Jakarta (Antaranews Kalteng) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengungkapkan hingga saat ini industri sawit di Tanah Air masih dihadapkan pada tiga masalah utama yang harus segera diselesaikan.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono di Jakarta, Sabtu mengatakan, ketiga masalah tersebut, yakni rendahnya produktivitas tanaman, tingginya biaya produksi serta sejumlah kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang kontraproduktif.
"Jika persoalan-persoalan ini tidak segera diselesaikan dampaknya menurunkan daya saing sawit Indonesia," katanya saat pengukuhan pengurus, dewan pengawas dan dewan pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) periode 2018-2023.
Terkait produktivitas kebun, Joko mengatakan, sawit Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara produsen lain seperti Malaysia, Kolombia serta Thailand, meskipun Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar dunia.
Sementara itu, dalam bidang biaya produksi atau "cost produksi" perkebunan sawit di Indonesia justru tinggi, melebihi dari negara-negara produsen lainnya.
"Perusahaan sawit yang terbaik di Indonesia bahkan masih kalah dengan perusahaan terjelek di Malaysia dalam biaya produksi," katanya.
Dia mengakui, salah satu pemicu tingginya biaya produksi di Indonesia, yakni munculnya biaya keamanan, biaya sosial yang sulit dihilangkan dan dihindari perusahaan.
"Ini bahkan sudah juga dikeluhkan Presiden, sudah melakukan banyak deregulasi namun investasi masih lamban," katanya.
Sedangkan persoalan terkait kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, Joko mengatakan, industri memerlukan regulasi yang menciptakan iklim kondusif.
Menurut dia, kebijakan atau regulasi tersebut tidak semata-mata dari dalam negeri tapi juga dari pemerintah negara tujuan ekspor sawit Indonesia seperti India yang menerapkan kenaikan tarif impor ataupun Amerika yang selalu mengenakan hambatan tarif dan non tarif terhadap produk impor.
Untuk itu, Joko Supriyono yang juga Ketua Umum Gapki periode 2013-2018 itu menyatakan, Gapki harus bermitra dengan pemerintah terutama dalam penyusunan kebijakan atau regulasi sehingga nantinya tidak merugikan industri sawit dalam negeri.
Dia mengatakan, saat ini permintaan global terhadap minyak nabati termasuk sawit masih tumbuh, yakni rata-rata mencapai 5 juta ton per tahun.
"Ini merupakan peluang bagi sawit Indonesia dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan menyejahterakan kehidupan masyarakat. Jika tidak terus memperbaiki produktivitas, iklim usaha dan daya saing maka akan sulit mengambil peluang itu," ujarnya.
Sementara itu dalam kepengurusan Gapki periode 2018-2023, Joko Supriyono dibantu tiga wakil ketua umum, yaitu Kacuk Sumarto (Wakil Ketua Umum Urusan Organisasi), Susanto Yang (Wakil Ketua Umum Urusan Kebijakan Publik) dan Togar Sitanggang (Wakil Ketua Umum Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan).
Selain itu, posisi Sekretaris Jenderal dijabat Kanya Lakshmi Sidarta dan Bendahara Umum Mona Surya.
Sedangkan jumlah ketua bidang mencapai 15 orang dan ketua kompartemen sebanyak 51 orang. Saat ini, Gapki sudah menyebar di 13 provinsi yang menjadi perwakilan asosiasi di daerah.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono di Jakarta, Sabtu mengatakan, ketiga masalah tersebut, yakni rendahnya produktivitas tanaman, tingginya biaya produksi serta sejumlah kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang kontraproduktif.
"Jika persoalan-persoalan ini tidak segera diselesaikan dampaknya menurunkan daya saing sawit Indonesia," katanya saat pengukuhan pengurus, dewan pengawas dan dewan pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) periode 2018-2023.
Terkait produktivitas kebun, Joko mengatakan, sawit Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara produsen lain seperti Malaysia, Kolombia serta Thailand, meskipun Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar dunia.
Sementara itu, dalam bidang biaya produksi atau "cost produksi" perkebunan sawit di Indonesia justru tinggi, melebihi dari negara-negara produsen lainnya.
"Perusahaan sawit yang terbaik di Indonesia bahkan masih kalah dengan perusahaan terjelek di Malaysia dalam biaya produksi," katanya.
Dia mengakui, salah satu pemicu tingginya biaya produksi di Indonesia, yakni munculnya biaya keamanan, biaya sosial yang sulit dihilangkan dan dihindari perusahaan.
"Ini bahkan sudah juga dikeluhkan Presiden, sudah melakukan banyak deregulasi namun investasi masih lamban," katanya.
Sedangkan persoalan terkait kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, Joko mengatakan, industri memerlukan regulasi yang menciptakan iklim kondusif.
Menurut dia, kebijakan atau regulasi tersebut tidak semata-mata dari dalam negeri tapi juga dari pemerintah negara tujuan ekspor sawit Indonesia seperti India yang menerapkan kenaikan tarif impor ataupun Amerika yang selalu mengenakan hambatan tarif dan non tarif terhadap produk impor.
Untuk itu, Joko Supriyono yang juga Ketua Umum Gapki periode 2013-2018 itu menyatakan, Gapki harus bermitra dengan pemerintah terutama dalam penyusunan kebijakan atau regulasi sehingga nantinya tidak merugikan industri sawit dalam negeri.
Dia mengatakan, saat ini permintaan global terhadap minyak nabati termasuk sawit masih tumbuh, yakni rata-rata mencapai 5 juta ton per tahun.
"Ini merupakan peluang bagi sawit Indonesia dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan menyejahterakan kehidupan masyarakat. Jika tidak terus memperbaiki produktivitas, iklim usaha dan daya saing maka akan sulit mengambil peluang itu," ujarnya.
Sementara itu dalam kepengurusan Gapki periode 2018-2023, Joko Supriyono dibantu tiga wakil ketua umum, yaitu Kacuk Sumarto (Wakil Ketua Umum Urusan Organisasi), Susanto Yang (Wakil Ketua Umum Urusan Kebijakan Publik) dan Togar Sitanggang (Wakil Ketua Umum Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan).
Selain itu, posisi Sekretaris Jenderal dijabat Kanya Lakshmi Sidarta dan Bendahara Umum Mona Surya.
Sedangkan jumlah ketua bidang mencapai 15 orang dan ketua kompartemen sebanyak 51 orang. Saat ini, Gapki sudah menyebar di 13 provinsi yang menjadi perwakilan asosiasi di daerah.