Sampit (ANTARA) - Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Satu Atap 2 Baamang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah punya cara yang kreatif dalam mengolah limbah, salah satunya dengan menyulap limbah kulkas menjadi alat penetas telur semi digital.
“Motivasi awal kami membuat alat ini adalah untuk mengikuti lomba inovasi teknologi tepat guna (TTG) yang digelar Pemkab Kotim. Setelah mencari-cari bahan lomba, tercetuslah ide membuat alat ini,” kata Kepala SMP Negeri Satu Atap 2 Baamang, Noordiana di Sampit, Rabu.
Diana menuturkan, sebagai kepala sekolah ia ingin agar sekolah yang ia pimpin dapat berprestasi baik secara akademik maupun non akademik. Sehingga ia termotivasi membawa anak-anak muridnya mengikuti lomba TTG yang digelar pemerintah setempat.
Setelah berunding dengan timnya, mereka pun sepakat untuk membuat sebuah alat yang bisa mendukung sektor peternakan. Kebetulan di Desa Tanah Mas, Kecamatan Baamang lokasi SMP tersebut ada cukup banyak peternak unggas.
Terlebih semua peralatan yang dibutuhkan tersedia di wilayah tersebut hal ini sesuai dengan tema lomba inovasi TTG yang mengharuskan pesertanya menggunakan sumber daya lokal.
“Harapan kami di samping untuk lomba alat ini bisa dikembangkan untuk membantu para peternak unggas, dengan begitu perekonomian peternak maupun masyarakat pada umumnya bisa meningkat,” ucap Diana.
Ia menjelaskan, dalam pembuatan alat penetas telur semi digital ini pihaknya menghabiskan waktu kurang lebih 3 hari. Melibatkan murid dan orang tua dari sekolah tersebut. Dana yang dikeluarkan terbilang murah, yakni sekitar Rp800 ribu untuk alat dengan kapasitas hingga 100 butir telur itu.
Material utamanya adalah kulkas yang sudah rusak yang dibeli dengan harga Rp50 ribu dari pengepul barang bekas, sudah termasuk ongkos antar. Ditambah material lainnya, seperti kayu, jaring kawat, termometer, lampu dan lain-lain.
Baca juga: Pemkab Kotim fasilitasi mahasiswa KKN dari IAHN Palangka Raya
Kemudian, dimodifikasi menjadi alat yang bisa mengontrol suhu dan kelembaban untuk membantu proses inkubasi telur hingga menetas. Alat ini juga terbilang hemat energi, karena hanya membutuhkan daya listrik 33 watt.
“Kami juga sudah melakukan uji coba dengan alat ini dan hasilnya cukup memuaskan. Kami juga mencoba menaruh anak ayam yang baru menetas di dalamnya dan hasilnya anak ayam itu terlihat lebih sehat,” sebutnya.
Lanjutnya, dari hasil uji coba itu pula disimpulkan bahwa fungsi alat tersebut dalam mengontrol suhu lebih baik dan stabil dibanding alat manual yang dimiliki beberapa peternak ayam di wilayahnya.
Ia menyebutkan, ada dua dari 50 peternak unggas di wilayahnya yang memiliki alat penetas telur manual. Alat itu terbuat dari kayu sehingga suhunya tidak stabil, saat musim kemarau harus dipasang kipas angin, sedangkan saat musim hujan harus ditambah lampu untuk menaikkan suhu.
Akan tetapi, ia mengakui bahwa alat yang mereka ciptakan masih memiliki kekurangan, yakni setiap empat jam sekali telur yang diinkubasi harus dibalik secara manual. Kondisi ini dinilai cukup merepotkan, terutama ketika sudah waktunya istirahat di malam hari.
“Hal ini akan menjadi evaluasi kami selanjutnya, kami ingin agar alat ini bisa membalikkan telur secara otomatis dan terkoneksi ke aplikasi handphone,” ujarnya.
Meski pada akhirnya mereka belum berhasil meraih juara pertama dan hanya meraih juara harapan I pada lomba inovasi TTG, hal itu tak membuat mereka patah semangat. Diana mengatakan pihaknya akan berupaya mengembangkan alat ini agar lebih baik lagi. Apalagi, pihaknya telah mendapatkan dukungan dari camat setempat.
Ia berharap kelak alat itu bisa diproduksi dalam jumlah besar untuk digunakan para peternak unggas, khususnya yang ada di wilayah tersebut. Demi memajukan sektor peternakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kotim.
Baca juga: Pemkab Kotim perintahkan penghentian sementara pembangunan sebuah mal di Sampit
Baca juga: Kemenkes beri penghargaan Kotim bebas frambusia
Baca juga: Bupati Kotim: Waspada akun palsu mengatasnamakan pejabat daerah
“Motivasi awal kami membuat alat ini adalah untuk mengikuti lomba inovasi teknologi tepat guna (TTG) yang digelar Pemkab Kotim. Setelah mencari-cari bahan lomba, tercetuslah ide membuat alat ini,” kata Kepala SMP Negeri Satu Atap 2 Baamang, Noordiana di Sampit, Rabu.
Diana menuturkan, sebagai kepala sekolah ia ingin agar sekolah yang ia pimpin dapat berprestasi baik secara akademik maupun non akademik. Sehingga ia termotivasi membawa anak-anak muridnya mengikuti lomba TTG yang digelar pemerintah setempat.
Setelah berunding dengan timnya, mereka pun sepakat untuk membuat sebuah alat yang bisa mendukung sektor peternakan. Kebetulan di Desa Tanah Mas, Kecamatan Baamang lokasi SMP tersebut ada cukup banyak peternak unggas.
Terlebih semua peralatan yang dibutuhkan tersedia di wilayah tersebut hal ini sesuai dengan tema lomba inovasi TTG yang mengharuskan pesertanya menggunakan sumber daya lokal.
“Harapan kami di samping untuk lomba alat ini bisa dikembangkan untuk membantu para peternak unggas, dengan begitu perekonomian peternak maupun masyarakat pada umumnya bisa meningkat,” ucap Diana.
Ia menjelaskan, dalam pembuatan alat penetas telur semi digital ini pihaknya menghabiskan waktu kurang lebih 3 hari. Melibatkan murid dan orang tua dari sekolah tersebut. Dana yang dikeluarkan terbilang murah, yakni sekitar Rp800 ribu untuk alat dengan kapasitas hingga 100 butir telur itu.
Material utamanya adalah kulkas yang sudah rusak yang dibeli dengan harga Rp50 ribu dari pengepul barang bekas, sudah termasuk ongkos antar. Ditambah material lainnya, seperti kayu, jaring kawat, termometer, lampu dan lain-lain.
Baca juga: Pemkab Kotim fasilitasi mahasiswa KKN dari IAHN Palangka Raya
Kemudian, dimodifikasi menjadi alat yang bisa mengontrol suhu dan kelembaban untuk membantu proses inkubasi telur hingga menetas. Alat ini juga terbilang hemat energi, karena hanya membutuhkan daya listrik 33 watt.
“Kami juga sudah melakukan uji coba dengan alat ini dan hasilnya cukup memuaskan. Kami juga mencoba menaruh anak ayam yang baru menetas di dalamnya dan hasilnya anak ayam itu terlihat lebih sehat,” sebutnya.
Lanjutnya, dari hasil uji coba itu pula disimpulkan bahwa fungsi alat tersebut dalam mengontrol suhu lebih baik dan stabil dibanding alat manual yang dimiliki beberapa peternak ayam di wilayahnya.
Ia menyebutkan, ada dua dari 50 peternak unggas di wilayahnya yang memiliki alat penetas telur manual. Alat itu terbuat dari kayu sehingga suhunya tidak stabil, saat musim kemarau harus dipasang kipas angin, sedangkan saat musim hujan harus ditambah lampu untuk menaikkan suhu.
Akan tetapi, ia mengakui bahwa alat yang mereka ciptakan masih memiliki kekurangan, yakni setiap empat jam sekali telur yang diinkubasi harus dibalik secara manual. Kondisi ini dinilai cukup merepotkan, terutama ketika sudah waktunya istirahat di malam hari.
“Hal ini akan menjadi evaluasi kami selanjutnya, kami ingin agar alat ini bisa membalikkan telur secara otomatis dan terkoneksi ke aplikasi handphone,” ujarnya.
Meski pada akhirnya mereka belum berhasil meraih juara pertama dan hanya meraih juara harapan I pada lomba inovasi TTG, hal itu tak membuat mereka patah semangat. Diana mengatakan pihaknya akan berupaya mengembangkan alat ini agar lebih baik lagi. Apalagi, pihaknya telah mendapatkan dukungan dari camat setempat.
Ia berharap kelak alat itu bisa diproduksi dalam jumlah besar untuk digunakan para peternak unggas, khususnya yang ada di wilayah tersebut. Demi memajukan sektor peternakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kotim.
Baca juga: Pemkab Kotim perintahkan penghentian sementara pembangunan sebuah mal di Sampit
Baca juga: Kemenkes beri penghargaan Kotim bebas frambusia
Baca juga: Bupati Kotim: Waspada akun palsu mengatasnamakan pejabat daerah