Banjarmasin (ANTARA) - Ketua Majelis Hakim Yusriansyah yang memimpin persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmasin, Kalimantan Selatan memvonis terdakwa Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) nonaktif Abdul Wahid dengan hukuman pidana penjara delapan tahun karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
"Terdakwa juga didenda Rp500 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayarkan maka dipidana tambahan 6 bulan," kata Yusriansyah di Banjarmasin, Senin.
Usai membacakan putusan, hakim menyebut memberikan waktu selama tujuh hari bagi terdakwa maupun jaksa penuntut umum (JPU) untuk bersikap.
Atas vonis tersebut, Tim JPU KPK Titto Jaelani menyatakan pikir-pikir dan melaporkan terlebih dahulu kepada pimpinan KPK.
Senada juga disampaikan penasihat hukum terdakwa, Fadli Nasution yang akan berkonsultasi terlebih dahulu kepada kliennya Abdul Wahid.
Putusan majelis hakim terbilang jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan JPU yang dibacakan pada sidang sebelumnya. Bahkan uang pengganti yang dituntut jaksa tidak disertakan hakim dalam vonisnya.
Dalam tuntutannya, JPU KPK menuntut Abdul Wahid pidana penjara selama sembilan tahun. Terdakwa juga dituntut denda sebesar Rp500 juta subsider 1 tahun kurungan.
Kemudian Abdul Wahid juga dituntut membayar uang pengganti Rp26 miliar lebih. Uang pengganti tersebut diperhitungkan dari total gratifikasi yang menurut JPU telah diterima terdakwa sejak tahun 2015 baik berupa "fee" proyek maupun jual beli jabatan di lingkup Pemkab Hulu Sungai Utara (HSU), yakni lebih dari Rp31 miliar.
Jumlah itu lalu dikurangkan dengan aset likuid yang telah disita penyidik dan dirampas untuk negara termasuk uang tunai baik berupa rupiah, Dolar Amerika maupun Dolar Singapura yang nilainya setara kurang lebih Rp5,1 miliar.
Jika setelah 1 bulan putusan inkrah dan terdakwa tak dapat membayar uang pengganti, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti. Namun jika tak mencukupi, maka terdakwa dipidana selama 6 tahun.
"Terdakwa juga didenda Rp500 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayarkan maka dipidana tambahan 6 bulan," kata Yusriansyah di Banjarmasin, Senin.
Usai membacakan putusan, hakim menyebut memberikan waktu selama tujuh hari bagi terdakwa maupun jaksa penuntut umum (JPU) untuk bersikap.
Atas vonis tersebut, Tim JPU KPK Titto Jaelani menyatakan pikir-pikir dan melaporkan terlebih dahulu kepada pimpinan KPK.
Senada juga disampaikan penasihat hukum terdakwa, Fadli Nasution yang akan berkonsultasi terlebih dahulu kepada kliennya Abdul Wahid.
Putusan majelis hakim terbilang jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan JPU yang dibacakan pada sidang sebelumnya. Bahkan uang pengganti yang dituntut jaksa tidak disertakan hakim dalam vonisnya.
Dalam tuntutannya, JPU KPK menuntut Abdul Wahid pidana penjara selama sembilan tahun. Terdakwa juga dituntut denda sebesar Rp500 juta subsider 1 tahun kurungan.
Kemudian Abdul Wahid juga dituntut membayar uang pengganti Rp26 miliar lebih. Uang pengganti tersebut diperhitungkan dari total gratifikasi yang menurut JPU telah diterima terdakwa sejak tahun 2015 baik berupa "fee" proyek maupun jual beli jabatan di lingkup Pemkab Hulu Sungai Utara (HSU), yakni lebih dari Rp31 miliar.
Jumlah itu lalu dikurangkan dengan aset likuid yang telah disita penyidik dan dirampas untuk negara termasuk uang tunai baik berupa rupiah, Dolar Amerika maupun Dolar Singapura yang nilainya setara kurang lebih Rp5,1 miliar.
Jika setelah 1 bulan putusan inkrah dan terdakwa tak dapat membayar uang pengganti, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti. Namun jika tak mencukupi, maka terdakwa dipidana selama 6 tahun.