Banjarmasin (ANTARA) - Majelis hakim menolak eksepsi dua orang terdakwa perkara dugaan korupsi proyek galangan kapal PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari Banjarmasin saat membacakan putusan sela di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa.
Ketua Majelis Hakim I Gedhe Yuliarta bersama dua hakim anggota Ahmad Gawi dan Arief Winarno menyatakan eksepsi kedua terdakwa, yakni mantan Direktur Komersial PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero) Shipyard Banjarmasin Albertus Pattaru dan mantan Direktur Operasi dan Teknik PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero) Shipyard Banjarmasin Suharyono tidak dapat diterima dan memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai dakwaan yang disampaikan oleh JPU telah memenuhi syarat formil maupun materiil.
Dalil eksepsi lainnya seperti menyangkut dasar perhitungan kerugian negara yang menurut penasihat hukum tidak sesuai dengan fakta sebenarnya, menurut hakim, harus dibuktikan melalui sidang pembuktian.
Setelah eksepsi ditolak, majelis hakim memerintahkan JPU menghadirkan saksi-saksi untuk diperiksa dalam sidang selanjutnya.
Menurut JPU dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan Andre, dalam berkas acara pemeriksaan ada sebanyak 30 orang saksi, termasuk saksi ahli yang sudah dimintai keterangan terkait perkara dugaan korupsi itu.
Namun, kemungkinan tidak akan semua saksi dihadirkan untuk diperiksa keterangannya dalam persidangan.
Sidang selanjutnya diagendakan digelar pada Selasa (6/12) pekan depan.
Kedua terdakwa terseret perkara ini karena diduga melakukan korupsi terkait proyek pembangunan galangan kapal di PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari Banjarmasin.
Proyek itu dilaksanakan sejak tahun 2018 dengan pagu anggaran Rp20 miliar lebih yang dananya bersumber dari penyertaan modal negara (PMN) dan APBN.
Dalam dakwaannya, JPU menyatakan terdakwa melakukan tindakan melawan hukum karena tidak melakukan pengendalian dan pengawasan sehingga berakibat kegagalan konstruksi dan tidak bisa dimanfaatkan.
Dalam dakwaan disebutkan nilai kerugian negara yang timbul akibat korupsi itu mencapai Rp5,7 miliar. Kedua terdakwa masing-masing dituntut dengan dakwaan primer dan subsider oleh JPU.
Pada dakwaan primer didakwakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan dakwaan subsider, yakni Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ketua Majelis Hakim I Gedhe Yuliarta bersama dua hakim anggota Ahmad Gawi dan Arief Winarno menyatakan eksepsi kedua terdakwa, yakni mantan Direktur Komersial PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero) Shipyard Banjarmasin Albertus Pattaru dan mantan Direktur Operasi dan Teknik PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero) Shipyard Banjarmasin Suharyono tidak dapat diterima dan memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai dakwaan yang disampaikan oleh JPU telah memenuhi syarat formil maupun materiil.
Dalil eksepsi lainnya seperti menyangkut dasar perhitungan kerugian negara yang menurut penasihat hukum tidak sesuai dengan fakta sebenarnya, menurut hakim, harus dibuktikan melalui sidang pembuktian.
Setelah eksepsi ditolak, majelis hakim memerintahkan JPU menghadirkan saksi-saksi untuk diperiksa dalam sidang selanjutnya.
Menurut JPU dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan Andre, dalam berkas acara pemeriksaan ada sebanyak 30 orang saksi, termasuk saksi ahli yang sudah dimintai keterangan terkait perkara dugaan korupsi itu.
Namun, kemungkinan tidak akan semua saksi dihadirkan untuk diperiksa keterangannya dalam persidangan.
Sidang selanjutnya diagendakan digelar pada Selasa (6/12) pekan depan.
Kedua terdakwa terseret perkara ini karena diduga melakukan korupsi terkait proyek pembangunan galangan kapal di PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari Banjarmasin.
Proyek itu dilaksanakan sejak tahun 2018 dengan pagu anggaran Rp20 miliar lebih yang dananya bersumber dari penyertaan modal negara (PMN) dan APBN.
Dalam dakwaannya, JPU menyatakan terdakwa melakukan tindakan melawan hukum karena tidak melakukan pengendalian dan pengawasan sehingga berakibat kegagalan konstruksi dan tidak bisa dimanfaatkan.
Dalam dakwaan disebutkan nilai kerugian negara yang timbul akibat korupsi itu mencapai Rp5,7 miliar. Kedua terdakwa masing-masing dituntut dengan dakwaan primer dan subsider oleh JPU.
Pada dakwaan primer didakwakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan dakwaan subsider, yakni Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.