Jakarta (ANTARA) - Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan bahwa langkah pemerintah untuk mengatur social commerce hanya sebatas platform promosi dan dilarang untuk dipakai berjualan merupakan tindakan yang adil.
"Di social commerce itu dia (pedagang) sampai boleh iklan dan promosi. Sebetulnya ini lebih adil. Saya lebih setuju kalau seperti ini," ujar Zulkifli dalam kegiatan pertemuan bisnis di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, jika sebuah social media diberikan izin untuk berjualan atau bahkan menyediakan layanan kredit bagi penggunanya untuk berbelanja, maka hal tersebut akan mengacaukan algoritma yang dibangun.
Ia juga menilai bahwa praktik berjualan melalui social media hanya akan memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan besar untuk bersaing, sehingga dikhawatirkan terjadi monopoli jika hanya satu perusahaan yang bertahan dalam persaingan tersebut.
Baca juga: Mendag: Diaspora Indonesia berperan kembangkan produk halal
"Jika social media buka warung (berjualan) dan memberikan kredit juga, nanti algoritmanya itu gimana? Misalkan nanti Meta bakar-bakar (menghabiskan) uang (untuk promosi sehingga pesaing) yang lain tutup, ya dia bisa kerja (menguasai pasar) sendiri. Ini yang harus kita atur dan tata," ucap Zulkifli.
Selain social media dan social commerce, lanjut dia, pemerintah juga mulai mengatur ketat online commerce (e-commerce) melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Dalam sambutannya di acara WhatsApp Business Summit Indonesia, Zulkifli mengatakan bahwa melalui peraturan tersebut pemerintah mulai mengatur ketat mengenai produk-produk impor yang dijual di e-commerce.
"Sekarang perdagangan dunia itu harus free (bebas) and fair (adil). Kalau free saja tidak pas,” ujar dia.
Baca juga: Mendag sebut hilirisasi kunci resiliensi rantai pasok global
Ia menuturkan bahwa upaya ini bertujuan agar produk asing tidak menyerbu pasar Indonesia dan mematikan industri di dalam negeri, terutama yang dimiliki oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa peraturan itu memberikan rasa adil bagi pelaku bisnis domestik yang selama ini diwajibkan mengurus berbagai macam dokumen dan sertifikat sebelum dapat menjual produk.
"Kalau yang di offline, dia (para pedagang) harus membayar pajak, dilihat izin dari BPOM-nya, dinilai produk itu layak apa tidak, dilihat sertifikat halalnya untuk tahu halal apa tidak ini makanan, dan dilihat izin PIRT-nya," kata Zulkifli.
"Di social commerce itu dia (pedagang) sampai boleh iklan dan promosi. Sebetulnya ini lebih adil. Saya lebih setuju kalau seperti ini," ujar Zulkifli dalam kegiatan pertemuan bisnis di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, jika sebuah social media diberikan izin untuk berjualan atau bahkan menyediakan layanan kredit bagi penggunanya untuk berbelanja, maka hal tersebut akan mengacaukan algoritma yang dibangun.
Ia juga menilai bahwa praktik berjualan melalui social media hanya akan memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan besar untuk bersaing, sehingga dikhawatirkan terjadi monopoli jika hanya satu perusahaan yang bertahan dalam persaingan tersebut.
Baca juga: Mendag: Diaspora Indonesia berperan kembangkan produk halal
"Jika social media buka warung (berjualan) dan memberikan kredit juga, nanti algoritmanya itu gimana? Misalkan nanti Meta bakar-bakar (menghabiskan) uang (untuk promosi sehingga pesaing) yang lain tutup, ya dia bisa kerja (menguasai pasar) sendiri. Ini yang harus kita atur dan tata," ucap Zulkifli.
Selain social media dan social commerce, lanjut dia, pemerintah juga mulai mengatur ketat online commerce (e-commerce) melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Dalam sambutannya di acara WhatsApp Business Summit Indonesia, Zulkifli mengatakan bahwa melalui peraturan tersebut pemerintah mulai mengatur ketat mengenai produk-produk impor yang dijual di e-commerce.
"Sekarang perdagangan dunia itu harus free (bebas) and fair (adil). Kalau free saja tidak pas,” ujar dia.
Baca juga: Mendag sebut hilirisasi kunci resiliensi rantai pasok global
Ia menuturkan bahwa upaya ini bertujuan agar produk asing tidak menyerbu pasar Indonesia dan mematikan industri di dalam negeri, terutama yang dimiliki oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa peraturan itu memberikan rasa adil bagi pelaku bisnis domestik yang selama ini diwajibkan mengurus berbagai macam dokumen dan sertifikat sebelum dapat menjual produk.
"Kalau yang di offline, dia (para pedagang) harus membayar pajak, dilihat izin dari BPOM-nya, dinilai produk itu layak apa tidak, dilihat sertifikat halalnya untuk tahu halal apa tidak ini makanan, dan dilihat izin PIRT-nya," kata Zulkifli.