika kita mampu merevitalisasi dan mengembangkan industri makanan dan minuman, termasuk industri pengolahan pangan, akan membantu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemenuhan gizi masyarakat,” paparnya
Apalagi, unit usaha sektor industri makanan minuman didominasi oleh skala usaha kecil dan mikro.
“Sebanyak 99,54 persen dari total unit usaha sektor industri mamin merupakan skala usaha kecil dan mikro, sisanya merupakan skala menengah-besar,” kata Putu.
“Ikan merupakan komoditas yang kaya akan gizi dan mudah dijumpai di sekitar kita,” kata Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika lewat keterangannya di Jakarta, Kamis.
Stunting merupakan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah dari standar usianya. Kemenperin turut berperan dalam pencegahan stunting melalui upaya peningkatan konsumsi produk hasil pengolahan ikan.
Ikan merupakan salah satu sumber pangan lokal yang dapat dikembangkan karena sehat dan kaya akan kandungan gizi mikro.
Ketika memberikan paparan pada webinar tentang Diversifikasi Olahan Hasil Perikanan dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat di kala Pandemi, Putu menyampaikan bahwa ikan mengandung protein, lemak, minyak ikan, vitamin A, D, B6, B12, mineral, yodium, dan zat besi, sehingga dapat mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro pada masyarakat.
Putu juga melaporkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami beban ganda gizi.
“Beban ganda gizi tersebut adalah kekurangan zat gizi mikro yang menyebabkan stunting yang kemudian menimbulkan kerugian ekonomi negara sebesar 2-3 persen dari PDB per tahun,” jelasnya.
Pemerintah menargetkan prevalensi stunting turun 14 persen pada tahun 2024. Prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2014 berada pada angka 37 persen dan berhasil ditekan hingga mencapai angka 27,6 persen pada 2019.
Putu menjelaskan bahwa pemerintah berupaya menanggulangi permasalahan stunting melalui program suplementasi, upaya perubahan perilaku konsumsi masyarakat agar mengkonsumsi sumber makanan yang beragam dan kaya akan kandungan gizi termasuk zat gizi mikro serta sehat dan aman, serta fortifikasi pangan.
"Solusi yang paling dekat adalah mengupayakan konsumsi ikan karena Indonesia mempunyai potensi perikanan yang sedemikian besar,” kata Putu.
Konsumsi ikan nasional terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia. Konsumsi ikan nasional naik dari 47,34 kg per kapita per tahun pada tahun 2017 menjadi 54,50 kg per kapita per tahun pada tahun 2019 dan pada tahun 2021 konsumsi ikan nasional ditargetkan sebesar 60 kg per kapita per tahun.
“Konsumsi ikan di negara kita perlu terus ditingkatkan. Selain karena kandungan zat gizi mikronya yang bermanfaat bagi masyarakat yang mengkonsumsinya, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi produksi ikan yang sangat banyak,” ungkap Putu.
Putu menambahkan industri pangan olahan masih memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.
“Dari data konsumsi pangan olahan, baru 30 persen sumber daya yang kita olah. Masih ada potensi 70 persen yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja baru,” katanya.
Oleh karena itu Kemenperin mendorong pengembangan industri pengolahan ikan agar lebih produktif dan inovatif.
“Jika kita mampu merevitalisasi dan mengembangkan industri makanan dan minuman, termasuk industri pengolahan pangan, akan membantu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemenuhan gizi masyarakat,” paparnya
Apalagi, unit usaha sektor industri makanan minuman didominasi oleh skala usaha kecil dan mikro.
“Sebanyak 99,54 persen dari total unit usaha sektor industri mamin merupakan skala usaha kecil dan mikro, sisanya merupakan skala menengah-besar,” kata Putu.