Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus mempertanyakan alasan Menko Marves Luhut Pandjaitan tentang anjloknya harga tandan buah segar (TBS) sawit dan CPO karena Ukraina.
"Kalau Pak Luhut bilang itu karena Ukraina buka keran ekspor bunga matahari dan memangkas pajak ekspor, itu namanya buang badan dan tidak bertanggung jawab," kata Deddy dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.
Politikus PDI Perjuangan ini berpendapat bahwa anjloknya harga TBS sawit petani itu adalah akibat kerusakan rantai pasok terkait dengan moratorium ekspor, mekanisme perizinan ekspor (PE) yang memakan waktu, kebijakan distribusi minyak goreng yang kacau, tingginya beban pungutan ekspor, dan flushing out.
"Kekacauan itulah yang menyebabkan harga TBS petani hancur di bawah kewajaran," kata Deddy.
Ia lantas menegaskan, "Jadi, jangan cari kambing hitam soal Ukraina sebab harga keekonomian TBS dan CPO itu ambruk karena kapasitas tangki yang overload sehingga tidak mampu menampung TBS dan siklus CPO-nya tidak bisa berjalan normal."
Deddy menjelaskan bahwa pengelolaan CPO dan minyak goreng saat ini gagal total. Ekspor tertahan dan merugikan negara, perusahaan sedang dirugikan karena kualitas CPO menurun dan petani kecil menjerit karena harga yang terjun bebas.
Bahkan, pada saat demand global menurun nyaris 30 persen harga TBS dan CPO tetap rontok di bawah harga keekonomian.
"Kenapa? Karena rantai pasok komoditas tersebut tersendat," ujarnya.
Kondisi inilah yang kemudian mendorong pasar global mencari jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan mereka akan minyak nabati. Itu mulai mengalirnya minyak nabati selain sawit di dunia, salah satunya minyak bunga matahari dari Ukraina.
"Jadi, masalahnya ada pada pengelolaan industri sawit di Indonesia yang carut-marut, bukan semata-mata karena pengaruh global," tutur anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Kalimantan Utara ini.
Oleh karena itu, menurut Deddy, jalan keluarnya adalah memperbaiki mata rantai produk sawit, yakni jaminan pasokan dalam negeri terjaga, baik volume maupun harganya.
"Sudah saatnya kebijakan DMO dan DPO dievaluasi, pungutan yang berlebihan dikurangi, distribusi dan cadangan nasional dikendalikan dengan baik," ucap Deddy.
"Kalau Pak Luhut bilang itu karena Ukraina buka keran ekspor bunga matahari dan memangkas pajak ekspor, itu namanya buang badan dan tidak bertanggung jawab," kata Deddy dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.
Politikus PDI Perjuangan ini berpendapat bahwa anjloknya harga TBS sawit petani itu adalah akibat kerusakan rantai pasok terkait dengan moratorium ekspor, mekanisme perizinan ekspor (PE) yang memakan waktu, kebijakan distribusi minyak goreng yang kacau, tingginya beban pungutan ekspor, dan flushing out.
"Kekacauan itulah yang menyebabkan harga TBS petani hancur di bawah kewajaran," kata Deddy.
Ia lantas menegaskan, "Jadi, jangan cari kambing hitam soal Ukraina sebab harga keekonomian TBS dan CPO itu ambruk karena kapasitas tangki yang overload sehingga tidak mampu menampung TBS dan siklus CPO-nya tidak bisa berjalan normal."
Deddy menjelaskan bahwa pengelolaan CPO dan minyak goreng saat ini gagal total. Ekspor tertahan dan merugikan negara, perusahaan sedang dirugikan karena kualitas CPO menurun dan petani kecil menjerit karena harga yang terjun bebas.
Bahkan, pada saat demand global menurun nyaris 30 persen harga TBS dan CPO tetap rontok di bawah harga keekonomian.
"Kenapa? Karena rantai pasok komoditas tersebut tersendat," ujarnya.
Kondisi inilah yang kemudian mendorong pasar global mencari jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan mereka akan minyak nabati. Itu mulai mengalirnya minyak nabati selain sawit di dunia, salah satunya minyak bunga matahari dari Ukraina.
"Jadi, masalahnya ada pada pengelolaan industri sawit di Indonesia yang carut-marut, bukan semata-mata karena pengaruh global," tutur anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Kalimantan Utara ini.
Oleh karena itu, menurut Deddy, jalan keluarnya adalah memperbaiki mata rantai produk sawit, yakni jaminan pasokan dalam negeri terjaga, baik volume maupun harganya.
"Sudah saatnya kebijakan DMO dan DPO dievaluasi, pungutan yang berlebihan dikurangi, distribusi dan cadangan nasional dikendalikan dengan baik," ucap Deddy.