Jakarta (ANTARA) - Mantan perdana menteri Jepang Shinzo Abe meninggal pada usia 67 tahun akibat ditembak seorang pria pada 8 Juli 2022.
Tetsuya Yamagami, pengangguran berusia 41 tahun, diidentifikasi oleh polisi sebagai tersangka yang mendekati dan melepaskan tembakan terhadap Abe selama pidato kampanye di Nara saat itu.
Di media sosial, pembunuhan perdana menteri terlama di Jepang ini diisukan berhubungan dengan kebijakan vaksin COVID-19.
Dalam sebuah unggahan pengguna Twitter pada 10 Juli 2022, Abe dinarasikan melanggar perintah World Economic Forum (WEF), yakni mengabaikan amanat soal vaksin COVID-19 dan lebih memilih menggunakan ivermectin.
Berikut isi narasi di Twitter yang diubah dalam Bahasa Indonesia:
"P.M. Jepang yang terbunuh tidak mengikuti perintah WEF. Tidak mengamanatkan vaksin, mengirim 1,6 juta dosis kembali dan memberi warga ivermectin. Masuk akal sekarang?".
Namun, benarkah penembakan Abe terjadi karena menolak perintah soal vaksin COVID-19?
Penjelasan:
ANTARA, dalam laporan pada 10 Juli 2022, mengabarkan bahwa motif penembakan Abe didasari oleh rasa dendam.
Tetsuya Yamagami, penembak Abe, meyakini politikus Jepang itu mendukung sebuah kelompok keagamaan yang diberi sumbangan oleh ibunya dalam jumlah sangat besar.
Tetsuya Yamagami pun beralasan bahwa ibunya menjadi bangkrut akibat menyumbang kepada kelompok itu.
Selain itu, penggunaan Ivermectin sebagai pengganti vaksin COVID-19 di Jepang merupakan hoaks yang sudah beredar sejak 2021.
Dalam catatan ANTARA pada November 2021, Jepang menggunakan vaksin dan terapi dalam mengatasi laju perkembangan COVID-19.
Vaksin yang digunakan mencakup Moderna, Pfizer/BioNTech dan Oxford/AstraZeneca. Adapula obat-obat terapi untuk penderita COVID-19 seperti remdesivir, baricitinib, casilibimab, dan sotrovimab.
Justru tidak terdapat ivermectin dalam daftar obat untuk terapi COVID-19 dalam situs PMDA Jepang.
Penjelasan tersebut sekaligus mematahkan narasi yang beredar di Twitter.
Klaim: Shinzo Abe dibunuh karena menolak perintah terkait vaksin COVID-19
Rating: Hoaks
Tetsuya Yamagami, pengangguran berusia 41 tahun, diidentifikasi oleh polisi sebagai tersangka yang mendekati dan melepaskan tembakan terhadap Abe selama pidato kampanye di Nara saat itu.
Di media sosial, pembunuhan perdana menteri terlama di Jepang ini diisukan berhubungan dengan kebijakan vaksin COVID-19.
Dalam sebuah unggahan pengguna Twitter pada 10 Juli 2022, Abe dinarasikan melanggar perintah World Economic Forum (WEF), yakni mengabaikan amanat soal vaksin COVID-19 dan lebih memilih menggunakan ivermectin.
Berikut isi narasi di Twitter yang diubah dalam Bahasa Indonesia:
"P.M. Jepang yang terbunuh tidak mengikuti perintah WEF. Tidak mengamanatkan vaksin, mengirim 1,6 juta dosis kembali dan memberi warga ivermectin. Masuk akal sekarang?".
Namun, benarkah penembakan Abe terjadi karena menolak perintah soal vaksin COVID-19?
Penjelasan:
ANTARA, dalam laporan pada 10 Juli 2022, mengabarkan bahwa motif penembakan Abe didasari oleh rasa dendam.
Tetsuya Yamagami, penembak Abe, meyakini politikus Jepang itu mendukung sebuah kelompok keagamaan yang diberi sumbangan oleh ibunya dalam jumlah sangat besar.
Tetsuya Yamagami pun beralasan bahwa ibunya menjadi bangkrut akibat menyumbang kepada kelompok itu.
Selain itu, penggunaan Ivermectin sebagai pengganti vaksin COVID-19 di Jepang merupakan hoaks yang sudah beredar sejak 2021.
Dalam catatan ANTARA pada November 2021, Jepang menggunakan vaksin dan terapi dalam mengatasi laju perkembangan COVID-19.
Vaksin yang digunakan mencakup Moderna, Pfizer/BioNTech dan Oxford/AstraZeneca. Adapula obat-obat terapi untuk penderita COVID-19 seperti remdesivir, baricitinib, casilibimab, dan sotrovimab.
Justru tidak terdapat ivermectin dalam daftar obat untuk terapi COVID-19 dalam situs PMDA Jepang.
Penjelasan tersebut sekaligus mematahkan narasi yang beredar di Twitter.
Klaim: Shinzo Abe dibunuh karena menolak perintah terkait vaksin COVID-19
Rating: Hoaks