Jakarta (ANTARA) - Kedua mata Amin Mahmudah (37) berkaca-kaca, dia juga terisak saat menceritakan kondisi sang putri, Athiyatul Maula (2 tahun 4 bulan) yang terdiagnosa Gaucher Disease saat usia 1 tahun dan 6 bulan.
Sebelum terdiagnosa Gaucher, perut Athiya mengalami kembung terus menerus, bahkan kondisi ini tak kunjung membaik setelah mendapatkan pengobatan.
"Seperti kembung-kembung biasa, tetapi setelah diperiksa kok enggak ada perubahan. Berat badannya juga enggak naik signifikan. Untuk usia enam bulan kan sangat signifikan pertambahannya. Ini hanya naik 100 gram, 200 gram," kata Amin di Jakarta, Rabu.
Padahal Athiya tak bermasalah dalam asupan ASI makanan pendamping ASI (MPASI). Namun dia tampak mudah lelah sehingga dokter memberikan vitamin sebagai terapi.
Gaucher seperti dilansir dari Mayo Clinic, muncul sebagai hasil penumpukan zat lemak tertentu di organ terutama limpa dan hati sehingga mempengaruhi fungsinya. Zat lemak juga dapat menumpuk di jaringan tulang, melemahkan tulang dan meningkatkan risiko patah tulang.
Penderita pada umumnya memiliki perut yang membesar, nyeri pada tulang dan sendi, mudah merasa letih.
Hal serupa juga pernah terjadi pada kakak Athiya, Sukron yang meninggal dunia dalam usia 2 tahun 5 bulan. Sukron baru terdiagnosa Gaucher 14 bulan setelah keluhan.
"Karena kembung terus menerus yang terasa di perut sebelah kiri dan kanan teraba agak keras. Kakaknya diduga liver karena livernya membesar, dicurigai thalasemia juga. Sebulan setelah diagnosis, dia meninggal dunia," tutur Amin.
Berkaca pada kasus Sukron, Amin bertindak lebih cepat untuk Athiya. Setelah positif, dia membawa Athiya ke RSCM untuk mendapatkan perawatan sembari mengajukan permohonan obat.
"Terapinya setiap dua minggu sekali," kata Amin yang berprofesi sebagai guru MTs di Jambi itu.
Selama masa perawatan, Athiya diberi susu khusus untuk menambah berat badannya. Susu ini diberikan enam kali dalam sehari.
Athiyatul Maula (2 tahun 4 bulan) yang terdiagnosa Gaucher Disease, digensong ayahnya, saat ditemui di Jakarta, Rabu (27/2/2019). (ANTARA News/Lia Wanadriani Santosa)
Tertutup pada orang lain
Amin mengatakan, kondisi perut yang membesar membuat putrinya merasa malu bertemu dan bergaul dengan orang lain. Dia bahkan sering terdiam, tak seceria anak-anak pada usianya.
Namun, saat perutnya mengecil (sudah dirawat), Athiya perlahan mau membuka diri. Wajahnya tak segelap dulu. Dia juga mulai berani mengendarai sepeda roda tiga.
"Waktu terdiagnosa, Athiya belum bisa jalan, kakaknya dulu sudah bisa. Perkembangannya agak lambat. Perut semakin membesar bisa dibilang seperti orang busur lapar," papar Amin.
Athiya juga tak lagi mudah muntah, berdiri lebih kokoh, berjalan hingga berlari. Satu dua kata sudah mulai terucap seperti kata "ayah", "ayo" dan "adikku".
Namun, dia mengalami masalah pada amandel sehingga kesulitan bernapas, sulit makan.
Sebelum terdiagnosa Gaucher, perut Athiya mengalami kembung terus menerus, bahkan kondisi ini tak kunjung membaik setelah mendapatkan pengobatan.
"Seperti kembung-kembung biasa, tetapi setelah diperiksa kok enggak ada perubahan. Berat badannya juga enggak naik signifikan. Untuk usia enam bulan kan sangat signifikan pertambahannya. Ini hanya naik 100 gram, 200 gram," kata Amin di Jakarta, Rabu.
Padahal Athiya tak bermasalah dalam asupan ASI makanan pendamping ASI (MPASI). Namun dia tampak mudah lelah sehingga dokter memberikan vitamin sebagai terapi.
Gaucher seperti dilansir dari Mayo Clinic, muncul sebagai hasil penumpukan zat lemak tertentu di organ terutama limpa dan hati sehingga mempengaruhi fungsinya. Zat lemak juga dapat menumpuk di jaringan tulang, melemahkan tulang dan meningkatkan risiko patah tulang.
Penderita pada umumnya memiliki perut yang membesar, nyeri pada tulang dan sendi, mudah merasa letih.
Hal serupa juga pernah terjadi pada kakak Athiya, Sukron yang meninggal dunia dalam usia 2 tahun 5 bulan. Sukron baru terdiagnosa Gaucher 14 bulan setelah keluhan.
"Karena kembung terus menerus yang terasa di perut sebelah kiri dan kanan teraba agak keras. Kakaknya diduga liver karena livernya membesar, dicurigai thalasemia juga. Sebulan setelah diagnosis, dia meninggal dunia," tutur Amin.
Berkaca pada kasus Sukron, Amin bertindak lebih cepat untuk Athiya. Setelah positif, dia membawa Athiya ke RSCM untuk mendapatkan perawatan sembari mengajukan permohonan obat.
"Terapinya setiap dua minggu sekali," kata Amin yang berprofesi sebagai guru MTs di Jambi itu.
Selama masa perawatan, Athiya diberi susu khusus untuk menambah berat badannya. Susu ini diberikan enam kali dalam sehari.
Tertutup pada orang lain
Amin mengatakan, kondisi perut yang membesar membuat putrinya merasa malu bertemu dan bergaul dengan orang lain. Dia bahkan sering terdiam, tak seceria anak-anak pada usianya.
Namun, saat perutnya mengecil (sudah dirawat), Athiya perlahan mau membuka diri. Wajahnya tak segelap dulu. Dia juga mulai berani mengendarai sepeda roda tiga.
"Waktu terdiagnosa, Athiya belum bisa jalan, kakaknya dulu sudah bisa. Perkembangannya agak lambat. Perut semakin membesar bisa dibilang seperti orang busur lapar," papar Amin.
Athiya juga tak lagi mudah muntah, berdiri lebih kokoh, berjalan hingga berlari. Satu dua kata sudah mulai terucap seperti kata "ayah", "ayo" dan "adikku".
Namun, dia mengalami masalah pada amandel sehingga kesulitan bernapas, sulit makan.