Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya untuk mewaspadai potensi peningkatan kekerasan kolektif menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2024.
"Meminta pemerintah, aparat keamanan, dan aktor terkait lainnya untuk mewaspadai potensi peningkatan kekerasan kolektif, mengingat akan adanya proses dan penyelenggaraan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024," kata Bamsoet, sapaan karibnya, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Hal tersebut, kata Bamsoet, didasari data dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Senin (20/2), yang menyebutkan jumlah kekerasan kolektif di Indonesia sepanjang tahun 2022 menurun apabila dibandingkan tahun 2021. Namun, jumlah korban peristiwa kekerasan kolektif tercatat meningkat pada tahun 2022.
Untuk itu, ia berharap pemerintah dapat menjadikan data CSIS tersebut sebagai bahan untuk mengevaluasi dan menyusun langkah strategi dalam rangka menekan jumlah kekerasan kolektif yang terjadi di Indonesia pada tahun 2023.
Bamsoet meminta pemerintah untuk melakukan koordinasi dan diskusi dengan CSIS agar dapat mengklasifikasikan kasus-kasus kekerasan kolektif yang paling banyak dilakukan. Misalnya, kekerasan kolektif yang disebabkan main hakim sendiri, isu kriminal, hingga isu identitas.
"Di samping menentukan langkah yang akan ditetapkan agar kekerasan kolektif bisa terus diminimalisasi," tambahnya.
Ia juga meminta Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono mengoordinasikan aparat keamanan untuk mengambil langkah intervensi tegas terhadap potensi maupun insiden terjadinya kekerasan kolektif di daerah, terutama di daerah-daerah yang rawan.
"Dengan stakeholder atau aktor terkait lainnya sebagai pihak ketiga," ucapnya.
Terakhir, Bamsoet meminta pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat keamanan, dan pemangku kepentingan lainnya agar dalam menyelesaikan kasus kekerasan kolektif selalu berpedoman pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
"Utamanya dalam pencegahan, penghentian, serta pemulihan pascakonflik agar tidak hanya jumlah kasus kekerasan kolektif yang mengalami penurunan, tetapi juga jumlah korban yang bisa terus ditekan atau diminimalisasi bahkan dicegah," tuturnya.
Sebelumnya, Senin (20/2), CSIS mencatat ada 1.114 insiden kekerasan kolektif di Indonesia selama tahun 2022. Jumlah kekerasan kolektif tersebut disebutkan menurun sebesar 8,7 persen jika dibanding tahun 2021.
Meski menurun, jumlah korban peristiwa kekerasan kolektif tercatat meningkat sebesar 54,7 persen, menjadi 2.174 korban meninggal dan luka-luka pada tahun 2022
"Bahwa frekuensi dari kekerasan kolektif tahun 2022 itu menurun, tetapi korbannya meningkat cukup pesat,” kata peneliti dari Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Alif Satria.
Berdasarkan klasifikasinya, CSIS mencatat kekerasan kolektif paling banyak didominasi oleh main hakim sendiri sebanyak 486 kejadian, isu kriminal 147 kejadian, dan isu identitas 93 kejadian.
"Meminta pemerintah, aparat keamanan, dan aktor terkait lainnya untuk mewaspadai potensi peningkatan kekerasan kolektif, mengingat akan adanya proses dan penyelenggaraan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024," kata Bamsoet, sapaan karibnya, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Hal tersebut, kata Bamsoet, didasari data dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Senin (20/2), yang menyebutkan jumlah kekerasan kolektif di Indonesia sepanjang tahun 2022 menurun apabila dibandingkan tahun 2021. Namun, jumlah korban peristiwa kekerasan kolektif tercatat meningkat pada tahun 2022.
Untuk itu, ia berharap pemerintah dapat menjadikan data CSIS tersebut sebagai bahan untuk mengevaluasi dan menyusun langkah strategi dalam rangka menekan jumlah kekerasan kolektif yang terjadi di Indonesia pada tahun 2023.
Bamsoet meminta pemerintah untuk melakukan koordinasi dan diskusi dengan CSIS agar dapat mengklasifikasikan kasus-kasus kekerasan kolektif yang paling banyak dilakukan. Misalnya, kekerasan kolektif yang disebabkan main hakim sendiri, isu kriminal, hingga isu identitas.
"Di samping menentukan langkah yang akan ditetapkan agar kekerasan kolektif bisa terus diminimalisasi," tambahnya.
Ia juga meminta Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono mengoordinasikan aparat keamanan untuk mengambil langkah intervensi tegas terhadap potensi maupun insiden terjadinya kekerasan kolektif di daerah, terutama di daerah-daerah yang rawan.
"Dengan stakeholder atau aktor terkait lainnya sebagai pihak ketiga," ucapnya.
Terakhir, Bamsoet meminta pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat keamanan, dan pemangku kepentingan lainnya agar dalam menyelesaikan kasus kekerasan kolektif selalu berpedoman pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
"Utamanya dalam pencegahan, penghentian, serta pemulihan pascakonflik agar tidak hanya jumlah kasus kekerasan kolektif yang mengalami penurunan, tetapi juga jumlah korban yang bisa terus ditekan atau diminimalisasi bahkan dicegah," tuturnya.
Sebelumnya, Senin (20/2), CSIS mencatat ada 1.114 insiden kekerasan kolektif di Indonesia selama tahun 2022. Jumlah kekerasan kolektif tersebut disebutkan menurun sebesar 8,7 persen jika dibanding tahun 2021.
Meski menurun, jumlah korban peristiwa kekerasan kolektif tercatat meningkat sebesar 54,7 persen, menjadi 2.174 korban meninggal dan luka-luka pada tahun 2022
"Bahwa frekuensi dari kekerasan kolektif tahun 2022 itu menurun, tetapi korbannya meningkat cukup pesat,” kata peneliti dari Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Alif Satria.
Berdasarkan klasifikasinya, CSIS mencatat kekerasan kolektif paling banyak didominasi oleh main hakim sendiri sebanyak 486 kejadian, isu kriminal 147 kejadian, dan isu identitas 93 kejadian.