Muara Teweh (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, berupaya melakukan peningkatan pendampingan skrining atau deteksi dini kesehatan jiwa untuk mengatasi terbatasnya sumber daya kesehatan (SDK) terlatih jiwa di daerah ini.
"Kesenjangan pengobatan (treatment gap) antara masyarakat yang membutuhkan layanan dan yang mendapatkan layanan kesehatan jiwa seperti di Barito Utara kurang dari 10 persen gangguan jiwa mendapatkan pengobatan," kata Kepala Dinas Kesehatan Barito Utara Siswandoyo di Muara Teweh, Rabu.
Pernyataan itu disampaikan dalam pertemuan koordinasi lintas sektoral pelaksanaan pendampingan skrining atau deteksi dini kesehatan jiwa.
Menurut dia, kesenjangan pengobatan tersebut di daerah ini antara lain disebabkan adanya hambatan dalam akses layanan kesehatan jiwa. Penyelenggaraan layanan kesehatan jiwa di puskesmas berdasarkan peta strategis adalah yang memiliki tenaga kesehatan terlatih kesehatan jiwa.
"Puskesmas melaksanakan upaya promotif kesehatan jiwa dan preventif terkait kesehatan jiwa serta melaksanakan deteksi dini, penegakan diagnosis," kata Siswandoyo.
Dia mengatakan, pada 2022 ini deteksi dini kesehatan jiwa tetap berjalan baik di puskesmas maupun di sekolah-sekolah. Walaupun pihaknya mengakui masih belum maksimal.
Tidak sedikit, menurut dia, masalah kesehatan jiwa tersebut dialami oleh usia produktif, bahkan sejak usia remaja. Depresi juga dapat terjadi pada masa kehamilan dan pasca persalinan yang dapat mempengaruhi pola asuh serta tumbuh kembang anak.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018) data nasional, untuk gangguan mental emosional (gejala depresi dan cemas) yang dideteksi pada penduduk usia 15 tahun atau lebih.Selain itu data 2013 dan 2018 ditemukan, bahwa semakin lanjut usia, semakin tinggi gangguan mental emosional yang terdeteksi.
"Maka dalam upaya peningkatan kesehatan jiwa perlu pencegahan jiwa dan intervensi dini gangguan jiwa di masa yang akan datang," jelas Siswandoyo.
Dia menambahkan masalah kesehatan jiwa dapat menimbulkan dampak sosial diantaranya meningkatnya angka kekerasan baik dalam rumah tangga maupun di masyarakat umum, bunuh diri, penyalahgunaan Nafza (Narkotika psikotropika dan zat adiktif lainnya).
"Hal ini perlu diantisipasi, mengingat WHO mengestimasikan depresi akan menjadi peringkat kedua penyebab beban akibat penyakit di dunia (Global) setelah jantung pada Tahun 2020, dan menjadi peringkat pertama pada 2030," kata Siswandoyo.
"Kesenjangan pengobatan (treatment gap) antara masyarakat yang membutuhkan layanan dan yang mendapatkan layanan kesehatan jiwa seperti di Barito Utara kurang dari 10 persen gangguan jiwa mendapatkan pengobatan," kata Kepala Dinas Kesehatan Barito Utara Siswandoyo di Muara Teweh, Rabu.
Pernyataan itu disampaikan dalam pertemuan koordinasi lintas sektoral pelaksanaan pendampingan skrining atau deteksi dini kesehatan jiwa.
Menurut dia, kesenjangan pengobatan tersebut di daerah ini antara lain disebabkan adanya hambatan dalam akses layanan kesehatan jiwa. Penyelenggaraan layanan kesehatan jiwa di puskesmas berdasarkan peta strategis adalah yang memiliki tenaga kesehatan terlatih kesehatan jiwa.
"Puskesmas melaksanakan upaya promotif kesehatan jiwa dan preventif terkait kesehatan jiwa serta melaksanakan deteksi dini, penegakan diagnosis," kata Siswandoyo.
Dia mengatakan, pada 2022 ini deteksi dini kesehatan jiwa tetap berjalan baik di puskesmas maupun di sekolah-sekolah. Walaupun pihaknya mengakui masih belum maksimal.
Tidak sedikit, menurut dia, masalah kesehatan jiwa tersebut dialami oleh usia produktif, bahkan sejak usia remaja. Depresi juga dapat terjadi pada masa kehamilan dan pasca persalinan yang dapat mempengaruhi pola asuh serta tumbuh kembang anak.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018) data nasional, untuk gangguan mental emosional (gejala depresi dan cemas) yang dideteksi pada penduduk usia 15 tahun atau lebih.Selain itu data 2013 dan 2018 ditemukan, bahwa semakin lanjut usia, semakin tinggi gangguan mental emosional yang terdeteksi.
"Maka dalam upaya peningkatan kesehatan jiwa perlu pencegahan jiwa dan intervensi dini gangguan jiwa di masa yang akan datang," jelas Siswandoyo.
Dia menambahkan masalah kesehatan jiwa dapat menimbulkan dampak sosial diantaranya meningkatnya angka kekerasan baik dalam rumah tangga maupun di masyarakat umum, bunuh diri, penyalahgunaan Nafza (Narkotika psikotropika dan zat adiktif lainnya).
"Hal ini perlu diantisipasi, mengingat WHO mengestimasikan depresi akan menjadi peringkat kedua penyebab beban akibat penyakit di dunia (Global) setelah jantung pada Tahun 2020, dan menjadi peringkat pertama pada 2030," kata Siswandoyo.