Jakarta (ANTARA) - Dokter anak konsultan alergi imunologi yang juga terhimpun dalam anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Isman Jafar, Sp.A(K) mengimbau agar para orang tua tidak terlalu mengekang anak yang mengidap alergi, khususnya makanan.
“Itu malah kita jadi merusak hidup seorang anak. Kan anak itu mau coba semua. Kalau ibunya punya pola pikir ‘Jangan, kamu kan alergi. Nggak boleh’. Jadi anaknya mau ini dikekang, mau itu nggak boleh,” ungkap Isman saat dijumpai di Kemang, Jakarta Selatan, Rabu.
“Padahal yang betul adalah sebelum ada bukti hitam di atas putih (pernyataan dokter) anak itu alergi, itu hanya prasangka saja. Mungkin betul, tapi jangan mengekang anak,” imbuhnya.
Baca juga: Olahraga yang disarankan untuk penderita alergi
Selanjutnya, Isman menjelaskan bahwa alergi terhadap makanan atau food alergy akan meningkat tinggi di usia 1 sampai 2 tahun. Namun, itu tidak berarti ibu melarang anak mengonsumsi makanan tersebut selama-lamanya.
“Jadi kalau misalnya usia di atas 2 tahun itu akan makin berkurang. Dan misalnya kalau sudah 6 sampai 7 tahun ya jangan dilarang-larang juga. Kita biarkan saja anaknya makan makanan tersebut dengan harapan akan timbul toleransi,” kata Isman.
“Nah toleransi ini adalah kebalikan dari alergi. Jadi zat yang tadinya tubuh anggap berbahaya, kita sudah mengenal zat tersebut. Sehingga lama-lama tubuh sudah akrab dengan zat tersebut. Jadi berteman jadinya. Nah itu yang kita harapkan anak-anak akan bisa toleransi,” sambungnya.
Baca juga: Penderita alergi tungau debu disarankan hindari penggunaan beludru
Kendati demikian, Isman juga mengingatkan bahaya apabila anak sudah mengalami reaksi anafilaksis. Anafilaksis adalah reaksi alergi berat dan terjadi secara tiba-tiba setelah tubuh terpapar pemicu alergi.
“Tapi ada bahayanya juga. Ketika dikasih misal timbul reaksi anafilaksis. Misal menyerang beberapa anggota tubuh seperti jantung dan lain-lain. Nah itu risiko. Jangan coba-coba. Tapi kalau belum ada bukti pasti, biasa saja. Santai saja,” terangnya.
Di sisi lain, psikolog anak dan parenting coach Irma Gustiana A, S.Psi., M.Psi juga menyampaikan hal serupa. Dia mengimbau agar orang tua tidak memberikan label alergi terhadap anak-anaknya.
“Jangan kasih label. Misalnya ngomong ‘Kamu tuh kan alergian nak’ gitu. Jangan begitu. Karena dia akan sugesti ke dirinya ‘Aku tuh alergian. Aku tuh lemah, aku beda’. Bisa dua yang terjadi. Antara dia nggak pede atau dia bisa jadi sangat membuat itu menjadi alasan,” papar Irma.
“Karena anak itu tricky. Dia bisa memanipulasi itu. Jadi jangan labeling. Tapi dia tetap perlu tahu kondisi dia. Jadi cara komunikasiinnya ‘Kalau makan ini nanti kamu batuk. Kita cari yang lain ya atau kita cari yang rasanya mirip’ gitu,” kata dia.
Baca juga: Tips pilih bahan perhiasan agar kulit terhindar dari iritasi
Baca juga: Kenali gejala alergi dan cara mengatasinya
Baca juga: Kenali gejala alergi susu sapi pada anak
“Itu malah kita jadi merusak hidup seorang anak. Kan anak itu mau coba semua. Kalau ibunya punya pola pikir ‘Jangan, kamu kan alergi. Nggak boleh’. Jadi anaknya mau ini dikekang, mau itu nggak boleh,” ungkap Isman saat dijumpai di Kemang, Jakarta Selatan, Rabu.
“Padahal yang betul adalah sebelum ada bukti hitam di atas putih (pernyataan dokter) anak itu alergi, itu hanya prasangka saja. Mungkin betul, tapi jangan mengekang anak,” imbuhnya.
Baca juga: Olahraga yang disarankan untuk penderita alergi
Selanjutnya, Isman menjelaskan bahwa alergi terhadap makanan atau food alergy akan meningkat tinggi di usia 1 sampai 2 tahun. Namun, itu tidak berarti ibu melarang anak mengonsumsi makanan tersebut selama-lamanya.
“Jadi kalau misalnya usia di atas 2 tahun itu akan makin berkurang. Dan misalnya kalau sudah 6 sampai 7 tahun ya jangan dilarang-larang juga. Kita biarkan saja anaknya makan makanan tersebut dengan harapan akan timbul toleransi,” kata Isman.
“Nah toleransi ini adalah kebalikan dari alergi. Jadi zat yang tadinya tubuh anggap berbahaya, kita sudah mengenal zat tersebut. Sehingga lama-lama tubuh sudah akrab dengan zat tersebut. Jadi berteman jadinya. Nah itu yang kita harapkan anak-anak akan bisa toleransi,” sambungnya.
Baca juga: Penderita alergi tungau debu disarankan hindari penggunaan beludru
Kendati demikian, Isman juga mengingatkan bahaya apabila anak sudah mengalami reaksi anafilaksis. Anafilaksis adalah reaksi alergi berat dan terjadi secara tiba-tiba setelah tubuh terpapar pemicu alergi.
“Tapi ada bahayanya juga. Ketika dikasih misal timbul reaksi anafilaksis. Misal menyerang beberapa anggota tubuh seperti jantung dan lain-lain. Nah itu risiko. Jangan coba-coba. Tapi kalau belum ada bukti pasti, biasa saja. Santai saja,” terangnya.
Di sisi lain, psikolog anak dan parenting coach Irma Gustiana A, S.Psi., M.Psi juga menyampaikan hal serupa. Dia mengimbau agar orang tua tidak memberikan label alergi terhadap anak-anaknya.
“Jangan kasih label. Misalnya ngomong ‘Kamu tuh kan alergian nak’ gitu. Jangan begitu. Karena dia akan sugesti ke dirinya ‘Aku tuh alergian. Aku tuh lemah, aku beda’. Bisa dua yang terjadi. Antara dia nggak pede atau dia bisa jadi sangat membuat itu menjadi alasan,” papar Irma.
“Karena anak itu tricky. Dia bisa memanipulasi itu. Jadi jangan labeling. Tapi dia tetap perlu tahu kondisi dia. Jadi cara komunikasiinnya ‘Kalau makan ini nanti kamu batuk. Kita cari yang lain ya atau kita cari yang rasanya mirip’ gitu,” kata dia.
Baca juga: Tips pilih bahan perhiasan agar kulit terhindar dari iritasi
Baca juga: Kenali gejala alergi dan cara mengatasinya
Baca juga: Kenali gejala alergi susu sapi pada anak