Jakarta (ANTARA) - Uang hak siar dan kontrak sponsor selalu menjadi sumber utama bagi UEFA, terutama dalam berlangsungnya kompetisi sepak bola klub paling bergengsi, Liga Champions.
Mengutip laporan keuangan UEFA 2020-21 misalnya, Liga Champions musim lalu menerima pendapatan hak siar sebesar 2,3 miliar euro (sekira Rp37,2 triliun) dan 401,5 juta euro (sekira Rp6,2 triliun) dari kontrak sponsor.
Berkaca pada angka-angka fantastis itu, rasanya sukar dipercaya bahwa UEFA pernah melarang klub-klub peserta kompetisi Eropa memampangkan logo sponsor di jersey masing-masing sebelum tahun 1982.
Bahkan setahun sebelumnya, bukan hanya logo sponsor di bagian depan jersey yang dilarang tetapi juga aturan unik pelarangan logo sponsor penyedia apparel di jersey itu sendiri.
Hal itu dialami oleh Liverpool saat mereka menghadapi Real Madrid untuk partai final Piala Champions (nama lama Liga Champions saat masih menggunakan format kompetisi piala) 1980-81 di Parc des Princes, Paris, Prancis, pada 27 Mei 1981.
Selain gol semata wayang penentu kemenangan atas Real Madrid yang dicetak Alan Kennedy, tentu saja partai final itu dikenang karena selotip putih yang melekat di dada kanan jersey para pemain Liverpool sepanjang laga.
Sementara publik mungkin hanya menyadari selotip putih itu selama 90 menit pertandingan dan seremoni pengangkatan trofi juara, Kennedy mengenang insiden itu sebagai sesuatu yang merepotkan dan tak masuk akal.
Jadwal pemanasan, ritual pralaga hingga rapat pertandingan yang dipimpin oleh manajer Bob Paisley harus tertunda karena Liverpool terlibat cekcok kecil dengan stasiun-stasiun televisi pemegang hak siar terkait sponsor.
"Sungguh kejam. Beberapa jam sebelum pertandingan kami harus merekatkan selotip putih di jersey satu sama lain. Saya melakukannya untuk jersey Alan Hansen, ia melakukan untuk saya, dan Phil Thompson merekatkannya ke jersey Phil Neal," kenang Kennedy dalam wawancara yang disiarkan BBC pada 2018.
Baca juga: Final Liga Champions: Mewujud tujuh atau menggenap 14
"Itu sesuatu yang tidak masuk akal dan mungkin tidak akan terjadi sekarang, tapi Bob bereaksi dengan baik. Dia bilang itu seharusnya membuat kami lebih bertekad untuk memenangi pertandingan.
"Sikapnya selalu begitu tiap kali ada pihak-pihak yang menaruh permasalahan di hadapan kami, kami beranjak, dan itulah yang kami lakukan," ujar Kennedy panjang lebar.
Kennedy dkk pada akhirnya bukan saja mengatasi masalah konyol harus bermain dengan selotip putih di dada jersey mereka, tetapi juga menaklukkan Real Madrid.
Sebuah lemparan ke dalam yang dilemparkan Ray Kennedy gagal diantisipasi oleh lini belakang Real Madrid, yang terkecoh karena upaya pengendalian bola Alan Kennedy menggunakan dadanya di sisi kanan pertahanan lawan.
Upaya sapuan Rafael Garcia Cortes hanya menemui angin, sementara Kennedy merangsek ke dalam kotak penalti Real Madrid sebelum menaklukkan kiper Agustin dan memecahkan kebuntuan pada menit ke-82.
Liverpool memenangi trofi Piala Champions ketiga mereka, menjadi tim keempat yang bisa mencapai hal itu setelah Real Madrid, Ajax, dan Bayern Muenchen.
Lebih dari itu, Paisley juga menempatkan diri sebagai pelatih pertama yang berhasil menjuarai Piala Champions tiga kali setelah 1977 dan 1978.
Raihan-raihan tersebut tentu akan jauh lebih dikenang dibandingkan kontroversi konyol selotip putih di dada kanan jersey Liverpool. Tetapi selotip putih itu masih menyisakan cerita unik tersendiri dalam perjalanan sepak bola Eropa yang tak ubahnya salah satu kompetisi sepak bola paling komersial.
Muslihat Horst Dassler
Kemesraan antara petinggi organisasi olahraga dan pengusaha bukanlah sebuah rahasia, sebagaimana tahun-tahun terakhir Presiden UEFA Aleksander Ceferin menemukan "sekutu setia" dalam diri pemilik Paris Saint-Germain cum pebisnis yang membesut stasiun televisi bein SPORT, Nasser Al-Khelaifi.
Kemesraan serupa agaknya juga terjadi di belakang layar terkait insiden selotip putih di dada jersey Liverpool pada final Piala Champions 1980-81.
Pemerhati sejarah dan peneliti jersey sepak bola asal Wales Simon Shakeshaft yang banyak menulis buku tentang seragam kesebelasan sepak bola mengatakan bos Adidas Horst Dassler bertanggung jawab atas selotip putih Liverpool itu.
Baca juga: Casillas berharap Real Madrid mampu juarai Liga Champions
Baca juga: Difavoritkan raih Ballon d'Or, Mane lebih fokus juarai Liga Champions
Sebagai catatan, sejak musim 1973-74 Liverpool sudah memiliki kontrak sponsor dengan Umbro, perusahaan peralatan olahraga asal Inggris yang sebelumnya berperan sebagai distributor Adidas di Britania Raya.
Menurut penuturan Shakeshaft dalam tulisan di museumofjerseys.com yang tayang pada 2018, Dassler --putra dari Adi Dassler pendiri Adidas-- berambisi untuk mengambil alih sponsor apparel Liverpool lantaran kesuksesan mereka dan klub-klub Inggris lain di Eropa.
Pada 1978, John Humpherys --putra dari Harold yang mendirikan Umbro bersama saudaranya Wallace-- meninggal dunia dan Dassler semakin gencar mendekati Liverpool, sesuatu yang membuat marah Stuart, adik John.
Final Piala Champions 1980-81 datang tepat waktu bagi Dassler untuk melancarkan muslihatnya terus mendekati Liverpool.
Entah bagaimana ceritanya, Shakeshaft berkisah bahwa Dassler sukses membujuk Presiden UEFA kala itu Artemio Franchi untuk melarang penampilan iklan logo apparel di final Piala Champions 1980-81.
Muslihat tersebut tentu bukan tanpa keuntungan bagi Adidas, yang saat itu adalah sponsor apparel Real Madrid di mana logo trefoil (tiga daun) khas perusahaan Jerman itu juga ditutupi di dada kanan jersey Los Blancos.
Namun, langkah itu jelas tidak merugikan Adidas sebesar yang dirasakan Umbro yang logonya sama sekali hilang dari jersey Liverpool.
Sebab, aksen tiga garis --yang seisi dunia pun tahu sebagai pertanda khas Adidas-- masih terpampang di lengan jersey, samping celana, hingga bagian atas kaus kaki yang dikenakan para pemain Real Madrid.
Lebih dari itu, Adidas juga punya tempat unjuk kehadiran lain karena seluruh skuad Liverpool kecuali dua pemain mengenakan sepatu produksi mereka sebagai kesepakatan sponsor antara kedua pihak.
Liverpool, klub yang disponsori Umbro, jelas keluar sebagai pemenang pertandingan, tapi dalam perang bisnis Adidas menang jauh lebih banyak.
Shakeshaft menuturkan perang bisnis Umbro-Adidas berlanjut hingga Dassler juga tak henti-hentinya merayu para petinggi Anfield sampai sukses menelurkan kesepakatan Liverpool harus menggunakan bola produksi Adidas untuk pertandingan kandang sejak 1982.
Tak berhenti sampai di situ, Dassler juga akhirnya sukses menggaet Liverpool untuk kontrak apparel mulai musim 1985-86 yang di dalamnya mencakup kesepakatan bahwa mereka juga harus mulai menggunakan jersey baru untuk final Piala Champions 1984-85.
Liverpool menghadapi Juventus mengenakan jersey Adidas dalam final Piala Champions 1984-85 itu yang kemudian dikenang menjadi lokasi terjadinya Tragedi Heysel.
Adidas membayar kompensasi kepada Umbro untuk pelanggaran kontrak terkait final Piala Champions 1984-85 tersebut, tetapi mereka akan menguasai kontrak apparel Liverpool setidaknya hingga 1996 dan berlanjut lagi pada 2006-2012.
Mengutip laporan keuangan UEFA 2020-21 misalnya, Liga Champions musim lalu menerima pendapatan hak siar sebesar 2,3 miliar euro (sekira Rp37,2 triliun) dan 401,5 juta euro (sekira Rp6,2 triliun) dari kontrak sponsor.
Berkaca pada angka-angka fantastis itu, rasanya sukar dipercaya bahwa UEFA pernah melarang klub-klub peserta kompetisi Eropa memampangkan logo sponsor di jersey masing-masing sebelum tahun 1982.
Bahkan setahun sebelumnya, bukan hanya logo sponsor di bagian depan jersey yang dilarang tetapi juga aturan unik pelarangan logo sponsor penyedia apparel di jersey itu sendiri.
Hal itu dialami oleh Liverpool saat mereka menghadapi Real Madrid untuk partai final Piala Champions (nama lama Liga Champions saat masih menggunakan format kompetisi piala) 1980-81 di Parc des Princes, Paris, Prancis, pada 27 Mei 1981.
Selain gol semata wayang penentu kemenangan atas Real Madrid yang dicetak Alan Kennedy, tentu saja partai final itu dikenang karena selotip putih yang melekat di dada kanan jersey para pemain Liverpool sepanjang laga.
Sementara publik mungkin hanya menyadari selotip putih itu selama 90 menit pertandingan dan seremoni pengangkatan trofi juara, Kennedy mengenang insiden itu sebagai sesuatu yang merepotkan dan tak masuk akal.
Jadwal pemanasan, ritual pralaga hingga rapat pertandingan yang dipimpin oleh manajer Bob Paisley harus tertunda karena Liverpool terlibat cekcok kecil dengan stasiun-stasiun televisi pemegang hak siar terkait sponsor.
"Sungguh kejam. Beberapa jam sebelum pertandingan kami harus merekatkan selotip putih di jersey satu sama lain. Saya melakukannya untuk jersey Alan Hansen, ia melakukan untuk saya, dan Phil Thompson merekatkannya ke jersey Phil Neal," kenang Kennedy dalam wawancara yang disiarkan BBC pada 2018.
Baca juga: Final Liga Champions: Mewujud tujuh atau menggenap 14
"Itu sesuatu yang tidak masuk akal dan mungkin tidak akan terjadi sekarang, tapi Bob bereaksi dengan baik. Dia bilang itu seharusnya membuat kami lebih bertekad untuk memenangi pertandingan.
"Sikapnya selalu begitu tiap kali ada pihak-pihak yang menaruh permasalahan di hadapan kami, kami beranjak, dan itulah yang kami lakukan," ujar Kennedy panjang lebar.
Kennedy dkk pada akhirnya bukan saja mengatasi masalah konyol harus bermain dengan selotip putih di dada jersey mereka, tetapi juga menaklukkan Real Madrid.
Sebuah lemparan ke dalam yang dilemparkan Ray Kennedy gagal diantisipasi oleh lini belakang Real Madrid, yang terkecoh karena upaya pengendalian bola Alan Kennedy menggunakan dadanya di sisi kanan pertahanan lawan.
Upaya sapuan Rafael Garcia Cortes hanya menemui angin, sementara Kennedy merangsek ke dalam kotak penalti Real Madrid sebelum menaklukkan kiper Agustin dan memecahkan kebuntuan pada menit ke-82.
Liverpool memenangi trofi Piala Champions ketiga mereka, menjadi tim keempat yang bisa mencapai hal itu setelah Real Madrid, Ajax, dan Bayern Muenchen.
Lebih dari itu, Paisley juga menempatkan diri sebagai pelatih pertama yang berhasil menjuarai Piala Champions tiga kali setelah 1977 dan 1978.
Raihan-raihan tersebut tentu akan jauh lebih dikenang dibandingkan kontroversi konyol selotip putih di dada kanan jersey Liverpool. Tetapi selotip putih itu masih menyisakan cerita unik tersendiri dalam perjalanan sepak bola Eropa yang tak ubahnya salah satu kompetisi sepak bola paling komersial.
Muslihat Horst Dassler
Kemesraan antara petinggi organisasi olahraga dan pengusaha bukanlah sebuah rahasia, sebagaimana tahun-tahun terakhir Presiden UEFA Aleksander Ceferin menemukan "sekutu setia" dalam diri pemilik Paris Saint-Germain cum pebisnis yang membesut stasiun televisi bein SPORT, Nasser Al-Khelaifi.
Kemesraan serupa agaknya juga terjadi di belakang layar terkait insiden selotip putih di dada jersey Liverpool pada final Piala Champions 1980-81.
Pemerhati sejarah dan peneliti jersey sepak bola asal Wales Simon Shakeshaft yang banyak menulis buku tentang seragam kesebelasan sepak bola mengatakan bos Adidas Horst Dassler bertanggung jawab atas selotip putih Liverpool itu.
Baca juga: Casillas berharap Real Madrid mampu juarai Liga Champions
Baca juga: Difavoritkan raih Ballon d'Or, Mane lebih fokus juarai Liga Champions
Sebagai catatan, sejak musim 1973-74 Liverpool sudah memiliki kontrak sponsor dengan Umbro, perusahaan peralatan olahraga asal Inggris yang sebelumnya berperan sebagai distributor Adidas di Britania Raya.
Menurut penuturan Shakeshaft dalam tulisan di museumofjerseys.com yang tayang pada 2018, Dassler --putra dari Adi Dassler pendiri Adidas-- berambisi untuk mengambil alih sponsor apparel Liverpool lantaran kesuksesan mereka dan klub-klub Inggris lain di Eropa.
Pada 1978, John Humpherys --putra dari Harold yang mendirikan Umbro bersama saudaranya Wallace-- meninggal dunia dan Dassler semakin gencar mendekati Liverpool, sesuatu yang membuat marah Stuart, adik John.
Final Piala Champions 1980-81 datang tepat waktu bagi Dassler untuk melancarkan muslihatnya terus mendekati Liverpool.
Entah bagaimana ceritanya, Shakeshaft berkisah bahwa Dassler sukses membujuk Presiden UEFA kala itu Artemio Franchi untuk melarang penampilan iklan logo apparel di final Piala Champions 1980-81.
Muslihat tersebut tentu bukan tanpa keuntungan bagi Adidas, yang saat itu adalah sponsor apparel Real Madrid di mana logo trefoil (tiga daun) khas perusahaan Jerman itu juga ditutupi di dada kanan jersey Los Blancos.
Namun, langkah itu jelas tidak merugikan Adidas sebesar yang dirasakan Umbro yang logonya sama sekali hilang dari jersey Liverpool.
Sebab, aksen tiga garis --yang seisi dunia pun tahu sebagai pertanda khas Adidas-- masih terpampang di lengan jersey, samping celana, hingga bagian atas kaus kaki yang dikenakan para pemain Real Madrid.
Lebih dari itu, Adidas juga punya tempat unjuk kehadiran lain karena seluruh skuad Liverpool kecuali dua pemain mengenakan sepatu produksi mereka sebagai kesepakatan sponsor antara kedua pihak.
Liverpool, klub yang disponsori Umbro, jelas keluar sebagai pemenang pertandingan, tapi dalam perang bisnis Adidas menang jauh lebih banyak.
Shakeshaft menuturkan perang bisnis Umbro-Adidas berlanjut hingga Dassler juga tak henti-hentinya merayu para petinggi Anfield sampai sukses menelurkan kesepakatan Liverpool harus menggunakan bola produksi Adidas untuk pertandingan kandang sejak 1982.
Tak berhenti sampai di situ, Dassler juga akhirnya sukses menggaet Liverpool untuk kontrak apparel mulai musim 1985-86 yang di dalamnya mencakup kesepakatan bahwa mereka juga harus mulai menggunakan jersey baru untuk final Piala Champions 1984-85.
Liverpool menghadapi Juventus mengenakan jersey Adidas dalam final Piala Champions 1984-85 itu yang kemudian dikenang menjadi lokasi terjadinya Tragedi Heysel.
Adidas membayar kompensasi kepada Umbro untuk pelanggaran kontrak terkait final Piala Champions 1984-85 tersebut, tetapi mereka akan menguasai kontrak apparel Liverpool setidaknya hingga 1996 dan berlanjut lagi pada 2006-2012.