Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Sejumlah korban tragedi di Stadion Kanjruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022 mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Malang.
Ketua Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (Tatak) Imam Hidayat di Kota Malang, Rabu, mengatakan bahwa gugatan perdata yang dilayangkan tersebut dilakukan mewakili tujuh orang dari keluarga korban peristiwa Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang.
"Meskipun nyawa tidak sebanding dengan rupiah, tapi kami berusaha untuk kepentingan korban dengan mengajukan gugatan 1365 KUH Perdata perbuatan melawan hukum kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab," kata Imam.
Dalam gugatan tersebut, ada delapan pihak tergugat, yakni Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Dewan Pengawas PSSI, PT Liga Indonesia Baru (LIB), Panitia Penyelenggara Arema FC, dan Security Officer BRI Liga 1 2022-2023.
Kemudian, PT Indosiar Visual Mandiri, PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (AABBI), dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain itu, ada pihak turut tergugat yakni Presiden Republik Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian Keuangan dan Pemerintah Kabupaten Malang.
Anggota Tatak Haris Azhar menambahkan dalam pihak turut tergugat, yakni Presiden Republik Indonesia bukan terkait dengan tuntutan ganti rugi melainkan menuntut agar Stadion Kanjuruhan tidak dilakukan pembongkaran.
Haris menjelaskan dalam gugatan tersebut, pihak penggugat mengajukan ganti rugi kepada pihak tergugat senilai Rp62 miliar. Angka tersebut terbagi dalam kerugian materiil senilai Rp9,02 miliar dan imateriil senilai Rp53 miliar.
"Jadi seperti di sini ada tuntutan Presiden Republik Indonesia, tuntutan ganti rugi tidak akan ke situ (Presiden). Tapi kami menuntut supaya stadion tidak dibongkar. Jadi dalam gugatan ini tidak semata-mata meminta Rp62 miliar," ujarnya.
Ia menambahkan secara umum gugatan tersebut dilakukan melalui dalil perbuatan melawan hukum. Sejumlah korban tragedi Kanjuruhan tersebut meminta pertanggungjawaban kepada delapan pihak tergugat.
"Misalnya pertanggungjawaban korporasi, lalu dari sisi keperdataan yang lain, kemudian dari sisi administrasi, dan sisi perlindungan konsumen. Ini semua adalah hal-hal yang kami dalilkan," katanya.
Pada 1 Oktober 2022 terjadi kericuhan usai pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya dengan skor akhir 2-3 di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Kekalahan itu menyebabkan sejumlah suporter turun dan masuk ke dalam area lapangan.
Kerusuhan tersebut semakin membesar di mana sejumlah "flare" dilemparkan termasuk benda-benda lainnya. Petugas keamanan gabungan dari kepolisian dan TNI berusaha menghalau para suporter tersebut dan pada akhirnya menggunakan gas air mata.
Akibat kejadian itu, sebanyak 135 orang dilaporkan meninggal dunia akibat patah tulang, trauma di kepala, leher, dan asfiksia atau kadar oksigen dalam tubuh berkurang. Selain itu, dilaporkan ada ratusan orang yang mengalami luka ringan termasuk luka berat.
Ketua Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (Tatak) Imam Hidayat di Kota Malang, Rabu, mengatakan bahwa gugatan perdata yang dilayangkan tersebut dilakukan mewakili tujuh orang dari keluarga korban peristiwa Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang.
"Meskipun nyawa tidak sebanding dengan rupiah, tapi kami berusaha untuk kepentingan korban dengan mengajukan gugatan 1365 KUH Perdata perbuatan melawan hukum kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab," kata Imam.
Dalam gugatan tersebut, ada delapan pihak tergugat, yakni Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Dewan Pengawas PSSI, PT Liga Indonesia Baru (LIB), Panitia Penyelenggara Arema FC, dan Security Officer BRI Liga 1 2022-2023.
Kemudian, PT Indosiar Visual Mandiri, PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (AABBI), dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain itu, ada pihak turut tergugat yakni Presiden Republik Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian Keuangan dan Pemerintah Kabupaten Malang.
Anggota Tatak Haris Azhar menambahkan dalam pihak turut tergugat, yakni Presiden Republik Indonesia bukan terkait dengan tuntutan ganti rugi melainkan menuntut agar Stadion Kanjuruhan tidak dilakukan pembongkaran.
Haris menjelaskan dalam gugatan tersebut, pihak penggugat mengajukan ganti rugi kepada pihak tergugat senilai Rp62 miliar. Angka tersebut terbagi dalam kerugian materiil senilai Rp9,02 miliar dan imateriil senilai Rp53 miliar.
"Jadi seperti di sini ada tuntutan Presiden Republik Indonesia, tuntutan ganti rugi tidak akan ke situ (Presiden). Tapi kami menuntut supaya stadion tidak dibongkar. Jadi dalam gugatan ini tidak semata-mata meminta Rp62 miliar," ujarnya.
Ia menambahkan secara umum gugatan tersebut dilakukan melalui dalil perbuatan melawan hukum. Sejumlah korban tragedi Kanjuruhan tersebut meminta pertanggungjawaban kepada delapan pihak tergugat.
"Misalnya pertanggungjawaban korporasi, lalu dari sisi keperdataan yang lain, kemudian dari sisi administrasi, dan sisi perlindungan konsumen. Ini semua adalah hal-hal yang kami dalilkan," katanya.
Pada 1 Oktober 2022 terjadi kericuhan usai pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya dengan skor akhir 2-3 di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Kekalahan itu menyebabkan sejumlah suporter turun dan masuk ke dalam area lapangan.
Kerusuhan tersebut semakin membesar di mana sejumlah "flare" dilemparkan termasuk benda-benda lainnya. Petugas keamanan gabungan dari kepolisian dan TNI berusaha menghalau para suporter tersebut dan pada akhirnya menggunakan gas air mata.
Akibat kejadian itu, sebanyak 135 orang dilaporkan meninggal dunia akibat patah tulang, trauma di kepala, leher, dan asfiksia atau kadar oksigen dalam tubuh berkurang. Selain itu, dilaporkan ada ratusan orang yang mengalami luka ringan termasuk luka berat.