Palangka Raya (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah (Kejati Kalteng) menggelar webinar dengan tema Restorative Justice, Menyerap Kearifan Lokal Penyelesaian Konflik di Kalimantan Tengah dalam rangka memperingati Hari Besar Adhyaksa ke 62 yang jatuh pada 22 Juli 2022.
"Webinar dilaksanakan bertujuan untuk mewujudkan keadilan substansial serta penegakan hukum yang arif bijaksana," kata Kepala Kejati Kalteng Iman Wijaya saat membuka kegiatan webinar tersebut di Palangka Raya, Rabu.
Menurutnya agar tujuan tersebut tercapai maka perlu evaluasi, masukan dan aspirasi sesuai kearifan lokal yang tumbuh dalam masyarakat di Kalimantan Tengah.
Dia menyebutkan webinar yang dilaksanakan merupakan bentuk sosialisasi atas penegakan hukum berkeadilan yang telah dilaksanakan oleh kejaksaan sejak Juli 2020. Hal itu sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian penuntutan perkara pidana melalui Restorative Justice.
Restorative justice dimaksudkan sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.
"Untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Semoga bermanfaat untuk penegakan hukum yang lebih berkeadilan di masa mendatang," harapnya.
Ketua panitia webinar sekaligus moderator Erianto N mengatakan narasumber acara itu merupakan orang-orang yang sangat berkompeten dalam adat Dayak, adat Banjar serta dari internal kejaksaan.
Peserta terdiri dari perwakilan dosen dan mahasiswa perguruan tinggi, ormas, organisasi keagamaan, organisasi mahasiswa dan pemuda, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemerintah daerah, legislatif, Kemenkumham yang membawahi lapas dan rutan dan perwakilan kantor pengacara se-Kalteng serta masyarakat luas.
"Webinar ini sangat strategis dan penting oleh karenanya pihak panitia mengundang nara sumber yang berkompeten dan dikenal pakar di bidangnya masing-masing," ujar pria yang sehari-harinya menjabat Koordinator Bidang Datun Kejati Kalteng.
Salah seorang nara sumber yakni Kumpiady Widen, tokoh adat Dayak Kalteng ini memaparkan tentang falsafah Huma Betang. Menurutnya, falsafah itu merupakan simbol kesatuan dan persaudaraan orang Dayak dalam penyelesaian sengketa ada peran utama dari Wali Asbah di tingkat keluarga, Mantir Adat tingkat desa serta Damang tingkat kecamatan yang dilakukan secara berjenjang.
Baca juga: Disdik Palangka Raya tingkatkan literasi akademik siswa melalui KIPERS
Penyelesaian sengketa menekankan cara mufakat menemukan "win win solution" bukan menghukum dan bila telah tercapai kesepakatan dilakukan upacara adat sebagai wujud rekonsiliasi.
"Oleh karena itu perlu untuk mengkaji peran tokoh adat dan lembaga adat dayak dalam mengoptimalkan penegakan hukum," ucap Guru Besar yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya.
Sementara itu Guru Besar Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya Ibnu Elmi A.S. Pelu mengulas istilah “Adat Badamai” yang adalah adat suku Banjar yang telah ada dan dikenal.
Adat ini tertuang dalam Undang undang Sultan Adam yang sudah ada sejak tahun 1835 sebagai bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Tatuha Kampung sampai kecamatan secara berjenjang.
Adat badamai berkembang dengan baik pada masa Syeikh Muhammad Arsyad di Keraton Martapura yang merujuk pada internalisasi ajaran Islam dalam kitab kuning berupa “Muwafakah” atau sepakat.
"Penyelesaian Badamai lebih mengedepankan aspek moral sebagai win-win solution secara musyawarah. Hasil akhirnya berujung pada membangun persaudaraan dan kemudian disempurnakan dengan syukuran selamatan. Karena itu kunci penegakan hukum di Kalteng adalah kenali tokoh adat dan budaya," tuturnya.
Sementara itu Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Kalteng Riki Sapta Tarigan menguraikan konsep dan standar prosedur pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice yang sudah dilakukan oleh kejaksaan sejak juli 2020.
Dikatakannya dalam pelaksanaannya Restorative Justice memiliki kriteria yang jelas. Hal itu dimaksudkan agar semua langkah penghentian penuntutan perkara menjadi terukur dan transparan. Inti tujuan adalah bagaimana terwujud pengembalian kondisi semua antara pelaku dan korban serta masyarakat.
"Restorative Justice merupakan wujud dari asas oportunitas yang dimiliki oleh penuntut umum sesuai KUHAP," demikian Riki Sapta Tarigan.
Baca juga: Damkar Palangka Raya-RS Siloam bersinergi tingkatkan kewaspadaan potensi kebakaran
Baca juga: Polresta Palangka Raya ajak masyarakat perangi pungli
"Webinar dilaksanakan bertujuan untuk mewujudkan keadilan substansial serta penegakan hukum yang arif bijaksana," kata Kepala Kejati Kalteng Iman Wijaya saat membuka kegiatan webinar tersebut di Palangka Raya, Rabu.
Menurutnya agar tujuan tersebut tercapai maka perlu evaluasi, masukan dan aspirasi sesuai kearifan lokal yang tumbuh dalam masyarakat di Kalimantan Tengah.
Dia menyebutkan webinar yang dilaksanakan merupakan bentuk sosialisasi atas penegakan hukum berkeadilan yang telah dilaksanakan oleh kejaksaan sejak Juli 2020. Hal itu sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian penuntutan perkara pidana melalui Restorative Justice.
Restorative justice dimaksudkan sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.
"Untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Semoga bermanfaat untuk penegakan hukum yang lebih berkeadilan di masa mendatang," harapnya.
Ketua panitia webinar sekaligus moderator Erianto N mengatakan narasumber acara itu merupakan orang-orang yang sangat berkompeten dalam adat Dayak, adat Banjar serta dari internal kejaksaan.
Peserta terdiri dari perwakilan dosen dan mahasiswa perguruan tinggi, ormas, organisasi keagamaan, organisasi mahasiswa dan pemuda, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemerintah daerah, legislatif, Kemenkumham yang membawahi lapas dan rutan dan perwakilan kantor pengacara se-Kalteng serta masyarakat luas.
"Webinar ini sangat strategis dan penting oleh karenanya pihak panitia mengundang nara sumber yang berkompeten dan dikenal pakar di bidangnya masing-masing," ujar pria yang sehari-harinya menjabat Koordinator Bidang Datun Kejati Kalteng.
Salah seorang nara sumber yakni Kumpiady Widen, tokoh adat Dayak Kalteng ini memaparkan tentang falsafah Huma Betang. Menurutnya, falsafah itu merupakan simbol kesatuan dan persaudaraan orang Dayak dalam penyelesaian sengketa ada peran utama dari Wali Asbah di tingkat keluarga, Mantir Adat tingkat desa serta Damang tingkat kecamatan yang dilakukan secara berjenjang.
Baca juga: Disdik Palangka Raya tingkatkan literasi akademik siswa melalui KIPERS
Penyelesaian sengketa menekankan cara mufakat menemukan "win win solution" bukan menghukum dan bila telah tercapai kesepakatan dilakukan upacara adat sebagai wujud rekonsiliasi.
"Oleh karena itu perlu untuk mengkaji peran tokoh adat dan lembaga adat dayak dalam mengoptimalkan penegakan hukum," ucap Guru Besar yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya.
Sementara itu Guru Besar Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya Ibnu Elmi A.S. Pelu mengulas istilah “Adat Badamai” yang adalah adat suku Banjar yang telah ada dan dikenal.
Adat ini tertuang dalam Undang undang Sultan Adam yang sudah ada sejak tahun 1835 sebagai bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Tatuha Kampung sampai kecamatan secara berjenjang.
Adat badamai berkembang dengan baik pada masa Syeikh Muhammad Arsyad di Keraton Martapura yang merujuk pada internalisasi ajaran Islam dalam kitab kuning berupa “Muwafakah” atau sepakat.
"Penyelesaian Badamai lebih mengedepankan aspek moral sebagai win-win solution secara musyawarah. Hasil akhirnya berujung pada membangun persaudaraan dan kemudian disempurnakan dengan syukuran selamatan. Karena itu kunci penegakan hukum di Kalteng adalah kenali tokoh adat dan budaya," tuturnya.
Sementara itu Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Kalteng Riki Sapta Tarigan menguraikan konsep dan standar prosedur pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice yang sudah dilakukan oleh kejaksaan sejak juli 2020.
Dikatakannya dalam pelaksanaannya Restorative Justice memiliki kriteria yang jelas. Hal itu dimaksudkan agar semua langkah penghentian penuntutan perkara menjadi terukur dan transparan. Inti tujuan adalah bagaimana terwujud pengembalian kondisi semua antara pelaku dan korban serta masyarakat.
"Restorative Justice merupakan wujud dari asas oportunitas yang dimiliki oleh penuntut umum sesuai KUHAP," demikian Riki Sapta Tarigan.
Baca juga: Damkar Palangka Raya-RS Siloam bersinergi tingkatkan kewaspadaan potensi kebakaran
Baca juga: Polresta Palangka Raya ajak masyarakat perangi pungli