Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak mengatakan wacana keadilan restoratif atau restorative justice bagi pemberantasan tindak pidana korupsi, yang sempat disampaikannya saat uji kepatutan dan kelayakan di DPR RI, hanya merupakan opini.
"Itu kan cuma opini, bukan aturan," kata Johanis kepada wartawan usai pelantikan dirinya sebagai Wakil Ketua KPK oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat.
Dia menekankan pandangan itu bisa saja dilontarkan, namun realisasinya tetap akan mengacu atau menyesuaikan pada aturan yang berlaku.
Baca juga: Jokowi lantik Johanis Tanak sebagai Wakil Ketua KPK
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan prinsip keadilan restoratif adalah pimpinan KPK harus memegang teguh pada tujuan penegakan hukum.
"Tujuan penegakan hukum itu antara lain pertama, kita harus memberikan kepastian hukum itu sendiri; yang kedua, kita harus mewujudkan keadilan; dan ketiga adalah menimbulkan kemanfaatan," jelas Firli.
Dia menekankan tiga prinsip dasar itu harus dipegang dalam upaya penegakan hukum. Apabila terdapat hal atau pendapat lain, menurutnya, maka itu bisa dibahas bersama.
"Tetapi, tetap saja kami berpedoman kepada asas bahwa tidak ada sesuatu yang bisa kami laksanakan kecuali karena ketentuan prosedur mekanisme dan syarat yang diatur peraturan perundang-undangan," tegasnya.
Baca juga: Johanis Tanak ditunjuk sebagai pimpinan KPK gantikan Lili Pintauli
Sebelumnya, saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan di DPR RI, Johanis Tanak menyatakan pemikirannya untuk memberlakukan keadilan restoratif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Karena menurut pemikiran saya, RJ (restorative justice) tidak hanya dapat dilakukan dalam perkara tindak pidana umum, termasuk juga dalam perkara tindak pidana khusus, itu dalam hal ini korupsi," kata Johanis.
Menurut Johanis, keadilan restoratif bisa diberlakukan meskipun dalam Pasal 4 pada undang-undang tindak pidana korupsi menyatakan apabila ditemukan adanya kerugian keuangan negara, maka tidak menghapus proses tindak pidana korupsi.
"Namun, hal itu sangat dimungkinkan berdasarkan teori ilmu hukum yang ada, bahwa peraturan yang ada sebelumnya dikesampingkan oleh peraturan yang ada setelah itu," ujar Johanis.
"Itu kan cuma opini, bukan aturan," kata Johanis kepada wartawan usai pelantikan dirinya sebagai Wakil Ketua KPK oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat.
Dia menekankan pandangan itu bisa saja dilontarkan, namun realisasinya tetap akan mengacu atau menyesuaikan pada aturan yang berlaku.
Baca juga: Jokowi lantik Johanis Tanak sebagai Wakil Ketua KPK
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan prinsip keadilan restoratif adalah pimpinan KPK harus memegang teguh pada tujuan penegakan hukum.
"Tujuan penegakan hukum itu antara lain pertama, kita harus memberikan kepastian hukum itu sendiri; yang kedua, kita harus mewujudkan keadilan; dan ketiga adalah menimbulkan kemanfaatan," jelas Firli.
Dia menekankan tiga prinsip dasar itu harus dipegang dalam upaya penegakan hukum. Apabila terdapat hal atau pendapat lain, menurutnya, maka itu bisa dibahas bersama.
"Tetapi, tetap saja kami berpedoman kepada asas bahwa tidak ada sesuatu yang bisa kami laksanakan kecuali karena ketentuan prosedur mekanisme dan syarat yang diatur peraturan perundang-undangan," tegasnya.
Baca juga: Johanis Tanak ditunjuk sebagai pimpinan KPK gantikan Lili Pintauli
Sebelumnya, saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan di DPR RI, Johanis Tanak menyatakan pemikirannya untuk memberlakukan keadilan restoratif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Karena menurut pemikiran saya, RJ (restorative justice) tidak hanya dapat dilakukan dalam perkara tindak pidana umum, termasuk juga dalam perkara tindak pidana khusus, itu dalam hal ini korupsi," kata Johanis.
Menurut Johanis, keadilan restoratif bisa diberlakukan meskipun dalam Pasal 4 pada undang-undang tindak pidana korupsi menyatakan apabila ditemukan adanya kerugian keuangan negara, maka tidak menghapus proses tindak pidana korupsi.
"Namun, hal itu sangat dimungkinkan berdasarkan teori ilmu hukum yang ada, bahwa peraturan yang ada sebelumnya dikesampingkan oleh peraturan yang ada setelah itu," ujar Johanis.