Pangkalan BunĀ  (ANTARA) - Selama banjir yang terjadi di Kotawaringin Barat, Muhammad Murhani warga Kelurahan Baru, Kecamatan Arut Selatan harus tinggal di atas kapal atau kelotok yang berada di Sungai Arut sebagai tempat mengungsi. 

"Sudah sekitar tiga minggu kami tinggal di kapal ini, karena rumah kami kebanjiran setinggi pinggang," Ujar Murhani, Rabu siang. 

Dikatakan Murhani, dia tidak mengungsi ke tempat pengungsian yang sudah disediakan karena ingin supaya tetap bisa memantau dan menjaga keamanan rumahnya yang masih kebanjiran. 

"Karena masih ada barang-barang di rumah, jadi tetap kita jenguk setiap waktu, jadi kami lebih memilih mengungsi di kapal atau kelotok ini yang tidak jauh dari rumah," ujarnya. 

Sementara itu, Fakhri warga Kelurahan Raja mengatakan, sejak ia tinggal di Pangkalan Bun sekitar 30 tahun lalu, banjir tahun ini merupakan banjir terparah yang ia rasakan. 

Baca juga: PWI Kotawaringin Barat peduli korban banjir

"Ini yang terparah, kalau tahun sebelumnya banjir tapi tidak setinggi ini. Anak-anak dan istri kita ungsikan di pengungsian, kalau saya tetap tinggal di rumah untuk menjaga harta benda yang ada," ujarnya. 

Banjir yang melanda Kotawaringin Barat hampir dua bulan tersebut, ribuan warga harus mengungsi. Para pengungsi pun mulai banyak terserang penyakit seperti diare, hipertensi, flu, sakit di persendian, dan gatal-gatal. 

"Mungkin karena kondisi air yang kotor, sehingga banyak warga yang terserang gatal-gatal kulit," kata Amelia Hidayati, dokter umum di Puskesmas Kumpai Batu. 

Amelia juga mengingatkan, agar warga yang terdampak banjir selalu menjaga kebersihan sekitar tempat tinggal, karena kondisi banjir seperti ini sangat rentan terhadap bakteri yang bisa mengganggu kesehatan tubuh. 

Baca juga: PMI Kobar sisir warga desa terisolir karena banjir

Baca juga: Polisi amankan dua pelaku 'illegal logging' di Kobar

Baca juga: Pemkab Barut serahkan bantuan banjir untuk Kobar dan Lamandau

Pewarta : M Husein Asyari
Uploader : Admin 2
Copyright © ANTARA 2024