Banda Aceh (ANTARA) - Mantan Direktur Rumah Sakit Umum Yuliddin Away (RSUDYA) Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan, Faisal, didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengadaan sistem informasi manajemen rumah sakit yang merugikan keuangan negara Rp1,7 miliar.
Dakwaan tersebut dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Iqram Syah Putra di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Banda Aceh di Banda Aceh, Rabu.
Sidang dengan majelis hakim diketuai Hamza Sulaiman didampingi Anda Ariansyah dan R Deddy, masing-masing sebagai hakim anggota. Terdakwa Faisal hadir ke persidangan didampingi penasihat hukumnya Afridal Darmi, Hermanto, dan Fajri.
Selain terdakwa Faisal, JPU juga mendakwa Rudi Yanto selaku Direktur PT Klik Data Indonesia dalam perkara yang sama, tetapi berkas terpisah. PT Klik Data Indonesia merupakan rekanan RSUDYA dalam pengadaan sistem informasi manajemen rumah sakit.
JPU Iqram Syah Putra dalam dakwaannya mendakwa terdakwa Faisal secara subsideritas yakni primer dan subsider melanggar Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Terdakwa Faisal menjabat sebagai Direktur Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUYA Tapaktuan berdasarkan surat keputusan Bupati Aceh Selatan untuk masa jabatan 2015 hingga 2019.
JPU menyebutkan tindak pidana korupsi dilakukan terdakwa berawal ketika menerima proposal dari PT Klik Data Indonesia pada 2017. Proposal terkait pengadaan sistem informasi manajemen rumah sakit.
"Terdakwa Faisal selaku direktur rumah sakit menyetujui proposal kerja sama tersebut dengan pembiayaan dibayar RSUDYA sebesar Rp85 juta per bulan. Jangka waktu kerja sama selama lima tahun," kata JPU.
Menurut JPU, terdakwa tidak membentuk panitia lelang, tidak pernah mengumumkan pengadaan sistem informasi manajemen rumah sakit serta menunjuk pejabat teknis pengadaan.
Akibat tidak adanya pejabat teknis pengadaan, maka tidak ada pihak yang menetapkan harga perkiraan sementara. Berdasarkan hasil evaluasi setelah beberapa tahun kerja sama berjalan, didapat bahwa angka pengadaan sistem informasi tersebut sebesar Rp1,9 miliar.
"Sementara, total pembayaran yang dikeluarkan RSUDYA untuk pengadaan sistem informasi manajemen rumah sejak 2018 hingga awal 2023 mencapai Rp3,6 miliar, sehingga terjadi kelebihan bayar Rp1,7 miliar," kata JPU.
Atas dakwaan tersebut, tim penasihat hukum terdakwa Faisal menyatakan akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum.
Pada persidangan tersebut, tim penasihat hukum terdakwa Faisal mengajukan penangguhan penahanan atau pengalihan tahanan. Sebab, terdakwa Faisal merupakan dokter spesialis anestesi atau ahli bius yang keahliannya dibutuhkan di rumah sakit tempatnya bekerja.
"Sejak terdakwa ditahan pada Oktober 2023 tidak ada lagi dokter anestesi di rumah sakit tempat terdakwa bekerja. Dan ini tentu merugikan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan," kata Hermanto, penasihat hukum terdakwa.
Dakwaan tersebut dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Iqram Syah Putra di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Banda Aceh di Banda Aceh, Rabu.
Sidang dengan majelis hakim diketuai Hamza Sulaiman didampingi Anda Ariansyah dan R Deddy, masing-masing sebagai hakim anggota. Terdakwa Faisal hadir ke persidangan didampingi penasihat hukumnya Afridal Darmi, Hermanto, dan Fajri.
Selain terdakwa Faisal, JPU juga mendakwa Rudi Yanto selaku Direktur PT Klik Data Indonesia dalam perkara yang sama, tetapi berkas terpisah. PT Klik Data Indonesia merupakan rekanan RSUDYA dalam pengadaan sistem informasi manajemen rumah sakit.
JPU Iqram Syah Putra dalam dakwaannya mendakwa terdakwa Faisal secara subsideritas yakni primer dan subsider melanggar Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Terdakwa Faisal menjabat sebagai Direktur Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUYA Tapaktuan berdasarkan surat keputusan Bupati Aceh Selatan untuk masa jabatan 2015 hingga 2019.
JPU menyebutkan tindak pidana korupsi dilakukan terdakwa berawal ketika menerima proposal dari PT Klik Data Indonesia pada 2017. Proposal terkait pengadaan sistem informasi manajemen rumah sakit.
"Terdakwa Faisal selaku direktur rumah sakit menyetujui proposal kerja sama tersebut dengan pembiayaan dibayar RSUDYA sebesar Rp85 juta per bulan. Jangka waktu kerja sama selama lima tahun," kata JPU.
Menurut JPU, terdakwa tidak membentuk panitia lelang, tidak pernah mengumumkan pengadaan sistem informasi manajemen rumah sakit serta menunjuk pejabat teknis pengadaan.
Akibat tidak adanya pejabat teknis pengadaan, maka tidak ada pihak yang menetapkan harga perkiraan sementara. Berdasarkan hasil evaluasi setelah beberapa tahun kerja sama berjalan, didapat bahwa angka pengadaan sistem informasi tersebut sebesar Rp1,9 miliar.
"Sementara, total pembayaran yang dikeluarkan RSUDYA untuk pengadaan sistem informasi manajemen rumah sejak 2018 hingga awal 2023 mencapai Rp3,6 miliar, sehingga terjadi kelebihan bayar Rp1,7 miliar," kata JPU.
Atas dakwaan tersebut, tim penasihat hukum terdakwa Faisal menyatakan akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum.
Pada persidangan tersebut, tim penasihat hukum terdakwa Faisal mengajukan penangguhan penahanan atau pengalihan tahanan. Sebab, terdakwa Faisal merupakan dokter spesialis anestesi atau ahli bius yang keahliannya dibutuhkan di rumah sakit tempatnya bekerja.
"Sejak terdakwa ditahan pada Oktober 2023 tidak ada lagi dokter anestesi di rumah sakit tempat terdakwa bekerja. Dan ini tentu merugikan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan," kata Hermanto, penasihat hukum terdakwa.