Algiers, Aljazair
(ANTARA News) - Sedikitnya 22 warga negara asing yang tersandera, belum
diketahui nasibnya, setelah pasukan militer Aljazair menyerbu satu
kompleks tambang gas di gurun untuk membebaskan ratusan orang yang
diculik kaum militan bersenjata.
Sekitar 30 sandera, termasuk beberapa orang Barat, dan setidaknya 11 penyandera terbunuh dalam serangan pasukan pemerintah ini, kata satu sumber militer Aljazair kepada Reuters.
Di antara korban tewas itu adalah para pekerja asal Prancis, Inggris dan Jepang.
Seorang insinyur berkebangsaan Irlandia yang selamat dari penyerbuan bercerita bahwa dia sebelumnya melihat empat jeep penuh sandera diledakkan tentara Aljazair karena penyandera memaksa akan membawa sandera ke luar negeri.
Krisis sandera ini menciptakan dilemma serius bagi Paris dan sekutunya setelah Prancis memukul pemberontak Mali yang adalah sekutu penyandera. Aljazair dan Mali adalah dua negara bertetangga.
Tidak itu saja, krisis ini membersitkan pertanyaan mengenai kemampuan Aljazair dalam melindungi sumber-sumber energinya dan menegangkan hubungan negara itu dengan Barat.
Dua warga Jepang, dua orang Inggris dan seorang berkebangsaan Prancis adalah diantara tujuh orang sandera asing yang terbunuh, kata sumber itu kepada Reuters. Delapan sandera lainnya yang meninggal adalah orang Aljazair.
Namun identitas kebangsaan mereka yang masih disandera tidak diketahui pasti, demikian juga lusinan orang yang selamat. Sementara sekitar 600 orang pekerja lokal Aljazair dikabarkan selamat.
Menurut para pekerja Jepang yang selamat, empatbelas orang Jepang masih disandera sampai Jumat pagi itu, sedangkan perusahaan energi pelat merah Norwegia, Statoil, yang mengoperasikan ladang gas Tigantourine bersama BP dari Inggris dan perusahaan minyak nasional Aljazair, mengungkapkan delapan pekerja Norwegia masih berstatus hilang.
Satu sumber diplomatik Inggris menyebutkan, mereka belum menerima informasi apapun bahwa penyanderaan itu berakhir, sedangkan PM Jepang Shinzo Abe membatalkan sejumlah acara dalam rangkaian lawatannya ke Asia Tenggara.
"Tindakan pasukan Aljazair itu disesalkan," kata Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga, seraya mengatakan Tokyo belum mendapat informasi mengenai operasi pembebasan sandera tersebut.
Selain warga Jepang dan Norwegia, yang juga disandera kelompok yang menamakan diri "Batalyon Darah" ini adalah warga Amerika Serikat, Rumania dan Austria. Batalyon ini menuntut pemerintah Prancis mengakhiri ofensifnya di Mali.
Sementara dari kubu penyandera, dari 11 mayat hanya dua berkebangsaan Aljazair. Sisanya adalah tiga orang Mesir, dua Tunisia, dua orang Libya, seorang Mali dan seorang warga Prancis.
Komandan kelompok penyandera diketahui bernama Mokhtar Belmokhtar, veteran perang Afghanistan 1980-an dan perang saudara Aljazair pada 1990-an.
Belmokhtar lagi menanjak di antara kalangan militan Sahara, yang lagi dibanjiri senjata dan penempur dari Libya. Mereka ini dikhawatirkan menyebarkan kekerasan di gurun-gurun Afrika Utara.
Pemerintah Aljazair menyatakan tak sudi bernegosiasi dengan kelompok yang disebutnya teroris ini.
"Kami katakan untuk melawan terorisme, kemarin, sekarang ataupun esok nanti, tak akan ada negosiasi, tidak untuk pemerasan, tak ada istirahat, dalam perjuangan melawan terorisme," kata Menteri Penerangan Mohamed Said seperti dikutip Reuters.
Sekitar 30 sandera, termasuk beberapa orang Barat, dan setidaknya 11 penyandera terbunuh dalam serangan pasukan pemerintah ini, kata satu sumber militer Aljazair kepada Reuters.
Di antara korban tewas itu adalah para pekerja asal Prancis, Inggris dan Jepang.
Seorang insinyur berkebangsaan Irlandia yang selamat dari penyerbuan bercerita bahwa dia sebelumnya melihat empat jeep penuh sandera diledakkan tentara Aljazair karena penyandera memaksa akan membawa sandera ke luar negeri.
Krisis sandera ini menciptakan dilemma serius bagi Paris dan sekutunya setelah Prancis memukul pemberontak Mali yang adalah sekutu penyandera. Aljazair dan Mali adalah dua negara bertetangga.
Tidak itu saja, krisis ini membersitkan pertanyaan mengenai kemampuan Aljazair dalam melindungi sumber-sumber energinya dan menegangkan hubungan negara itu dengan Barat.
Dua warga Jepang, dua orang Inggris dan seorang berkebangsaan Prancis adalah diantara tujuh orang sandera asing yang terbunuh, kata sumber itu kepada Reuters. Delapan sandera lainnya yang meninggal adalah orang Aljazair.
Namun identitas kebangsaan mereka yang masih disandera tidak diketahui pasti, demikian juga lusinan orang yang selamat. Sementara sekitar 600 orang pekerja lokal Aljazair dikabarkan selamat.
Menurut para pekerja Jepang yang selamat, empatbelas orang Jepang masih disandera sampai Jumat pagi itu, sedangkan perusahaan energi pelat merah Norwegia, Statoil, yang mengoperasikan ladang gas Tigantourine bersama BP dari Inggris dan perusahaan minyak nasional Aljazair, mengungkapkan delapan pekerja Norwegia masih berstatus hilang.
Satu sumber diplomatik Inggris menyebutkan, mereka belum menerima informasi apapun bahwa penyanderaan itu berakhir, sedangkan PM Jepang Shinzo Abe membatalkan sejumlah acara dalam rangkaian lawatannya ke Asia Tenggara.
"Tindakan pasukan Aljazair itu disesalkan," kata Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga, seraya mengatakan Tokyo belum mendapat informasi mengenai operasi pembebasan sandera tersebut.
Selain warga Jepang dan Norwegia, yang juga disandera kelompok yang menamakan diri "Batalyon Darah" ini adalah warga Amerika Serikat, Rumania dan Austria. Batalyon ini menuntut pemerintah Prancis mengakhiri ofensifnya di Mali.
Sementara dari kubu penyandera, dari 11 mayat hanya dua berkebangsaan Aljazair. Sisanya adalah tiga orang Mesir, dua Tunisia, dua orang Libya, seorang Mali dan seorang warga Prancis.
Komandan kelompok penyandera diketahui bernama Mokhtar Belmokhtar, veteran perang Afghanistan 1980-an dan perang saudara Aljazair pada 1990-an.
Belmokhtar lagi menanjak di antara kalangan militan Sahara, yang lagi dibanjiri senjata dan penempur dari Libya. Mereka ini dikhawatirkan menyebarkan kekerasan di gurun-gurun Afrika Utara.
Pemerintah Aljazair menyatakan tak sudi bernegosiasi dengan kelompok yang disebutnya teroris ini.
"Kami katakan untuk melawan terorisme, kemarin, sekarang ataupun esok nanti, tak akan ada negosiasi, tidak untuk pemerasan, tak ada istirahat, dalam perjuangan melawan terorisme," kata Menteri Penerangan Mohamed Said seperti dikutip Reuters.