Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Erasmus Napitupulu, meminta kepada lembaga negara yang tergabung dalam Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan agar melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap kasus temuan manusia dikerangkeng di rumah bupati Langkat.
“Investigasi independen harus dilakukan KuPP untuk menangkal narasi yang seolah membenarkan praktik ini dari Kepolisian,” kata dia, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.
Lembaga negara yang tergabung di dalam Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) adalah Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman, dan LPSK.
Selain meminta kepada berbagai lembaga tersebut untuk melakukan pengawasan, ICJR juga meminta kepada Presiden untuk memerintahkan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) untuk melakukan penyidikan lebih lanjut terkait dengan peristiwa ini.
“Presiden juga harus mengevaluasi jajarannya apabila ada yang diduga terlibat untuk mengetahui adanya praktik ini,” ucap dia.
Selain itu, kata dia, presiden juga harus segera memastikan bahwa pihak pembentuk undang-undang merevisi UU Narkotika dengan pendekatan kesehatan untuk menghindarkan adanya stigma atas kriminalisasi pengguna dan pecandu narkotika yang dapat berujung pada praktik penyiksaan, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
“Seolah menggunakan narkotika adalah bentuk kesalahan begitu besar sehingga perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan diperkenankan,” tutur dia.
Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara membenarkan adanya temuan kerangkeng berisi manusia di kediaman Bupati Langkat yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Perkembangan selanjutnya kemudian pihak Polda Sumut justru mengklarifikasi perihal perbudakan, dengan menyatakan bahwa praktik tersebut adalah rehabilitasi pengguna narkotika. Para korban bekerja di perkebunan sawit milik Bupati tersebut, di mana juga dinyatakan keluarga korban menyepakati adanya proses rehabilitasi.
“Bupati tidak memiliki kewenangan untuk melakukan rehabilitasi, baik kepada pengguna narkotika, maupun kepada siapa pun atas dasar kewenangannya. Bupati juga tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan, kewenangan itu hanya dimiliki oleh Ditjen PAS di bawah Kementerian Hukum dan HAM, sehingga korban adalah korban bukan warga binaan,” tutur ia menjelaskan.
Atas praktik ini, ICJR berharap agar keadilan dan pemulihan korban menjadi perhatian. Penyidikan tindak pidana harus selalu dibarengi dengan upaya pemulihan korban.
“Pelaku adalah pejabat dengan kuasa yang sumber daya begitu besar untuk melakukan penyimpangan, terhadap pelaku harus dibebankan pertanggungjawaban untuk pemulihan korban. Sita aset untuk ganti kerugian korban harus diupayakan,” kata dia.
“Investigasi independen harus dilakukan KuPP untuk menangkal narasi yang seolah membenarkan praktik ini dari Kepolisian,” kata dia, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.
Lembaga negara yang tergabung di dalam Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) adalah Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman, dan LPSK.
Selain meminta kepada berbagai lembaga tersebut untuk melakukan pengawasan, ICJR juga meminta kepada Presiden untuk memerintahkan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) untuk melakukan penyidikan lebih lanjut terkait dengan peristiwa ini.
“Presiden juga harus mengevaluasi jajarannya apabila ada yang diduga terlibat untuk mengetahui adanya praktik ini,” ucap dia.
Selain itu, kata dia, presiden juga harus segera memastikan bahwa pihak pembentuk undang-undang merevisi UU Narkotika dengan pendekatan kesehatan untuk menghindarkan adanya stigma atas kriminalisasi pengguna dan pecandu narkotika yang dapat berujung pada praktik penyiksaan, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
“Seolah menggunakan narkotika adalah bentuk kesalahan begitu besar sehingga perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan diperkenankan,” tutur dia.
Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara membenarkan adanya temuan kerangkeng berisi manusia di kediaman Bupati Langkat yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Perkembangan selanjutnya kemudian pihak Polda Sumut justru mengklarifikasi perihal perbudakan, dengan menyatakan bahwa praktik tersebut adalah rehabilitasi pengguna narkotika. Para korban bekerja di perkebunan sawit milik Bupati tersebut, di mana juga dinyatakan keluarga korban menyepakati adanya proses rehabilitasi.
“Bupati tidak memiliki kewenangan untuk melakukan rehabilitasi, baik kepada pengguna narkotika, maupun kepada siapa pun atas dasar kewenangannya. Bupati juga tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan, kewenangan itu hanya dimiliki oleh Ditjen PAS di bawah Kementerian Hukum dan HAM, sehingga korban adalah korban bukan warga binaan,” tutur ia menjelaskan.
Atas praktik ini, ICJR berharap agar keadilan dan pemulihan korban menjadi perhatian. Penyidikan tindak pidana harus selalu dibarengi dengan upaya pemulihan korban.
“Pelaku adalah pejabat dengan kuasa yang sumber daya begitu besar untuk melakukan penyimpangan, terhadap pelaku harus dibebankan pertanggungjawaban untuk pemulihan korban. Sita aset untuk ganti kerugian korban harus diupayakan,” kata dia.