Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia akan melakukan program vaksinasi COVID-19 dosis ketiga atau booster untuk masyarakat berusia di atas 18 tahun yang telah mendapatkan vaksin dosis kedua dalam jangka waktu lebih dari enam bulan mulai 12 Januari mendatang.
Terkait jenis vaksin, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin belum memutuskan apakah akan menggunakan jenis vaksin sama atau homolog dengan dua dosis pertama ataukah heterolog yakni jenis vaksin berbeda.
Namun, sebenarnya amankah menggunakan vaksin berbeda sebagai booster? Pakar kesehatan Dr. Emily Edwards dari Department of Immunology and Pathology di Monash University mengiyakan.
“Literatur ilmiah mengatakan aman untuk mencampur dan mencocokkan vaksin,” kata dia seperti dikutip dari SBS News, Kamis.
Baca juga: Pemerintah belum tetapkan tarif vaksin booster
Menurut Edwards, bukti studi menunjukkan tidak ada masalah mendapatkan booster yang berbeda dengan dua dosis utama vaksin awal.
Bahkan, ada saran menggunakan merek booster berbeda bisa memberi Anda kekebalan yang lebih besar. Namun, siapa pun yang memiliki kekhawatiran disarankan mencari nasihat dari pihak medis.
Studi menunjukkan, sebagian besar vaksin aman digunakan sebagai penguat atau booster dan memberi orang lebih banyak kekebalan terhadap virus corona.
Seperti dikutip dari The Washington Post, vaksin mRNA Pfizer yang bermitra dengan BioNTech dan Moderna memberikan dorongan antibodi tertinggi 28 hari setelah dosis ekstra.
Penelitian baru tentang keamanan dan respons kekebalan dalam jurnal Inggris The Lancet memeriksa orang-orang yang awalnya menggunakan dua dosis vaksin Pfizer-BioNTech atau vaksin Oxford-AstraZeneca.
Peserta yang diimunisasi mendapat berbagai booster, termasuk suntikan eksperimental dari perusahaan CureVac yang ditarik setelah hasil kurang efektif, Johnson & Johnson, Moderna, AstraZeneca, Pfizer-BioNTech, serta vaksin Novavax dan Valneva yang sedang ditinjau di Eropa.
Efek samping yang mereka rasakan antara lain kelelahan dan sakit kepala, tetapi reaksi serius tidak umum terjadi pada booster mana pun, kata laporan itu.
Penelitian yang dipimpin para ilmuwan di University of Southampton itu menunjukkan, hampir semua vaksin dalam penelitian mendukung peningkatan level antibodi dan pembentukan sel T.
Namun, kombinasi dosis penguat Valneva pada orang yang pertama kali menerima suntikan Pfizer-BioNTech tidak memenuhi tolok ukur untuk perbedaan penting secara klinis.
Ketujuh booster vaksin tampaknya menawarkan lebih banyak kekebalan setelah dua dosis AstraZeneca, dan enam vaksin efektif setelah dua suntikan Pfizer-BioNTech tanpa masalah keamanan meskipun dengan hasil yang bervariasi.
Dari sisi dosis, penelitian menunjukkan setengah dosis Pfizer-BioNTech dapat memiliki respons yang efektif sebagai booster. Vaksin berbasis mRNA dengan cepat menghasilkan tingkat antibodi yang tinggi.
Baca juga: Vaksin booster di Indonesia mulai 12 Januari hingga berbayar dan gratis
Baca juga: Beri perlindungan dari Omicron, Afsel setujui 'booster' COVID-19 Johnson & Johnson
Baca juga: 'Booster' vaksin Moderna disebut efektif lawan Omicron
Terkait jenis vaksin, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin belum memutuskan apakah akan menggunakan jenis vaksin sama atau homolog dengan dua dosis pertama ataukah heterolog yakni jenis vaksin berbeda.
Namun, sebenarnya amankah menggunakan vaksin berbeda sebagai booster? Pakar kesehatan Dr. Emily Edwards dari Department of Immunology and Pathology di Monash University mengiyakan.
“Literatur ilmiah mengatakan aman untuk mencampur dan mencocokkan vaksin,” kata dia seperti dikutip dari SBS News, Kamis.
Baca juga: Pemerintah belum tetapkan tarif vaksin booster
Menurut Edwards, bukti studi menunjukkan tidak ada masalah mendapatkan booster yang berbeda dengan dua dosis utama vaksin awal.
Bahkan, ada saran menggunakan merek booster berbeda bisa memberi Anda kekebalan yang lebih besar. Namun, siapa pun yang memiliki kekhawatiran disarankan mencari nasihat dari pihak medis.
Studi menunjukkan, sebagian besar vaksin aman digunakan sebagai penguat atau booster dan memberi orang lebih banyak kekebalan terhadap virus corona.
Seperti dikutip dari The Washington Post, vaksin mRNA Pfizer yang bermitra dengan BioNTech dan Moderna memberikan dorongan antibodi tertinggi 28 hari setelah dosis ekstra.
Penelitian baru tentang keamanan dan respons kekebalan dalam jurnal Inggris The Lancet memeriksa orang-orang yang awalnya menggunakan dua dosis vaksin Pfizer-BioNTech atau vaksin Oxford-AstraZeneca.
Peserta yang diimunisasi mendapat berbagai booster, termasuk suntikan eksperimental dari perusahaan CureVac yang ditarik setelah hasil kurang efektif, Johnson & Johnson, Moderna, AstraZeneca, Pfizer-BioNTech, serta vaksin Novavax dan Valneva yang sedang ditinjau di Eropa.
Efek samping yang mereka rasakan antara lain kelelahan dan sakit kepala, tetapi reaksi serius tidak umum terjadi pada booster mana pun, kata laporan itu.
Penelitian yang dipimpin para ilmuwan di University of Southampton itu menunjukkan, hampir semua vaksin dalam penelitian mendukung peningkatan level antibodi dan pembentukan sel T.
Namun, kombinasi dosis penguat Valneva pada orang yang pertama kali menerima suntikan Pfizer-BioNTech tidak memenuhi tolok ukur untuk perbedaan penting secara klinis.
Ketujuh booster vaksin tampaknya menawarkan lebih banyak kekebalan setelah dua dosis AstraZeneca, dan enam vaksin efektif setelah dua suntikan Pfizer-BioNTech tanpa masalah keamanan meskipun dengan hasil yang bervariasi.
Dari sisi dosis, penelitian menunjukkan setengah dosis Pfizer-BioNTech dapat memiliki respons yang efektif sebagai booster. Vaksin berbasis mRNA dengan cepat menghasilkan tingkat antibodi yang tinggi.
Baca juga: Vaksin booster di Indonesia mulai 12 Januari hingga berbayar dan gratis
Baca juga: Beri perlindungan dari Omicron, Afsel setujui 'booster' COVID-19 Johnson & Johnson
Baca juga: 'Booster' vaksin Moderna disebut efektif lawan Omicron