Pangkalan Bun (Antara Kalteng) - Pencarian korban kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 disarankan dilakukan dengan menyisir pantai untuk mencari korban atau bagian tubuh korban yang mungkin terseret ombak hingga ke pantai.
"Makanya kami menyarankan pencarian juga dilakukan di pesisir pantai. Sekecil apa pun bagian tubuh yang ditemukan masih besar kemungkinan kita bisa mengidentifikasinya, khususnya melalui tes DNA," kata spesialis forensik Tim DVI, AKBP Summy Hastry Purwanti yang ditugaskan membantu identifikasi di Posko DVI di RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun, Rabu.
Hingga Rabu siang atau hari kesebelas pencarian setelah pesawat berpenumpang 155 orang ditambah kru pesawat itu hilang kontak di Selat Karimata pada Minggu (28/12/2014) baru 39 korban yang berhasil ditemukan dan sudah dievakuasi ke Surabaya.
Beberapa hari terakhir, kondisi fisik jenazah sudah semakin sulit dikenali, bahkan ada jenazah yang bagian tubuhnya sudah tidak utuh. Pembusukan lanjut membuat kondisi jenazah semakin lama semakin rusak sehingga sangat sulit dikenali secara kasat mata.
Dengan kondisi seperti itu harapan terbesar pengidentifikasi jenazah adalah melalui tes DNA. Apalagi sebagian jenazah ditemukan sudah tidak lagi terdapat properti seperti pakaian, perhiasan atau barang-barang lainnya untuk dicocokkan dengan antemortem korban sebelum meninggal, katanya.
Pengidentifikasian juga mulai sulit karena sudah ada jenazah yang ditemukan dengan kondisi tidak utuh lagi. Namun tes DNA masih bisa dilakukan dengan memeriksa tulang dan gigi, sedangkan sidik jari korban umumnya sudah sulit diidentifikasi akibat pembusukan lanjut, katanya.
"Tim DVI di Surabaya juga bisa melakukan pemeriksaan dalam terhadap jenazah, seperti untuk mengetahui apakah semasa hidup korban pernah melahirkan atau belum, pernah operasi usus buntu, pasang ring jantung, pen, cedera kepala dan lainnya. Itu nanti sangat membantu untuk mencocokkan dengan antemortem," kata Hastry.
Secara fisik luar, pengidentifikasian korban di air umumnya mudah dilakukan jika korban ditemukan maksimal hingga hari ketujuh setelah kecelakaan. Setelah itu, pengidentifikasian mulai sulit dilakukan karena kondisi jenazah mulai mengalami kerusakan.
Hastry menyebut penanganan korban pesawat AirAsia QZ8501 relatif lebih sulit karena merupakan kejadian terbuka (open disaster). Selain area pencarian yang bisa semakin meluas, kondisi jenazah juga cukup sulit ditemukan karena terpisah-pisah. Jika ditemukan, kondisi jenazah sudah rusak bahkan ada yang tidak utuh lagi.
"Ini open disaster, sama seperti saat tsunami dulu. Dulu juga saya ikut mengidentifikasi korban KM Senopati tahun 2012 di sini. Tapi kami pasti akan berusaha maksimal, sekecil apa pun bagian tubuh yang ditemukan," katanya.
Hastry mengatakan pengidentifikasian kecelakaan pesawat di Ukraina belum lama ini lebih mudah dibanding dihadapinya dalam pengidentifikasian korban AirAsia QZ8501 saat ini.
Penanganan di lokasi saat itu relatif lebih mudah karena lokasinya di darat dan areanya juga lebih mudah ditentukan. Selama 24 hari, Hastry membantu tim untuk mengidentifikasi korban kecelakaan tersebut.
(T.KR-NJI/B/B015/B015)
"Makanya kami menyarankan pencarian juga dilakukan di pesisir pantai. Sekecil apa pun bagian tubuh yang ditemukan masih besar kemungkinan kita bisa mengidentifikasinya, khususnya melalui tes DNA," kata spesialis forensik Tim DVI, AKBP Summy Hastry Purwanti yang ditugaskan membantu identifikasi di Posko DVI di RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun, Rabu.
Hingga Rabu siang atau hari kesebelas pencarian setelah pesawat berpenumpang 155 orang ditambah kru pesawat itu hilang kontak di Selat Karimata pada Minggu (28/12/2014) baru 39 korban yang berhasil ditemukan dan sudah dievakuasi ke Surabaya.
Beberapa hari terakhir, kondisi fisik jenazah sudah semakin sulit dikenali, bahkan ada jenazah yang bagian tubuhnya sudah tidak utuh. Pembusukan lanjut membuat kondisi jenazah semakin lama semakin rusak sehingga sangat sulit dikenali secara kasat mata.
Dengan kondisi seperti itu harapan terbesar pengidentifikasi jenazah adalah melalui tes DNA. Apalagi sebagian jenazah ditemukan sudah tidak lagi terdapat properti seperti pakaian, perhiasan atau barang-barang lainnya untuk dicocokkan dengan antemortem korban sebelum meninggal, katanya.
Pengidentifikasian juga mulai sulit karena sudah ada jenazah yang ditemukan dengan kondisi tidak utuh lagi. Namun tes DNA masih bisa dilakukan dengan memeriksa tulang dan gigi, sedangkan sidik jari korban umumnya sudah sulit diidentifikasi akibat pembusukan lanjut, katanya.
"Tim DVI di Surabaya juga bisa melakukan pemeriksaan dalam terhadap jenazah, seperti untuk mengetahui apakah semasa hidup korban pernah melahirkan atau belum, pernah operasi usus buntu, pasang ring jantung, pen, cedera kepala dan lainnya. Itu nanti sangat membantu untuk mencocokkan dengan antemortem," kata Hastry.
Secara fisik luar, pengidentifikasian korban di air umumnya mudah dilakukan jika korban ditemukan maksimal hingga hari ketujuh setelah kecelakaan. Setelah itu, pengidentifikasian mulai sulit dilakukan karena kondisi jenazah mulai mengalami kerusakan.
Hastry menyebut penanganan korban pesawat AirAsia QZ8501 relatif lebih sulit karena merupakan kejadian terbuka (open disaster). Selain area pencarian yang bisa semakin meluas, kondisi jenazah juga cukup sulit ditemukan karena terpisah-pisah. Jika ditemukan, kondisi jenazah sudah rusak bahkan ada yang tidak utuh lagi.
"Ini open disaster, sama seperti saat tsunami dulu. Dulu juga saya ikut mengidentifikasi korban KM Senopati tahun 2012 di sini. Tapi kami pasti akan berusaha maksimal, sekecil apa pun bagian tubuh yang ditemukan," katanya.
Hastry mengatakan pengidentifikasian kecelakaan pesawat di Ukraina belum lama ini lebih mudah dibanding dihadapinya dalam pengidentifikasian korban AirAsia QZ8501 saat ini.
Penanganan di lokasi saat itu relatif lebih mudah karena lokasinya di darat dan areanya juga lebih mudah ditentukan. Selama 24 hari, Hastry membantu tim untuk mengidentifikasi korban kecelakaan tersebut.
(T.KR-NJI/B/B015/B015)