Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDI) membantah pandangan kelompok radikal yang menyebut bahwa bencana alam yang terjadi di Tanah Air akibat pemerintah tidak menerapkan sistem khilafah.
"Ironisnya, musibah atau bencana terutama di Indonesia justru 'dimainkan' kelompok radikal dengan mengklaim bencana itu akibat tidak diterapkannya sistem khilafah," kata Ketua Umum ADDI Dr. Moch Syarif Hidayatullah melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Ketua Umum ADDI mengatakan keputusan musibah atau azab apakah berhubungan dengan persepsi dan perspektif masih belum final karena kondisi sekarang dengan zaman para nabi berbeda. Dulu, nabi mendapat jawaban langsung dari Allah SWT apakah musibah atau azab.
Ia menjelaskan dalam konteks itu perlu dipahami kalau bencana alam dalam kitab suci termasuk Al Quran dijelaskan sebagai azab. Hal tersebut suatu pelanggaran yang konkrit dan dijelaskan oleh Allah SWT melalui para nabi. Pada saat itu, ada nabi yang memang mendapat wahyu dan bisa menjelaskannya.
Sementara sekarang tidak ada nabi sehingga klaim yang disampaikan kelompok yang mempolitisasi dengan menyebut bencana karena tidak menerapkan khilafah adalah asumsi dan mengarah pada pencocokan serta tidak berdasar.
"Persepsi seperti itu sama saja dengan ngawur. Apalagi negara islam di seluruh dunia tidak ada yang menggunakan sistem khilafah," ujarnya.
PMII Tolak Khilafah Sejumlah pengunjuk rasa dari PMII Sulawesi Tengah membawa poster saat melakukan aksi unjuk rasa di Bundaran Hasanudin Palu, Sabtu (10/7/2017). Mereka menyatakan menolak sistem khilafah dan menuntut pembubaran setiap organisasi yang ingin mendirikan sistem tersebut di Indonesia. (ANTARASulteng/Mohamad Hamzah)
Ia menegaskan bahwa terlalu naif kelompok radikal mengklaim bencana alam karena Indonesia tidak menerapkan sistem khilafah karena faktanya memang tidak demikian.
"Kita tidak boleh menanggapi bencana sebagai azab gara-gara tidak menerapkan sistem tertentu. Sungguh itu sangat tidak berempati terhadap korban," ujarnya.
Syarif menegaskan tidak ada jaminan jika menerapkan khilafah maka tidak akan ada musibah sebab musibah merupakan bagian dari sunataullah. Hal itu juga sebagai pengingat kepada manusia, baik tentang dosa ataupun kesalahan manusia seperti eksploitasi lahan yang berlebihan.
Apalagi gempa bumi yang susah diprediksi dan merupakan faktor alam. Selain itu, Indonesia juga berada di kawasan rawan gempa akibat lempengan-lempengan bumi yang sering bergeser.
Menurut Wakil Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, ulama di dunia mengatakan bahwa pemerintahan yang menggantikan pemerintahan nabi tidak harus dalam bentuk khilafah, seperti versi Hizbut Tahrir dan Khilafatul Muslimin.
Bahkan, lembaga fatwa resmi Mesir, yakni Dar Al-Ifta memfatwakan segala bentuk pemerintahan baik itu monarki, republik ataupun bentuk lain, selama masyarakat bisa menjalankan syariat islam, menjamin orang mudah mencari penghidupan maka hal itu sudah mencerminkan kekhilafahan yang menggantikan kepemimpinan nabi.
"Khilafah itu sebenarnya bermakna sistem penggantian pemerintahan atau kepemimpinan nabi dalam mengurus agama dan dunia," ujarnya.
Namun, modelnya bisa macam-macam bukan tunggal. Hal itu ditunjukkan bagaimana Khulafaur Rasyidin bergantian dan sistemnya tidak baku. Kedua, ketika berganti menjadi daulah-daulah seperti Abbasyiah, Ustmaniyah itu berbasis keluarga jatuhnya monarki.
"Ini hal-hal yang perlu dipahami bersama bahwa ini ijtihad. Kalau betul khilafah itu baku, sistemnya harus tunggal," jelasnya.
"Ironisnya, musibah atau bencana terutama di Indonesia justru 'dimainkan' kelompok radikal dengan mengklaim bencana itu akibat tidak diterapkannya sistem khilafah," kata Ketua Umum ADDI Dr. Moch Syarif Hidayatullah melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Ketua Umum ADDI mengatakan keputusan musibah atau azab apakah berhubungan dengan persepsi dan perspektif masih belum final karena kondisi sekarang dengan zaman para nabi berbeda. Dulu, nabi mendapat jawaban langsung dari Allah SWT apakah musibah atau azab.
Ia menjelaskan dalam konteks itu perlu dipahami kalau bencana alam dalam kitab suci termasuk Al Quran dijelaskan sebagai azab. Hal tersebut suatu pelanggaran yang konkrit dan dijelaskan oleh Allah SWT melalui para nabi. Pada saat itu, ada nabi yang memang mendapat wahyu dan bisa menjelaskannya.
Sementara sekarang tidak ada nabi sehingga klaim yang disampaikan kelompok yang mempolitisasi dengan menyebut bencana karena tidak menerapkan khilafah adalah asumsi dan mengarah pada pencocokan serta tidak berdasar.
"Persepsi seperti itu sama saja dengan ngawur. Apalagi negara islam di seluruh dunia tidak ada yang menggunakan sistem khilafah," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa terlalu naif kelompok radikal mengklaim bencana alam karena Indonesia tidak menerapkan sistem khilafah karena faktanya memang tidak demikian.
"Kita tidak boleh menanggapi bencana sebagai azab gara-gara tidak menerapkan sistem tertentu. Sungguh itu sangat tidak berempati terhadap korban," ujarnya.
Syarif menegaskan tidak ada jaminan jika menerapkan khilafah maka tidak akan ada musibah sebab musibah merupakan bagian dari sunataullah. Hal itu juga sebagai pengingat kepada manusia, baik tentang dosa ataupun kesalahan manusia seperti eksploitasi lahan yang berlebihan.
Apalagi gempa bumi yang susah diprediksi dan merupakan faktor alam. Selain itu, Indonesia juga berada di kawasan rawan gempa akibat lempengan-lempengan bumi yang sering bergeser.
Menurut Wakil Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, ulama di dunia mengatakan bahwa pemerintahan yang menggantikan pemerintahan nabi tidak harus dalam bentuk khilafah, seperti versi Hizbut Tahrir dan Khilafatul Muslimin.
Bahkan, lembaga fatwa resmi Mesir, yakni Dar Al-Ifta memfatwakan segala bentuk pemerintahan baik itu monarki, republik ataupun bentuk lain, selama masyarakat bisa menjalankan syariat islam, menjamin orang mudah mencari penghidupan maka hal itu sudah mencerminkan kekhilafahan yang menggantikan kepemimpinan nabi.
"Khilafah itu sebenarnya bermakna sistem penggantian pemerintahan atau kepemimpinan nabi dalam mengurus agama dan dunia," ujarnya.
Namun, modelnya bisa macam-macam bukan tunggal. Hal itu ditunjukkan bagaimana Khulafaur Rasyidin bergantian dan sistemnya tidak baku. Kedua, ketika berganti menjadi daulah-daulah seperti Abbasyiah, Ustmaniyah itu berbasis keluarga jatuhnya monarki.
"Ini hal-hal yang perlu dipahami bersama bahwa ini ijtihad. Kalau betul khilafah itu baku, sistemnya harus tunggal," jelasnya.